(This is my original story. JANGAN DI PLAGIAT ❗❗)
⚠️ Mengandung kekerasan verbal, fisik dan psikis! Mengandung konten dewasa yang eksplisit. 🔞 ⚠️
Louis Alessio lahir untuk berkuasa. Sampai pamannya sendiri menembak ayahnya, dan menjadikannya bonek...
Cerita ini akan mengandung banyak sekali adegan kekerasan, dan adegan dewasa yang cukup explisit.
Termasuk di dalamnya kekerasan verbal, fisik dan psikis.
Not suitable for anyone under 18!
(Dengerindululagu yang akusematkandiatas, biarmakinmenghayati, karena novel iniesensinya dark yang akan sedikitmengirishati.)
💔
Ups! Ten obraz nie jest zgodny z naszymi wytycznymi. Aby kontynuować, spróbuj go usunąć lub użyć innego.
"He doesn't love her gently. He loves her like a sin he can't stop committing."
🥀
Malam itu, dunia seolah membeku di sekitar Louis.
Bukan karena dingin yang menggigit, bukan pula karena darah yang menetes dari jarinya, tapi karena untuk pertama kalinya, dia menyadari ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari kematian. Dia masih hidup, padahal segalanya sudah mati di dalam dirinya.
Tubuhnya bergetar, tapi bukan karena ketakutan. Louis tertawa. Tawa lirih, pecah di udara yang dingin, seperti suara kaca yang diremukkan dari dalam dada. Tawa seseorang yang sadar betul bahwa dirinya telah melangkah terlalu jauh untuk bisa kembali.
Orang-orang bilang waktu bisa menyembuhkan apa pun. Tapi waktu tidak bisa menyembuhkan seseorang yang mulai mencintai lukanya. Louis berhenti mencari keselamatan. Berhenti menunggu kesembuhan. Dan pada saat itulah, sesuatu di dalam dirinya... patah.
Dia merasakannya... Lubang itu. Sebuah ruang baru yang terbuka di dada, tempat di mana rasa sakit dan amarah menyatu hingga tak bisa dibedakan.
Dalamruangitulah, Louis mulaiberubah.
Sedikit demi sedikit, bagian-bagian manusiawinya terkelupas, tergantikan oleh sesuatu yang lebih liar, lebih sunyi, lebih berbahaya.
Suara tulang yang retak tak lagi membuatnya mual. Bau darah menjadi penanda bahwa dia masih bernafas. Dan ketika orang-orang memanggilnya monster, Louis hanya menatap mereka balik tanpa emosi. Karena mereka tidak tahu, iblis yang mereka takutkan dulunya hanyalah seseorang yang ingin diselamatkan.
Dan di antara reruntuhan dirinya, ada sepasang mata yang menatapnya. Mata yang tidak takut. Tidak jijik. Tidak menjauh. Mata indah yang seharusnya tidak berbinar penuh harap. Mata yang memandangnya seolah dirinya bukan monster, tapi seseorang yang tidak tahu caranya pulang.