"Satu teguk saja bisa membunuh Alpha biasa, tapi bagi suku kami, ini adalah sumber kehidupan."
"Kenapa berbeda dengan sungai di pinggir tadi?"
"Karena semakin dalam kita masuk, semakin kuat energi Elydrion. Hutan ini berlapis-lapis, seperti lingkaran konsentris dengan kekuatan yang semakin intens di pusatnya."
Therion mengangguk, mencoba mengingat setiap informasi yang diberikan. Tapi yang lebih menarik perhatiannya adalah cara Aelthar bergerak, begitu alami dan fluid, seolah setiap langkah sudah diperhitungkan secara sempurna. Bahkan cara dia menghindari akar-akar yang menghalangi terlihat seperti tarian yang indah.
"Berapa lama kau menjadi... penjaga hutan ini?" tanya Therion hati-hati.
Aelthar tidak menjawab langsung. Ia melompat ringan melewati batang pohon tumbang dengan gerakan yang hampir tidak terpengaruh gravitasi. "190 tahun," katanya akhirnya.
"190 tahun?" Therion terkejut. Meski sosok di hadapannya terlihat muda, tapi angka itu sangat jauh dari usianya.
"Suku Elarin memiliki umur yang lebih panjang dari manusia biasa," Aelthar menjelaskan tanpa menoleh.
"Dan sebagai Arboryn, umurku terikat dengan umur hutan itu sendiri."
"Berarti kau..."
"Abadi, selama Sylvaran masih ada," Aelthar melengkapi. "Itulah harga yang harus kubayar untuk kekuatan ini."
Ada nada sedih dalam suara itu yang membuat dada Therion sesak. Ia tidak bisa membayangkan hidup sendirian selama berabad-abad, memikul tanggung jawab seberat itu tanpa ada yang benar-benar memahami bebannya.
Lebih dari itu, ada sesuatu dalam cara Aelthar mengucapkan kata-kata itu, seolah dia sedang meyakinkan dirinya sendiri, bukan Therion.
"Apa kau tidak pernah merasa kesepian?" tanya Therion pelan.
Kali ini Aelthar berhenti melangkah. Ia berbalik, mata perak keunguannya menatap Therion dengan ekspresi yang terluka dan defensif. Tapi ada kilatan lain di sana, sesuatu yang menyerupai kerinduan yang sudah lama terkubur.
"Kesepian adalah kemewahan yang tidak bisa kurasakan," katanya dingin, tapi suaranya sedikit bergetar. "Aku memiliki suku untuk dilindungi, hutan untuk dijaga, dan tanggung jawab yang tidak bisa diabaikan. Tidak ada waktu untuk merasakan kesepian."
Tapi Therion bisa melihat kebohongan di balik kata-kata itu. Ada kekosongan dalam mata indah itu, kesedihan yang tertanam begitu dalam hingga mungkin Aelthar sendiri tidak menyadarinya. Lebih dari itu, ada sesuatu yang hampir seperti... harapan? Seolah sebagian dari dirinya menunggu seseorang yang akan memahami bebannya.
"Maafkan aku," kata Therion tulus, melangkah sedikit lebih dekat. "Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu. Tapi... 190 tahun adalah waktu yang sangat lama untuk hidup hanya dengan tanggung jawab tanpa kebahagiaan."
Aelthar menatapnya lama, seolah mencari tanda-tanda kebohongan. Tapi yang ia temukan hanya ketulusan dan... kehangatan?
Sesuatu yang sudah sangat lama tidak ia rasakan. Kehangatan yang tidak meminta apa-apa, tidak mengancam posisinya, hanya... ada. Dan untuk sesaat, dinding defensif yang selama ini dia bangun mulai retak sedikit.
"Kita harus melanjutkan perjalanan," kata Aelthar akhirnya, berbalik kembali. Tapi langkahnya tidak secepat tadi, seolah ia tidak terburu-buru meninggalkan momen kedekatan itu.
Mereka berjalan dalam keheningan yang tidak lagi tegang, tapi lebih seperti keheningan yang nyaman. Sesekali Aelthar menunjukkan tanaman-tanaman langka atau menjelaskan fungsi kristal-kristal yang bertebaran di sekitar jalan mereka.
"Kristal biru itu adalah Lumenis," katanya sambil menunjuk kristal sebesar kepalan tangan yang berpendar lembut. "Mereka menyimpan energi bulan dan melepaskannya saat malam. Itulah mengapa malam di Sylvaran tidak pernah benar-benar gelap."
"Dan yang ungu?"
"Stellaris. Mereka terhubung dengan energi Elydrion secara langsung. Jika ada ancaman besar, mereka akan berpendar merah sebagai peringatan."
Therion memperhatikan setiap detail yang dijelaskan, tidak hanya karena rasa ingin tahu, tapi juga karena ia semakin terpesona dengan cara Aelthar berbicara tentang hutannya. Ada cinta yang mendalam di sana, dedikasi yang tidak bisa dipalsukan.
Saat mereka sampai di tepi area yang lebih gelap, Aelthar berhenti.
"Kita akan memasuki Hutan Bayangan," katanya serius.
"Dari sini, kau tidak boleh meninggalkanku barang seinci pun. Apapun yang kau lihat atau dengar, apapun yang mencoba menarikmu menjauh, jangan pernah melepaskan tanganku."
Sebelum Therion bisa bertanya, Aelthar sudah mengulurkan tangannya. Tangan yang pucat dan tampak lembut, tapi saat Therion menyentuhnya, ia merasakan kekuatan yang mengalir di bawah kulitnya.
Sentuhan itu membuat keduanya tersentak. Bukan hanya karena kehangatan yang tiba-tiba menyebar, tapi karena energi yang langsung beresonansi di antara mereka.
Seperti dua bagian puzzle yang akhirnya menemukan pasangannya. Lebih dari itu- saat kulit mereka bersentuhan, Therion merasakan sesuatu yang aneh. Seolah ada bagian dari jiwanya yang sudah mengenali sentuhan ini, sudah merindukan kehangatan ini sejak lama.
Aelthar menatap tangan mereka yang bergandengan dengan mata membesar. Energi Elydrion di dadanya tidak hanya bergetar, tapi berdesir dengan cara yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Seolah sesuatu dalam dirinya sedang terbangun, sesuatu yang sudah tertidur selama berabad-abad.
"Ini..." ia mulai, tapi tidak menyelesaikan kalimatnya. Bagaimana ia bisa menjelaskan sensasi aneh ini?
Bagaimana ia bisa mengatakan bahwa untuk pertama kalinya dalam 190 tahun, ia merasa... lengkap?
"Ada apa?" tanya Therion, meski ia juga merasakan sesuatu yang aneh dan menghangatkan. Ada sesuatu dalam sentuhan mereka yang membuatnya merasa seperti pulang ke tempat yang tidak pernah ia ketahui ada.
"Tidak... tidak ada apa-apa," Aelthar menggeleng cepat, tapi ia tidak melepaskan genggaman itu. Tidak bisa. Seolah melepaskan tangan ini berarti kehilangan sesuatu yang berharga.
"Kita masuk sekarang."
Mereka melangkah bersama ke dalam Hutan Bayangan, tangan saling bergenggam erat. Dan saat mereka memasuki area yang lebih gelap, sesuatu yang menakjubkan terjadi.
Bunga-bunga yang sudah layu di sekitar jalan mereka tiba-tiba mulai mekar, berpendar dengan cahaya lembut. Kristal-kristal Stellaris berpendar lebih terang, menciptakan jalur cahaya yang memandu langkah mereka.
Bahkan lebih mencengangkan lagi, bayangan-bayangan menakutkan yang biasanya berkeliaran di Hutan Bayangan mundur, seolah takut atau, entah terlihat segan dan hormat pada resonansi energi yang terpancar dari dua sosok yang berjalan bersama itu.
Yang tidak mereka ketahui, di kedalaman jiwa masing-masing, sesuatu yang sudah lama tertidur mulai bergerak, merespons kehadiran satu sama lain dengan cara yang tidak bisa dijelaskan oleh logika manapun.
Di dalam dada Aelthar, batu kecil yang selama ini dia kira hanya kristal Elydrion biasa mulai berdenyut dengan ritme yang sama dengan detak jantung Therion.
Dan di dalam jiwa Therion, sesuatu yang tidak ia ketahui, sesuatu yang selama bertahun-tahun menghalangi instingnya mulai bereaksi aneh - tidak melemahkan, tapi seolah... berubah menjadi sesuatu yang lain.
Di belakang mereka, dari kejauhan, Adonis dan beberapa Omega mengamati dengan mata penuh kekhawatiran dan keheranan.
Resonansi energi yang terpancar dari dua sosok itu begitu kuat hingga membuat kristal-kristal Stellaris di sekitarnya berpendar lebih terang.
"Dewa Elydrion," bisik Lyrian yang ikut mengamati. "Apakah kita sedang menyaksikan kebangkitan legenda?"
Pertanyaan itu tergantung di udara, tanpa jawaban, sementara dua sosok itu menghilang di kedalaman Hutan Bayangan yang misterius.
○ ○ ○
YOU ARE READING
AETHERBOUND •NOMIN•
Fanfiction"Jangan mendekat, Alpha." Aelthar berdiri tegap di tengah kabut yang menyelimuti hutan, matanya menatap tajam Therion. Namun Alpha itu tak bergeming, melangkah mantap seakan menantang garis takdir yang mengikat mereka. "Berhenti, lancang!" Hutan ini...
#5; The Reluctant Guide
Start from the beginning
