#14; Finis Initiumque

333 36 40
                                        

⚠️ Content Warning: ABO universe (Alpha/Beta/Omega), BxB nomin, biological tension, subtle bonding, dark fantasy, rituals, intrigue, and light adult themes.

---

💗 I'd be over the moon if you could vote for my stories, and I absolutely treasure any comments, suggestions, or feedback you share. Thank you 💗

---

Disclaimer: Apabila ada kesamaan penamaan nama tokoh, tempat, maka itu adalah murni sebuah ketidaksengajaan. Semua nama dipikirkan oleh author dengan gabungan berbagai bahasa, juga beberapa istilah yang telah lumrah digunakan.
Terima kasih 💗

●  ●  ●

DOLOR PERPETUUS

Kegelapan tidak datang dengan tiba-tiba.

Ia merayap seperti kabut pagi, mengisi setiap sudut kesadaran Therion dengan kelembutan yang hampir lembut, hampir baik hati. Untuk sesaat, sesaat yang terasa seperti selamanya dan sekejap mata pada saat yang bersamaan, ia tidak merasakan apa-apa. Tidak sakit. Tidak takut. Hanya kehampaan yang damai, seperti mengapung di air yang hangat, seperti tidur tanpa mimpi.

Lalu rasa sakit datang.

Bukan seperti pukulan atau luka yang tajam. Ini adalah sesuatu yang lebih dalam, lebih fundamental, seperti tulang-tulangnya berubah menjadi kaca yang retak, seperti setiap pembuluh darah dipenuhi dengan pasir yang bergesekan. Dolor Perpetuus. Rasa sakit yang abadi, bisikan konstan yang tidak akan pernah berhenti, nada yang sedikit sumbang namun cukup familiar hingga ia hampir—hampir—bisa mengabaikannya.

Hampir.

Therion membuka mata dengan napas yang tercekat, tangan langsung mencengkeram dada di mana bekas luka baru berdenyut dengan intensitas yang membuat penglihatannya berkunang-kunang. Vulnus Aeternum—luka abadi yang tidak akan pernah sembuh, tanda dari Sacrificium Vitae yang telah ia berikan.

"Therion." Suara Aelthar, begitu dekat, begitu lembut hingga hampir seperti doa. "Kau kembali padaku."

Therion menoleh, gerakan kecil yang terasa seperti menggerakkan gunung, dan menemukan Aelthar duduk di sampingnya. Sang Arboryn terlihat seperti telah melalui neraka sendiri, rambut perak berantakan, mata merah dan bengkak dari menangis, tangan gemetar saat menyentuh wajah Therion dengan kelembutan yang kontras dengan keputusasaan di matanya.

"Berapa lama?" tanya Therion, suaranya serak seperti tidak digunakan selama bertahun-tahun.

"Enam jam," jawab Aelthar, ibu jarinya mengusap pipi Therion dengan sentuhan yang begitu hati-hati seolah ia takut Alpha muda itu akan pecah. "Enam jam di mana aku tidak tahu apakah kau akan bangun. Enam jam di mana aku merasakan rasa sakitmu melalui ikatan dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikannya."

Air mata mengalir di pipi Aelthar, bukan lagi air mata pertama dalam seratus sembilan puluh tahun, tapi air mata yang terus mengalir sejak Therion jatuh tidak sadarkan diri, seolah reservoir yang telah tertutup selama hampir dua abad akhirnya pecah dan tidak bisa ditutup lagi.

"Maafkan aku," bisik Therion, tangannya terangkat dengan usaha yang jelas untuk menyentuh wajah Aelthar, untuk mengusap air mata yang terasa seperti tuduhan diam. "Maafkan aku karena membuatmu khawatir."

"Jangan." Aelthar menggenggam tangan itu, menekannya ke pipinya dengan kekuatan yang berbatasan dengan putus asa. "Jangan minta maaf karena menyelamatkanku. Jangan minta maaf karena memberikan sesuatu yang tidak akan pernah bisa kubalas. Aku yang seharusnya... aku yang—"

AETHERBOUND •NOMIN•Where stories live. Discover now