- 61

82 12 50
                                        

Nathaniel mundur selangkah, dan punggungnya menghantam jeruji sangkar. Besi itu bergetar, rantai-rantai yang menahan Paracetamol berderak pelan. Dari dalam kurungan, Paracetamol menyeringai marah, wajahnya tegang menahan rasa sakit bercampur panik.

"Apa kamu sinting? Kamu sudah melihatnya? Kenapa tidak pergi?!" Paracetamol naik pitam, sehingga ia memekik keras, berharap Nathaniel bisa mengerti.

Nathaniel melirik ke arah Paracetamol, matanya menyipit. Ia mencondongkan tubuh sedikit, berbisik cepat, "Aku 'kan Arbiter. Kalau dia benar-benar Orbital, maka kamu tahu siapa yang harus lari terbirit-birit."

Paracetamol tertegun. Alisnya mengerut, seperti otaknya baru saja disambar kenyataan. "Hah? Arbiter?" katanya, suaranya melemah sesaat. Ada jeda singkat di mana kemarahan dalam dirinya hilang, berganti dengan keterkejutan murni.

"Oh, ya," lanjut Paracetamol.

Nathaniel mendengus, menepiskan ketegangan dengan gaya khasnya. "Biar aku tangani ini," ujarnya, sok berani, meski jari-jarinya masih gemetar di sisi tubuhnya.

Nathaniel kemudian menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah maju. Sepatunya berdecit di lantai batu berdebu. Sementara itu, sosok wanita berambut putih di hadapannya—Cassini—mengulas senyum.

Cassini mendongak sedikit, menatap Nathaniel, dan berusaha mengingat tentang apa yang ia tahu tentang Nathaniel. Dalam pikiran bercabangnya, Cassini sudah mengenalinya. Nathaniel—bahan gosip, dan samsak tinju Sputnik—muncul jelas dalam memorinya. Sputnik sering menggerutu, sering mengeluh, bahkan sering merencanakan cara paling menyakitkan untuk menghancurkannya, sekaligus membangunnya.

Dan di realitas Downfall Project, di hadapannya, Player itu berdiri, tampak begitu nyata, begitu mudah dijangkau.

Cassini membaca nama Player di atas kepalanya, memastikan ia tak salah orang, "Chicken Noodle,"

Namun Cassini menyembunyikan semua itu. Ia tidak akan mengaku ia mengenali Nathaniel. Ada kenikmatan tersendiri dalam berpura-pura asing, dan memainkan peran kucing yang membiarkan tikus percaya bahwa dirinya masih punya peluang kabur.

"Mengapa ada Orbital di sini?" Nathaniel bertanya, suaranya mengandung keberanian palsu yang dilapisi kegetiran. "Itu tidak adil, 'kan?"

Cassini melebarkan senyumnya, memindainya dengan mata yang penasaran.

"Adil," jawab Cassini, lirih, penuh kepastian. Ia tak kuasa menahan gejolak kegembiraan yang merayapi dadanya—membayangkan wajah Sputnik ketika mendengar kabar bahwa Nathaniel berhasil ia musnahkan.

Mungkin Sputnik akan senang. Atau justru sebaliknya. Cassini tidak bisa menebak Sputnik. Pikirannya kompleks, dan rasa-rasanya, ia menyembunyikan terlalu banyak hal.

Cassini lalu mengangkat tangan, menempelkan telapak tangan pucatnya di dada, sebuah gerakan elegan namun menakutkan. "Karena aku," kata Cassini, "Mengikuti peraturan dari game Downfall Project."

Nathaniel mengejap. Udara yang sudah berat di dalam lorong tambang terasa semakin mencekik, dingin bercampur debu logam perlahan menempel di lidah, menjadikannya kelu.

"Apa itu artinya ..." suara Nathaniel terdengar tercekat, nyaris pecah.

"Kamu tak bisa mengakses inventory, tak terhubung ke sistem UI. Kamu hanya manusia biasa, di realitas Downfall Project. Begitulah bagaimana sistem ini meretardasi ... Orbitals sepertiku," ujar Cassini, tenang, meski ia sedang membeberkan kelemahannya pada Nathaniel. Bagai menelanjangi dirinya sendiri. Namun, Cassini tak merasa takut; dibunuh pun, tak apa, yang penting, ia telah cukup banyak bersenang-senang. Lagi pun, Nathaniel tampaknya hanya warga biasa, dari kalangan bawah. Dalam hirarki sosial, penduduk tidak bisa melawan bangsawan.

The REQUIEM Protocol: A Game that Ended the WorldWhere stories live. Discover now