Lima

3.5K 92 3
                                        

Aurora melangkah masuk ke lobby sekolah Hero. Udara siang itu terasa hangat, bercampur aroma khas kayu dari interior sekolah yang selalu membuatnya tenang. Ia menurunkan tas kecil dari bahunya, lalu duduk di salah satu kursi tunggu yang menghadap pintu kelas.

Ponselnya diambil sekilas—jarum jam digital menunjukkan sebentar lagi bel akan berbunyi, menandakan anak-anak akan berhamburan keluar. Ia membiarkan matanya mengamati sekeliling; beberapa ibu lain sudah berdiri menunggu, sebagian sibuk bercakap-cakap, sebagian lagi menunduk sibuk dengan ponselnya.

Ia menarik napas pelan, merapikan rambut yang jatuh di bahunya, lalu duduk di salah satu kursi tunggu. Baru saja punggungnya bersandar, langkah seseorang mendekat, diikuti suara riang.

"Aurora?"

Aurora menoleh. Seorang perempuan berambut pirang madu, mengenakan dress putih elegan, berdiri di hadapannya dengan senyum lebar.

"Lucy!" Aurora berdiri sejenak, lalu mereka berpelukan singkat.

"Kau juga menjemput anakmu?" tanya Aurora, nada suaranya hangat.

Lucy mengangguk sambil duduk di sebelahnya. "Iya. Untungnya pekerjaanku hari ini selesai lebih cepat, jadi aku sempat menjemput Liona."

Aurora tersenyum, lalu tatapan Lucy berubah sedikit nakal.
"Eh… aku dengar kau menikah dengan Mr. Orsino?"

Aurora tersenyum tipis, hanya mengangguk. Dalam hati ia berpikir—Siapa yang tidak mengenal Duke Alexander Lucian Orsino?

Lucy bersandar sedikit. "Ngomong-ngomong, kau sendiri masih bekerja sekarang, Rora?"

Aurora menghela napas pelan sebelum menjawab, “Tidak. Aku berhenti sejak mengandung putraku. Tapi… aku berniat untuk bekerja lagi. Hero sudah cukup besar, aku pikir ini waktunya aku kembali melakukan sesuatu untuk diriku sendiri.”

Lucy mengangguk mengerti, tatapannya seolah membaca isi hati Aurora. “Aku tahu rasanya. Aku juga sempat begitu, dan aku akhirnya memutuskan kembali bekerja.”

Ia lalu merogoh tas tangan mewahnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. "Ini… kebetulan. Di Maison de Vellière. Tempat aku bekerja— Kalau kau mau, aku bisa merekomendasikan mu. Perusahaan ini cukup besar, dan aku pikir kau akan cocok."

Aurora menerima kartu itu, membacanya sekilas. Logo brand ternama itu tampak berkilau di bawah cahaya.

"Terima kasih lucy, Aku akan mempertimbangkannya," katanya.

Lucy tersenyum, lalu menepuk bahu Aurora pelan. "Tapi… sepertinya kau tak perlu bekerja, Rora. Kau kan istrinya Mr. Orsino."

Aurora hanya tersenyum samar. Dalam hatinya, ia tidak ingin setiap orang terus mengukur dirinya dari siapa suaminya.
Percakapan mereka terhenti ketika suara riuh anak-anak memenuhi koridor.

“Mommy!” suara Hero terdengar riang, diikuti langkah kecilnya yang berlari ke arah Aurora.

Aurora berjongkok, membalas pelukan erat anaknya. “Ayo kita pulang,” kata Hero sambil menarik tangan ibunya penuh semangat, seperti takut Aurora akan menghilang jika ia melepaskannya.

Aurora ikut berdiri, setengah tertarik oleh ulah Hero. "Sampai jumpa, Lucy. Nanti aku kabari," katanya.

Lucy melambaikan tangan sambil tersenyum hangat. "Baik. Hati-hati di jalan." Ia kembali duduk, menunggu Liona sang putri yang kelasnya baru akan bubar beberapa menit lagi.

Aurora melangkah pergi bersama Hero, sementara kartu nama Maison de Vellière masih ia genggam di tangannya—

...

Malam merayap masuk ke setiap sudut rumah Orsino. Lampu-lampu kristal di lorong memancarkan cahaya keemasan yang temaram, memantulkan kilau lembut di dinding marmer.

Aurora terbaring di atas ranjang king size, selimut tipis menutupi tubuhnya. Tatapannya kosong, pikirannya jauh melayang. Kartu nama Lucy yang tadi siang ia terima disimpan didalam meja, takut Duke mengetahui itu.

Di ruang kerja, Duke masih sibuk. Suara samar kertas dibalik dan pena berderit kadang terdengar dari balik pintu. Aurora tahu, jika ia menceritakan tawaran pekerjaan itu, Duke pasti akan menentang. Ia bisa membayangkan wajah tegasnya, kata-kata lugasnya yang sering tak bisa dibantah.

Pintu kamar berderit pelan. Langkah berat namun tenang itu mendekat, lalu kasur di belakangnya sedikit tenggelam. Kehangatan tubuh Duke langsung terasa ketika lengan kokohnya melingkari pinggang Aurora, menariknya ke dalam pelukan.

"Aku pikir kau sudah tidur," bisik Duke, suaranya rendah, hangat, dan sedikit serak.

Aurora tidak menjawab. Ia merasakan napas suaminya di lehernya, membuat bulu kuduknya berdiri.

"Kau masih marah padaku?" tanyanya lagi, kali ini lebih pelan, seolah takut merusak suasana.

"Tidak," jawab Aurora lirih, meski dalam hati ia masih memikirkan sesuatu yang belum berani diucapkan.

Duke menghela napas, merapatkan pelukan. "Aku hanya… tidak ingin kau kelelahan, Rora. Aku mampu memberikan semua yang kau mau. Kau hanya perlu mengatakan padaku."

Ia menoleh perlahan, hingga tatapan mereka bertemu. Sorot mata Duke dalam, seperti ingin menembus pikirannya.

“Aku ingin minta sesuatu,” katanya hati-hati.

“Apa?”

“Sepertinya aku butuh suster untuk mengantar dan menjemput Hero sekolah,” ucap Aurora.

Duke mengerutkan kening sedikit, lalu menatapnya seolah mencoba membaca maksudnya.

“Suster? Kenapa baru sekarang?”

"Hanya untuk itu saja. Aku… terkadang cukup sibuk di rumah," tambahnya cepat, mencoba meyakinkan.

Hening sejenak, sebelum akhirnya Duke mengangguk pelan. “Kalau itu yang kau mau… baiklah.”

Aurora terdiam. Ia lega, tapi juga khawatir Duke akan curiga mengapa ia tiba-tiba menginginkan bantuan seperti itu.

Namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, Duke sudah memiringkan tubuhnya, mendekatkan wajah mereka tanpa jarak. Bibirnya menyentuh bibir Aurora dengan sentuhan ringan, nyaris seperti pertanyaan. Aurora tidak menghindar—sebaliknya, ia menjawab ciuman itu.

Duke memperdalam ciumannya, lembut namun penuh penguasaan. Tangan besarnya membelai punggungnya, menarik Aurora hingga dada mereka bertemu, membuat jantungnya berdegup tak terkendali. Aurora merasa seluruh dinding pertahanannya runtuh satu per satu di bawah sentuhan itu.

Ciuman berpindah ke garis rahang, lalu ke lehernya. Aurora memejamkan mata, membiarkan dirinya larut, jemarinya secara refleks menggenggam bagian baju Duke. Ia bisa merasakan panas tubuh suaminya menyelimuti dirinya, menelan semua jarak yang tersisa.

Duke membisikkan namanya di sela ciuman, suara yang dalam dan berat, membuat tubuhnya semakin lemas. Saat ia kembali menatap Aurora, mata mereka saling terikat— seperti hanya ada mereka berdua di dunia ini.

Malam itu, mereka menyatu tanpa tergesa, saling mengisi celah yang tak pernah diucapkan dengan kata-kata. Aurora merasakan ketegasan dan kelembutan Duke berpadu, seolah ingin meyakinkannya bahwa di pelukan ini, ia adalah miliknya, sepenuhnya.

Di akhir, ketika napas mereka sama-sama terengah, Duke tetap memeluknya erat, mencium puncak kepalanya seakan menandai bahwa ia tidak akan pernah membiarkannya pergi. Aurora menutup mata, merasakan detak jantung pria itu berdentum di dadanya…

Namun jauh di lubuk hatinya, Aurora tahu… tawaran pekerjaan itu akan kembali menghantui pikirannya. Dan ia masih belum tahu, apakah ia akan memberitahu Duke atau diam saja.

AURORA 2Where stories live. Discover now