Alpha-alpha muda lainnya tertawa, suara mereka menggema memenuhi ruangan. Therion kecil menunduk, air mata mengalir di pipi mungilnya, tangan kecilnya mengepal erat berusaha menahan tangis.
"Kau tidak berguna," lanjut putra mahkota, melangkah mendekat dengan arogansi yang menguar dari setiap pori tubuhnya.
"Anak selir yang lemah. Ayah seharusnya tidak pernah mengakuimu sebagai anaknya!"
Therion dewasa yang menyaksikan adegan itu merasakan dadanya sesak. Rasa sakit yang sudah lama terkubur kembali mencuat, membuat tangannya bergetar.
Ia ingin berlari dari sana, tapi kaki-kakinya seolah tertanam di tanah.
"Itu tidak nyata," suara Aelthar terdengar samar dari kejauhan, tapi begitu jauh. "Therion, dengarkan suaraku."
Tapi adegan di hadapannya berubah lagi. Kali ini ia melihat dirinya beberapa bulan yang lalu, berdiri di samping ranjang ibunya yang pucat dan lemah. Wanita cantik itu menatapnya dengan mata yang semakin redup hari demi hari, napasnya tersengal-sengal akibat racun yang perlahan merusak tubuhnya.
"Therion," bisik ibunya dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Ibu... Ibu semakin lemah..."
"Jangan bicara begitu, Bu," Therion berkata, memegang tangan ibunya yang semakin dingin. "Aku akan mencari obatnya. Tabib terbaik kerajaan sedang mencari cara untuk menyembuhkanmu."
"Kau... anak yang baik," ibunya tersenyum lemah. "Tapi Ibu takut... tidak bisa menunggu lebih lama lagi..."
Adegan berubah menjadi visi masa depan yang kelam.
Therion melihat dirinya kembali ke istana dengan tangan kosong, tanpa Heralume. Ibunya sudah tidak bernapas lagi, terbaring dingin di ranjang yang sama. Sudah terlambat.
Sudah tiga bulan berlalu sejak ia pergi, dan ia gagal membawa obat yang bisa menyelamatkannya.
"Sendirian," bisik bayangan-bayangan di sekelilingnya. "Selalu sendirian. Tidak ada yang peduli pada Alpha lemah sepertimu."
Therion merasakan lututnya lemas. Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ia pendam kembali mencuat, lebih tajam dari sebelumnya.
Tangannya yang bergenggam dengan Aelthar mulai melemas.
"Tidak," suara Aelthar tiba-tiba terdengar lebih jelas. "Jangan dengarkan mereka."
"Kau terlambat," bisik bayangan yang menyerupai ibunya. "Karena kau lemah, karena kau tidak berguna, Ibu mati..."
"TIDAK!" Therion berteriak, tapi suaranya terdengar kosong di keheningan visi.
Visi berubah lagi, kali ini ia melihat kerajaan Brenvalis yang terbakar, rakyat berlarian ketakutan. Di tengah kekacauan itu, putra mahkota berdiri dengan mahkota di kepalanya, tertawa puas.
"Lihat apa yang terjadi karena Alpha lemah sepertimu ada di keluarga kerajaan," kata putra mahkota dalam visi.
"Kau adalah aib yang melemahkan darah kerajaan. Lebih baik kau mati saja!"
Therion merasakan dadanya sesak, napasnya terputus-putus. Semua rasa sakit, semua keraguan, semua trauma masa lalu menyerangnya bersamaan. Tangannya hampir melepaskan genggaman Aelthar.
Tapi saat itulah ia merasakan kehangatan yang tiba-tiba menyebar dari tangan yang ia genggam. Energi biru keunguan mengalir lembut, bukan memaksa masuk tapi seolah meminta izin untuk membantu.
"Bolehkah aku masuk?" suara Aelthar terdengar lembut di telinganya, tidak seperti suara yang menghakimi dalam visi.
"Aku tidak akan melihat lebih dari yang kuperlukan untuk membantumu."
KAMU SEDANG MEMBACA
AETHERBOUND •NOMIN•
Fiksi Penggemar"Jangan mendekat, Alpha." Aelthar berdiri tegap di tengah kabut yang menyelimuti hutan, matanya menatap tajam Therion. Namun Alpha itu tak bergeming, melangkah mantap seakan menantang garis takdir yang mengikat mereka. "Berhenti, lancang!" Hutan ini...
#6; Memory's Edge
Mulai dari awal
