Di kantor Orsino Corp, suasana sudah mulai lengang. Pekerja pulang satu per satu, menyisakan beberapa staf yang masih menyelesaikan pekerjaan. Duke baru saja keluar dari ruang meeting setelah bertemu beberapa orang penting yang menjadi mitra bisnisnya.
Informasi yang kembali diterimanya hari ini cukup jelas: Olivia Jensen tidak pernah kembali ke apartemennya. Dan Duke diberitahu—dengan siapa lagi kalau bukan Leonardo De La Vega. Ia bisa menebak, Olivia berada di sana bukan karena pilihan bebas, melainkan keterpaksaan.
Satu-satunya cara untuk menghancurkan Leonardo adalah melalui Masion De Velliere.
Di ruang kerjanya, Duke sudah menandatangani beberapa dokumen perintah. Semua mitra bisnis yang masih menjalin kerja sama dengan Masion de Velliere akan dipaksa memilih:
Memutuskan kontrak dengan Masion De Velliere, atau jika tidak Orsino Corp akan memutuskan kerja sama dengan mereka. Dengan pengaruh Orsino Corp yang begitu besar di New York, semua orang pasti memilih tetap di pihaknya.
Saat mereka hendak pulang, Austin menyusul sambil membawa map.
“Anda yakin dengan ini, Mr. Orsino?” tanya Austin hati-hati, suaranya pelan namun jelas.
Duke berhenti di depan pintu lobby, menoleh dengan tatapan dingin yang datar, khas dirinya.
Austin menahan napas menunggu jawaban.
Namun Duke tidak berkata sepatah kata pun. Ia hanya melangkah masuk ke dalam mobil hitam yang sudah menantinya. Austin tahu, dalam dunia bisnis, keputusan sudah final—dan siapapun yang melawan hanya akan hancur.
...
Di sisi lain, di rumah besar milik keluarga De La Vega, Leonardo baru saja kembali. Ia habis menemui dokter pribadinya. Dalam genggamannya, hasil tes DNA bayi yang baru saja lahir dari rahim Olivia Jensen.
Akurat.
Bayi laki-laki itu adalah darah dagingnya.
Ada rasa senang, sekaligus lega di hati Leonardo. Keinginannya untuk menghabisi bayi itu lenyap seketika saat melihat wajah mungil itu—wajah yang memantulkan garis keturunan De La Vega. Ia memutuskan: bayi itu akan dibawanya jauh dari Olivia. Ia yang akan menanggung dan membesarkannya.
Seorang pelayan menunduk ketika Leo masuk.
“Dia sudah sadar?” tanya Leo.
“Iya, tuan.”
Leonardo mengangguk dan langsung menuju kamar tempat Olivia dikurung.
Di sana, Olivia masih terbaring. Tangannya terikat, wajahnya kusut dengan air mata. Nampan makanan di samping ranjang sama sekali tidak tersentuh.
Begitu mendengar langkah seseorang, Olivia menoleh cepat.
“Dimana bayiku!?” suaranya parau, nyaris putus asa.
Leonardo tersenyum tipis, sinis, berjalan perlahan menghampiri ranjang itu. Langkah sepatunya yang berat terdengar menghantam lantai, membuat jantung olivia berdegup semakin kencang.
Pria itu duduk di tepi ranjang, tatapannya menelusuri wajah perempuan yang dulu selalu tampil menawan di panggung mode, kini tampak kusut, penuh keputusasaan. Jemarinya terulur, mengelus pipi olivia dengan lembut—terlalu lembut hingga terasa lebih menyeramkan daripada kekerasan.
“Kau tidak perlu khawatir soal bayi,” ucapnya tenang, seolah-olah semua baik-baik saja.
Olivia menggeleng cepat, air matanya semakin deras.
“Aku tanya dimana bayiku! Aku ingin bertemu dengannya, Leo. Aku mohon! Kau tidak menghabisinya, kan? Dia tidak bersalah!”
Suaranya melengking penuh kepanikan, hingga tubuhnya yang masih lemah bergetar hebat.
YOU ARE READING
AURORA 2
RomanceEnam tahun setelah pernikahan mereka, Duke Alexander Lucian Orsino dan Aurora Ocean Lynn kini hidup bersama putra kecil mereka, Hero Alexander Ocean Orsino, yang akan segera masuk sekolah dasar. Rumah mereka selalu hangat, tapi diam-diam Aurora mula...
