Rombongan mulai bergerak keluar istana, melewati desa-desa kecil, ladang yang basah oleh embun pagi menjadi saksi langkah mereka. Anak-anak menatap rombongan dengan rasa penasaran, para pedagang menunduk hormat ketika rombongan utusan kerajaan ini melewati mereka dengan gagah.
Hingga matahari tenggelam dan tergantikan oleh sinar rembulan, mereka sampai ke sebuah hutan kecil di ujung wilayah Brenvalis. Therion beserta para pengawal berhenti untuk bermalam sekaligus mengistirahatkan tubuh beserta kuda yang mereka tunggangi. "Hamba akan menyiapkan tempat istirahat anda, Pangeran Therion." ucapan salah satu pengawal itu ditanggapi anggukan oleh Therion.
Dirinya turun dari kuda hitam legam kesayangannya, lantas membelai kuda itu dan menepuk-nepuknya pelan sebelum meraih sebuah apel di kantong yang dibawanya dan memberikan apel itu kepada Gral -nama kudanya. "Terima kasih kawan, kerja bagus hari ini." kata-kata itu selalu ia ucapkan pada kuda kesayangannya.
Saat Therion sedang membelai dan memberi makan Gral, tiba-tiba Lorath si pemimpin pengawal berteriak padanya, "Yang Mulia! Awas di belakang anda!" lalu dengan cepat Lorath melepaskan anak panah, melewati Therion dan tepat mengenai ular berbisa yang hampir saja mematuk Therion dari ranting pohon yang berada di belakang sang Pangeran.
Lorath menghampiri Pangerannya dengan tergesa, "Apakah anda baik-baik saja?" raut wajahnya jelas khawatir. Therion memandang ular yang hampir mencelakainya itu kini tidak berdaya akibat anak panah pengawalnya. Lantas dengan raut wajah datarnya, Therion mengangguk sembari beranjak pergi dari sana, "Ya, terima kasih Lorath."
○ ○ ○
Therion duduk dan bersandar di tempat yang telah disediakan untuknya oleh para pengawal, ia belum berucap apapun setelah insiden ular tadi. Raut wajahnya dingin tak terbaca, meski dalam hati ia kembali merutuki dirinya. Sejatinya bagi seorang Alpha, merasakan ancaman kecil dari seekor binatang biasa seperti tadi adalah hal yang sangat mudah. Namun sayang, insting Therion benar-benar tidak bisa mendeteksi bahaya bahkan yang sekecil itu. Ia benar-benar tidak merasakan apapun tadi, kehadiran ular yang bahkan tidak sampai satu meter tepat di belakangnya.
Lantas gelisah di hatinya membawa percikan ingatan masa kecil yang kini menghantui pikirannya.
Pikirannya melayang ke masa kecilnya, ketika ia pertama kali menyadari kelemahannya. Di Arena Veyralis, halaman latihan para Alpha muda di istana Brenvalis, ia berdiri tegap di antara Alpha sebayanya, tubuhnya kecil dibandingkan yang lain namun dibayangi rasa ingin membuktikan diri. Aroma tanah basah dan dedaunan segar memenuhi udara, bercampur dengan feromon para Alpha muda yang bergejolak, yang tidak bisa dirasakan Therion kecil.
Latihan pertama adalah Halscent, merajut aroma feromon sendiri agar dapat mengaburkan kehadiran atau menakuti lawan. Therion menghirup napas panjang, sekuat tenaga mencoba menyesuaikan feromonnya namun aroma yang keluar lemah, hampir tak terasa. Binatang percobaan-seekor Seraphix, makhluk mirip kucing dengan mata berwarna hijau-mengendusnya sebentar kemudian mengalihkan perhatian ke Alpha muda lain. Siremaster, -sebutan bagi para pelatih Alpha muda- menggeleng dan menghela napas, juga senyum tipis Alpha sebayanya membuat dada Therion sesak. Instingnya tak mampu mempengaruhi makhluk bahkan yang paling sederhana sekalipun.
Hari itu berlanjut ke latihan Essentra, membaca feromon dan aura Alpha lain. Di sini setiap Alpha mampu merasakan kehadiran lawan sebelum terlihat, mendeteksi niat, bahkan emosi yang terselubung. Therion menutup mata, mencoba mengalirkan konsentrasi, namun lagi-lagi semua yang ia rasakan hanyalah kabut samar, gelombang tak berbentuk yang hanya menimbulkan sakit kepala. Ia tak dapat membedakan niat siapa pun, tak ada petunjuk yang jelas. Setiap gerakan Alpha muda lain tampak meluncur mulus, sementara ia tersandung dalam ketidakpastian.
Terakhir adalah Huntalis, simulasi perburuan dan pertarungan dengan hewan hutan. Therion bergerak perlahan, langkahnya salah, arah yang ia ambil tak sesuai strategi, dan setiap kesalahan terpantau Siremaster yang berdiri tegak di tepi arena. "Pangeran, berkonsentrasilah. Instingmu sangat lemah dan tidak sebanding dengan yang lain," suara itu terngiang di telinganya. "Insting itu seperti pedang yang tidak dapat diasah hanya dengan akal." Bisikan itu menjadi mantra pahit yang membekas.
YOU ARE READING
AETHERBOUND •NOMIN•
Fanfiction"Jangan mendekat, Alpha." Aelthar berdiri tegap di tengah kabut yang menyelimuti hutan, matanya menatap tajam Therion. Namun Alpha itu tak bergeming, melangkah mantap seakan menantang garis takdir yang mengikat mereka. "Berhenti, lancang!" Hutan ini...
#2; Shadowed Path
Start from the beginning
