.
.
.
[Chapter 3]
Udara pagi di sekitar sekolah masih terasa sejuk, meski matahari sudah mulai meninggi. Anak-anak berseragam berjalan berkelompok di trotoar, sebagian besar dengan wajah semangat dan tangan sibuk menggenggam roti atau botol air minum. Suara tawa, langkah kaki, dan deru kendaraan berpadu jadi irama khas pagi yang sibuk namun akrab.
Alin berdiri di dekat gerbang, memandangi motor Kirana yang perlahan menjauh. Ia sempat melambaikan tangan sebentar, lalu menunduk begitu motor itu berbelok di ujung jalan dan menghilang dari pandangan. Sesuatu terasa aneh di dadanya — bukan sedih, tapi semacam kekosongan kecil yang ia sendiri tak bisa jelaskan.
Wajar saja, bisa dibilang ia tidak bisa berpisah dengan Kirana. Sosok 'perempuan' satu-satunya yang ia miliki. Ditambah lagi dengan mereka yang selalu dekat satu sama lain sejak kecil, membuatnya nyaman berada di sisi sang kakak.
Ia menarik napas pelan, lalu tersenyum kecil.
“...Mulai ulang, ya,” gumamnya sendiri.
Langkahnya kembali ringan, melewati halaman sekolah yang mulai ramai.
---
Kelas Alin berada di lantai dua. Ruangannya menghadap ke taman kecil di belakang sekolah — tempat favoritnya untuk duduk sendirian kalau jam istirahat. Suasana kelas pagi itu seperti biasa: ramai, berisik, tapi menyenangkan.
“Bro, kamu dateng juga akhirnya!” seru seseorang dari belakang. Itu Naufal, teman sekelas yang paling cerewet tapi paling mudah disukai. Ia duduk dengan kaki diayun-ayun di kursi, sambil menggigit cookies cokelat yang belum habis.
“Kukira kamu kesiangan lagi, Lin. Kemarin kan kamu dateng waktu bel bunyi.”
Alin menaruh tas di kursinya sambil menatap Naufal datar. “Ya itu karena semalam aku begadang. Untung kak Kira bangunin.”
Naufal terkekeh. “Pantes kamu dateng pagi. Kakakmu tuh kayak alarm premium, suaranya halus tapi nggak bisa ditolak.”
Alin mendengus kecil. “Lebih tepatnya nggak bisa dihindar.”
Mereka tertawa kecil, lalu suasana kelas kembali dipenuhi obrolan acak tentang tugas, film, dan guru yang katanya bakal ngasih kuis mendadak.
Namun di sela keramaian itu, pikiran Alin sempat melayang lagi — ke rumah, ke tawa pagi tadi, ke roti panggang yang sudah ia habiskan dengan lahap.
---
Sementara itu, di sisi lain kota, Kirana baru saja sampai di kampus. Ia memarkir motornya di bawah pohon besar, lalu merapikan rambutnya lewat kaca spion. Tas selempang tergantung di bahunya, dan wajahnya terlihat cerah seperti biasa.
Ia sempat membuka ponselnya — ada satu pesan dari Ayah:
“Ayah berangkat ke luar kota siang ini, Kak. Tolong jagain Alin, ya.”
Kirana tersenyum membaca itu. Jarinya mengetik cepat.
“Siap, Yah. Tanpa ayah minta pun akan kulakukan.”
Setelah mengirim pesan, Kirana menatap layar ponselnya sebentar. Foto di wallpaper: ia dan Alin sedang makan es krim di teras rumah, sore beberapa minggu lalu. Kirana kelihatan tertawa lepas, sementara Alin menatap kamera dengan wajah datarnya yang khas — tapi kalau diperhatikan, sudut bibirnya naik sedikit.
“Adek itu... kalo senyum bikin adem,” gumam Kirana pelan sambil menutup layar.
Lalu ia melangkah masuk ke area kampus, menyapa beberapa teman di jalan, membiarkan langkahnya mengikuti ritme hari yang baru dimulai.
---
Kembali ke sekolah, jam pelajaran pertama dimulai. Alin duduk di pojok dekat jendela, matanya mengikuti bayangan pohon yang menari pelan di halaman. Guru sedang menjelaskan sesuatu di depan, tapi pikirannya melayang entah ke mana.
Ada sesuatu yang menenangkan dalam rutinitas — suara spidol di papan tulis, bunyi kertas dibalik, dan cahaya yang jatuh lembut ke mejanya. Tapi kadang, di tengah ketenangan itu, muncul rasa aneh yang ia sendiri sulit mengerti.
Mungkin karena terlalu terbiasa melihat Kirana di pagi hari. Terlalu terbiasa mendengar suaranya, bahkan sekadar teriakan lembut dari luar pintu: “Dek, bangun, ayo sarapan.”
Dan mungkin, bagian kecil di dirinya takut kalau kebiasaan itu suatu hari akan hilang. Mengingat kakaknya mulai sibuk dengan tugas akhir.
---
Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi. Langit sudah mulai berubah warna keemasan, dan angin sore berhembus pelan. Alin berjalan keluar sambil membawa tas di pundak, matanya mencari motor Kirana di area parkir depan.
Tidak butuh waktu lama sampai suara klakson kecil terdengar — dan di sana, seperti biasa, Kirana sudah menunggunya sambil melambai pelan.
“Dek!” serunya. “Lama amat, aku kira kamu lembur.”
Alin tersenyum kecil sambil berjalan mendekat. “Guru tambah jam pelajaran, Kak.”
Kirana mengangguk, lalu menepuk jok belakang motornya. “Yaudah, ayo naik. Nanti keburu macet.”
Saat mereka mulai melaju di jalan pulang, sinar matahari sore menembus celah pepohonan di pinggir jalan, membuat bayangan mereka memanjang di aspal. Kirana bersenandung pelan, sementara Alin diam — tapi di dalam diam itu, ada kenyamanan yang hanya bisa ditemukan di antara keluarga yang saling memahami tanpa banyak bicara.
Sore itu tenang, sederhana, tapi hangat. Seperti hari-hari mereka biasanya — dan mungkin, seperti kenangan yang suatu saat akan mereka rindukan.
.
.
.
ESTÁS LEYENDO
• memoria •
Novela JuvenilAda rumah yang selalu dipenuhi cahaya, meski tak selalu terang. Ada dua hati yang tumbuh bersama, saling menghangatkan tanpa banyak kata. Kirana dengan tawanya, Alin dengan diamnya - keduanya menyimpan bentuk kasih sayang yang berbeda, tapi menuju a...
