zaidyn adalah anak ketiga dari empat bersaudara-si pembuat onar, si biang masalah, si anak yang akhirnya dibuang oleh keluarganya sendiri.
Sejak kecil, ia selalu takut kasih sayang orang tuanya direbut sang adik, Asael. Ketakutan itu menjelma jadi k...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
. . . .
Hujan malam itu turun deras, menusuk hingga ke tulang. Jalanan desa yang biasanya sepi, kini dipenuhi suara teriakan, kaca pecah, dan langkah kaki yang berhamburan. Zaidyn berlari terhuyung, nafasnya tersengal, darah hangat mengalir dari pelipisnya.
Dia tidak tahu bagaimana bisa terjebak di tengah perang geng jalanan ini. Desa terpencil yang selama ini ia anggap mati, tiba-tiba saja dipenuhi orang-orang asing dengan wajah beringas dan senjata di tangan.
"Sial…" gumamnya, tubuhnya bergetar menahan sakit. "Gue bahkan mati pun… tetep kayak pecundang."
Hidupnya selama 25 tahun memang penuh kegagalan. Di mata keluarganya, dia hanya anak ketiga yang jadi aib. Manipulatif, keras kepala, dan kejam pada adik satu-satunya—Asael. Dialah yang membuat orang tuanya kecewa, dialah yang memecah keluarganya sendiri.
Ingatannya berkelebat. Asael kecil yang selalu tersenyum meski dipukul. Asael yang tetap mengulurkan tangan meski ditolak. Asael yang tetap bilang "Abang jangan sakit, ya" meski lebam di pipinya hasil ulah Zaidyn.
Tapi apa yang dia lakukan? Dia balas kasih sayang itu dengan kebencian. Dengan tangan yang kasar. Dengan kata-kata yang menusuk.
Dan akhirnya, keluarganya benar-benar membuangnya. Mengasingkannya jauh ke desa tanpa internet, tanpa harapan, tanpa cinta.
Kini, di tengah hujan deras dan pisau yang menembus perutnya, Zaidyn hanya bisa tersenyum getir. Air mata bercampur dengan air hujan.
"Andai…" suaranya parau, terputus-putus. "Andai gue bisa balik… gue janji nggak bakal nyakitin Asael lagi. Gue janji… bakal jadi abang yang seharusnya. Gue janji…"
Darahnya menetes, tubuhnya melemah. Cahaya lampu jalan memudar dari pandangannya. Dunia menjadi gelap.
Namun sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, sesuatu terjadi. Waktu seolah berhenti. Hujan menggantung di udara, teriakan memudar, dan di hadapannya terbentang cahaya putih menyilaukan.
Zaidyn merasa tubuhnya terseret, terhisap ke dalam pusaran cahaya. Jantungnya berdetak kencang, telinganya berdengung.
Ketika ia membuka mata lagi… Bukan genangan darah yang ia lihat.
Melainkan kamar remaja berantakan dengan poster band yang menempel di dinding.
Cermin di pojok memperlihatkan wajahnya—wajah 16 tahun, dengan seragam SMA kelas satu.
Zaidyn ternganga, tangannya gemetar. "Gila… ini nggak mungkin…"
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Seorang anak laki-laki masuk dengan senyum hangat, membawa segelas susu. Suara yang amat ia rindukan.
"Bang Zaidyn, minum dulu biar nggak sakit perutnya…"
Zaidyn terpaku.
Itu Asael.
Adik yang seharusnya sudah tiada di masa depan.
Adik yang dulu selalu ia sakiti.
Tenggorokannya tercekat. Air matanya nyaris jatuh. Kesempatan kedua… benar-benar datang padanya.
. . . .
Eheh cerita baru nih, author kepikiran mulu pengen buat cerita time travel beginian, alhasil author nekat nih buat cerita gini padahal cerita sebelah aja ngga kelar-kelar malah buat cerita baru lagi😭
Gapapa deh, fantasi author udah meluap-luap ga tahan aja nih tangan mau ngetik🗿