Menjelang siang – [Pukul 10.50]
Pada bangku sekolah paling belakang, Raya sibuk bermain ponsel di jam istirahat. Di atas mejanya ada satu buku paket serta kotak bekal makan. Nasi goreng dengan tambahan sayur serta telur mata sapi gurih. Dihabiskan Raya separuh, dia masih akan menyendok satu suap lagi karena sendok plastic miliknya masih dia himpit bersama ponsel.
Ternyata Raya asyik mengobrol via chat WhatsApp dengan kontak bernama “Silvi Cans”. Tiada lain Silvi selaku adik kelas juga anggota ekstrakurikuler PMR. Pembukaan dibuka Raya dengan pertanyaan bagaimana kabarnya. Perbedaan balasan chat Silvi sangat lambat. Terhitung beberapa menit baru dibalas. Terus begitu, setiap Raya mencoba bertanya tentang kondisi Silvi.
“Sudah mendingan? Sekarang masih dirumah?” Pesan dikirim Raya. Beruntungnya, langsung Silvi baca dan balas.
“Sedikit pusing. Ya ada dirumah.” Balasan Silvi, disusul foto timer sekali lihat. Raya mengunduhnya, melihat selfie setengah wajah Silvi dalam keadaan tengkurap di kamar minim cahaya. Hampir semuanya gelap kecuali flash foto yang menyinari wajah Silvi dengan tanda air mata. Wajahnya sembap kebanyakan menangis.
Raya buru-buru mengetik. terpampang ekspresi heran. “Loh masih nangis? Peyukk.” Terkirim. Dibawahnya ditambah stiker beruang putih memeluk anak ayam berwarna kuning.
Balasan Silvi bukan lagi ketikan biasa, dia mulai menggunakan voice chat. Raya menunggu apa yang akan dibicarakan Silvi. Sedikit memakan waktu, apalagi Silvi berkali-kali membatalkan pesan suara. Begitu terkirim, Raya mendekatkan ponsel hampir menyentuh dagu. Betapa Silvi sesenggukan menangis selama 2 menit. Lalu, 30 detik sisanya dia berucap belum berani menceritakan semua.
Tiba-tiba Silvi mengirim gambar timer kedua kali. Betapa terbelalak Raya, Silvi mengirim foto pergelangan tangannya penuh garis sayat benda tajam. Setiap ujung garis, keluar darah kental. –“Sakit kak Ray.” Pesan Silvi dibawah sambil menambahkan emot tersenyum blush.
Mau tidak mau. Daripada bertambah khawatir; maka Raya mencoba melakukan panggilan langsung. Tapi, langsung Silvi tolak. Selama tiga kali Silvi tolak. Raya pun mengetik dengan ekspresi muram. –“Sil! Angkat!” Menekan tombol panggilan. Lagi-lagi Silvi tolak. Semakin membuat Raya terguncang, profil foto selfie wajah manis Silvi dengan emoticon kucing sekarang berganti profil tanpa gambar. Berupa gambar individu putih dengan latar abu-abu.
“Nanti juga sembuh kak Ray. Jangan ganggu dulu. Mau tenangin diri. Hehe.” Ketikan pesan terbaru Silvi bersamaan profil Silvi muncul secara berbeda. Diganti gambar kotor. Yaitu gambar ilustrasi wanita telanjang dicekik oleh sosok laki-laki sama-sama telanjang dikasur ketika gelap.
Raya terkejut, memperhatikan sekali foto profil barusan. Lalu, menutup mulut. Mata Raya berkaca, segera mengetik pesan balas. –“Hei! Profilmu gak baik! Nanti ketahuan ketua PMR bahaya.” Sayang sekali, padahal Raya sudah tidak sabar menunggu balasan dari Silvi. Malah Silvi hanya membaca pesan tersebut. Status onlinenya menghilang. Beberapa spam panggilan berujung sia-sia karena hasilnya berdering tanpa diangkat. –“Sil?” Tambahan spam chat dari raya terus menyebut nama Silvi yang tanda baca pesan tidak lagi centang dua, melainkan centang satu. Disitulah Raya berhenti menulis pesan. –“Duh! Gue jadi khawatir!” ucapnya kehilangan nafsu makan. Dia menutup kotak bekal. Meletakkan ponsel didepan sambil kedua tangan saling bertemu penuh gerak kegelisahan. Merasa bingung, membuat Raya menarik rambut kebelakang.
Lalu, Raya mengirim pesan ke nomor tanpa nama. –“Om, Silvi gak papa kan? Please jawab. Kirim alamat lengkapnya.” Demikian telah terkirim, tapi status kotak ayah kandung Silvi sedang offline.
Semakin gelisah dan ingin mencari tahu. Maka, Raya menyebut nama Silvi di grup PMR. Mengetahui hanya menyebut nama pasti sia-sia. Raya mulai bertanya dimana alamat lengkap Silvi. –“Urgent!” tambahnya. Salah satu anggota PMR dengan nama abstrak banyak simbol mengirim foto berkas 3 menit kemudian. Pada berkas pendaftaran adik kelas bernama Silvi, tertulis lengkap data diri serta alamat lengkap rumah.
“Astaga Sil. Lu kenapa sih? Tiba-tiba depresi begini!” Sambil Raya berdecih kesal.
Siang hari – [Pukul 13.15] Jam pulang sekolah.
Raya sedang berdiri, gelisah membelakangi teman-teman anggota PMR sedang duduk di lantai, bersebelahan ruang khusus anggota PMR. –“Aduh! Angkat dong om!” Panggilan tidak terjawab. Berkali-kali Raya mengetik pesan pada nomor tanpa nama yang sama. Nomor ayah kandung Silvi. Terlebih, spam chat darinya untuk Silvi tetap tidak ada balasan apapun. Masih centang satu.
“Ada yang sudah dibalas?” Raya menyempatkan bertanya pada seluruh anggota PMR. Sebagian bergeleng, sebagian menjawab belum ada jawaban dari Silvi sama sekali. Wajah setiap anggota bingung dalam diam mereka. Banyak yang berbisik mengenai foto profil Silvi karena ponsel mereka sedang melihat ilustrasi pornografi tersebut. Memang mereka berkumpul bukan karena jam rapat anggota atau membahas anggota baru. Tapi, mereka berkumpul karena Raya menceritakan apa yang terjadi pada Silvi ketika menginap dirumahnya. Lebih mengejutkan, bukti-bukti chat Silvi sebelumnya serta voice chat saat gadis cantik berambut panjang itu menangis histeris.
“Telpon lagi Ray, kalau ayahnya gak kunjung ada jawaban. Kita langsung ke alamat rumah Silvi aja. Gimana? Setuju gak?” sahut salah seorang siswi berwajah tirus, dengan rambut dikuncir kuda. Sedang memegang gelas plastic cup. Semua sepakat, daripada membuang waktu lama-lama.
Terpampang resah, Raya mengangguk. Telunjuknya teramil menggeser layar ponsel. Berharap ini spam telepon terakhir yang akan diangkat ayah kandung Silvi. –“Gue telpon ya.” Menunjukkan ponselnya. –“Eh! Berdering!” Tersentak Raya melihatnya, mulai ada harapan. Selang sepersekian detik, nomor ayah Silvi baru mengangkat panggilan. –“Diangkat!” seru Raya mendesis, meminta teman-teman dibelakangnya tidak heboh atau gaduh.
“Halo om?” Tidak lupa Raya mengaktifkan tombol speaker.
“Ya, h-halo?” Terdengar bising jawaban dari ayah kandung Silvi. Seperti suara angin berkerumun. Lalu, bunyi klakson kendaraan lain.
“Um, Jadi begini om. Saya Raya yang sempat mengajak Silvi menginap kemarin. Rencana saya dan teman-teman ekstrakurikuler lain mau datang ke rumah. Kira-kira Silvi masih ada di rumah om? Bukannya ikut campur, tapi kita khawatir sama Silvi.” Hati-hati sekali tutur kata Raya dalam menjelaskan.
Semua terjawab sudah. Penjelasan ayah kandung Silvi semakin menambah kekhawatiran mereka. Dikabarkan, bahwa sang ayah sedang keluar mencari Silvi setelah pulang kerja. Kronologisnya, ibu kandung Silvi menangis membaca secarik kertas dikamar Silvi bahwa putrinya akan pamit menuju sungai dekat jembatan Jl. Maduwisma. Segera sang ayah bergegas mencari Silvi ke lokasi tujuan. Kendalanya saat ini adalah jalanan macet. Tidak lupa ayah kandung Silvi menjelaskan sempat bertanya pada tetangga dekat rumah kalau sejak awal siang, Silvi pergi keluar rumah entah kemana dan tidak menoleh ketika disapa. Raya membisu merasa sesak, teman-temannya berdiri mendekat. Mereka panik, berkomentar macam-macam bagaimana keadaan Silvi. Tidak mau mendengar kericuhan, Raya mendesis tiga kali. –“Baik, Om. Terimakasih. Ditunggu kabar terbarunya. Maaf menganggu.” Sementara Raya tidak bisa berkata banyak. Berbuat sesuatu pun lebih terlambat lagi. Panggilan berakhir setelah ayah kandung Silvi berjanji akan mengabari Raya kalau sudah menemukan Silvi. Dan selalu banyak meminta maaf, menjelaskan dia sedang menyetir mobil bersama saudaranya. Bahu Raya merosot lemas, kedua tangan diangkat tanda tidak ada yang bisa dilakukan. Mereka harus menunggu kabar selanjutnya.
“Terus gimana?” tanya remaja laki-laki tinggi jangkung berambut keriting cokelat.
“Ya. Pulang. Cuman itu.” Jawaban Raya menambah lesu teman-temannya.
“Apa kita susul ke lokasi?” Tanya siswi gemuk berkacamata.
Raya bergeleng. –“Lokasinya jauh. Macet lagi.” Pendapat Raya mengambil bagian logis kalau tidak perlu repot-repot memaksakan diri. –“Ya, udah gue pamit. Bokap udah jemput.” Terdengar klakson mobil hitam didepan pagar. Raya melakukan tos perpisahan. Kemudian, berjalan cepat meninggalkan mereka. Belum jauh Raya melangkah, anggota PMR itu saling berbisik. Sebagian sibuk pada gawai masing-masing.
Tok! Tok! Tok! “Raya.”Raya berdiri didepan pintu kamar. Selagi menunggu Tabo membuka pintu, dia mengecek kontak Silvi. Sejauh ini hasilnya sama. Bahkan, tambahan pesan terbaru Raya semakin menumpuk tidak terbaca bersama pesan sebelumnya. Merasa frustasi, Raya banyak mengeluh lirih.
“Tabo? Bukain pintu!”
“Iya, sebentar!” Gema jawaban Tabo diiringi derap langkah. Kenop pintu bergerak, pintu pun dibuka.
“Hai. Udah pulang juga ternyata. Gimana sekolahnya?” Wajah Tabo bahagia sekali, menghalangi jalan masuk Raya. Bukan momen bagus karena mood Raya tidak sebaik mood Tabo. Ada kemarahan, tidak ada senyuman, dan tampak kacau.
“Aduh! Apaan sih! Panas banget siang ini! Minggir, minggir…” Diterobos begitu saja oleh Raya, menyingkirkan Tabo yang melongo bingung. Tanpa disuruh lagi, rela hati Tabo menutup pintu. Menguncinya dari dalam sebagaimana perintah Raya setiap ada diantara mereka yang keluar masuk kamar. –“Kayaknya capek banget?” Tabo menyusul langkah Raya.
“Ya. Banget! Eh, gue semakin khawatir sama Silvi tahu gak!” Seketika Raya duduk diatas kasur. Sedangkan Tabo berhenti, mengambil jarak tidak terlalu dekat.
“Kenapa memang? Masih nangis?”
Kancing kerah seragam Raya dibuka. –“Begitu deh. Informasi dari ayahnya si sekarang dia kabur dari rumah.” Memandangi layar ponsel.
“Loh! kok bisa?” Tabo tidak menduga berita tersebut.
Raya bergumam. Mengetik sesuatu sebentar, entah membalas pesan siapa. Tentu, bukan Silvi. –“Gak tahu. Dia masih nangis pas terakhir aku dengar voice chat dia. Kasihan sih. Semoga Silvi segera ketemu, tinggal nunggu kabar dari ayahnya yang lagi jemput ke lokasi.” Sambil mengantongi ponsel. Tangannya menyibak rambut ke belakang.
“Rambut lu semakin panjang Ray. Lama-lama mirip Silvi.”
“Ah, masa?” Tersanjung Raya mendengarnya. Dia tertawa dengan mata menerawang helai rambut depan. –“Eh! Lu udah makan siang? Gue ambilin. Gue juga mau ambil minum sebentar.”
“Udah makan roti sosis tadi. Minum jus jeruk aja Ray. Ada kan?”
Sejenak Raya mengingat. –“Hmm. Seharusnya masih ada sisa. Oke, tunggu! Jangan kunci pintu dulu!” Langsung Raya turun dari kasur, berjalan anggun menuju pintu.
“Siap Raya cantik!” Tabo menegakkan badan, merapatkan kedua kaki, dan tangan memberi hormat.
“Jijik!” Raya tertawa kecil, tubuhnya gemetar geli. Lalu, pintu ditutup.
Suara Raya bersenandung terdengar merdu. Dia berada didapur, sedang berdiri sedikit menunduk didepan kulkas. Mencari jus jeruk yang ternyata hanya tersedia jus jambu serta jus pisang. Kemudian Raya mengambil baki, meletakkan kedua jus barusan dan Raya masih teliti mengecek isi kulkas. Didapur, hanya ada dia dan sang pembantu yang biasa dipanggil bibi. Satu-satunya pembantu yang tetap bekerja, tidak pulang kampong seperti pembantu lain. Sang bibi, membelakangi Raya dalam jarak tiga sampai empat langkah; sedang memotong wortel.
“Bi. Masak apa hari ini?” tanya Raya mengambil buah anggur yang ikut diletakkan diatas baki. Selesai mengambil buah, pintu kulkas Raya tutup menggunakan kakinya yang masih mengenakan kaus kaki sekolah.
“Masak nasi goreng telur untuk makan siang Tuan nyonya dan pak Bos.” Menoleh singkat.
Senyum Raya menyungging. Mulai balik badan, berjalan menuju meja makan. –“Bi, jangan lupa buat Papa kasih cabe rawit yang banyak ya. Sebentar lagi Papa berangkat kerja lagi. Tadi izin jemput aku doang.”
“Loh, kenapa memangnya adik Raya?”
“Biar sakit perut.” Tawa Raya pecah. Sang bibi hampir ikut tertawa, tapi dia tahan selain bergeleng. Sempat Raya mengambil ponsel setelah meletakkan baki di atas meja sementara. Telapak tangan Raya basah, jadi sulit membuka layar ponsel. Terlebih dahulu dia usap menggunakan kain seragam. –“Ada yang bisa dibantu bi? Mumpung Mama gak ada dirumah.” Terkekeh senang.
“Boleh si Adik Raya. Bantu masukin buah apel ke blender sebentar. Bibi lagi repot potong wortel sama timun.”
Raya setuju. Padahal dia ingin bermain ponsel sebentar. Tapi, lebih baik membantu sang pembantu selagi Mamanya yang super bawel itu tidak berada dirumah. Ponsel diletakkan Raya diatas meja, bersebelahan dengan baki. Potongan buah apel dimasukkan Raya kedalam mesin blender. Dia sedikit kesulitan mana yang perlu ditambahkan, gula atau susu dahulu. Bibi menjawab keduanya boleh. Itu bukan masalah yang mempengaruhi manisnya jus buah. Asalkan Raya tidak berlebihan menambahkan gula. Cukup satu sampai tiga sendok saja. Raya tenang mengikuti arahan bibi dan banyak bertanya seputar blender; seperti kapan mesin blender dimatikan dan dimana tombol untuk mematikan mesin. Bibi sedikit tertawa, menggoda Raya kenapa bisa anak perempuan seperti Raya tidak bisa membuat jus. Tentu Raya protes, menyalahkan Mamanya yang melarang ini itu. Respon bibi tertawa terus-terusan. Sedikit menambahkan nasehat, betapa pentingnya perempuan menguasai dapur untuk bekal bersama suaminya nanti. Lalu, sang bibi bertanya apakah Raya sudah punya pacar. Jawaban Raya adalah iya. Kemudian, Raya memotong bahwa hari ini bibinya hampir mirip Mama kedua. Mulai banyak mengatur. Keduanya tertawa. Melempar canda sederhana. Sudah biasa mereka melakukan obrolan lucu seperti sekarang. Kesibukan Raya melupakan keinginannya membawakan jus dari kulkas kepada Tabo. Tertunda beberapa menit. Selesai menuang jus apel, Raya melanjutkan memasukkan potongan buah pisang untuk stok jus nanti sore. Sejauh ini, Raya tidak sadar kalau ponselnnya berkali-kali berdering. Ditelepon oleh nomor tanpa nama. Suara dering ponsel terhambat kerasnya mesin blender melumatkan buah menjadi cair.
“Sudah Bi. Raya mau ke atas dulu.” Tidak lupa Raya mencuci tangan, menggunakan lap dan kembali menuju meja makan.
“Terimakasih adik Raya. Nanti turun buat ambil makan siang ya!” Ketika sang bibi menumis nasi dicampur saus. Proses menyiapkan menu nasi goreng.
“Oke bi,” jawab Raya lirih, mengambil ponsel. Tatapan Raya terpicing, melihat daftar banyaknya panggilan tertolak dari nomor tidak yang sama. Nomor ayah kandung Silvi. Langsung saja Raya menelepon balik. Beruntungnya saat itu panggilan tanpa butuh waktu sudah tersambung.
“Halo. Ini ayah Silvi.” Lantang suaranya karena tombol speaker. Bibi tersentak, menoleh Raya sesekali.
“Ya. Om. Bagaimana? Silvi sudah ketemu kan?” Wajah Raya masam, seperti hawa tidak enak telah menyelimutinya.
“Kamu ada nomor wali kelas Silvi?” Pertanyaan ayah kandung Silvi mengarah hal berbeda.
“Loh kenapa om? Adanya sih nomor kepala sekolah dan wali kelas 9.” Terlebih, ketika Raya mencoba fokus mendengar suara telepon. Ada suara sahutan orang-orang. Sangat ramai. –“Silvi gimana om?”
“…” Belum ada jawaban. Malah, ayah Silvi sedang berbicara pada orang lain yang berada di lokasi keramaian. –“Tolong kirimkan nomor kepala sekolah. Ini ada kabar buruk. Anak saya, Silvi ditemukan tewas hanyut disungai. Dia bunuh diri!” Mata Raya terbelalak. Syok luar biasa hingga ponselnya jatuh. Sementara Raya terdiam kaku.
“Adik Raya?” Menolehkan sang bibi, seketika mematikan api kompor.
“Halo? Tolong kirim nomornya segera. Saya ada perlu dengan kepala sekolah! Halo?” Bagaimana Raya bisa tergerak mengambil ponselnya lagi, dia berdiri cukup lama kehilangan kekuatan. Pandangan kosong, mengabaikan permintaan ayah Silvi yang terus memanggil Raya. Tumpah sudah bulir air mata Raya. Wajahnya merengek. Menjadi merah. –“Silvi…”
Mengudang sang bibi mendekat. Dia berhenti disamping Raya. Masih bingung, tatapan bibi terbagi antara ponsel dibawah dengan sosok Raya yang mulai terisak. Digoyangkan bahunya, Raya tidak berkutik. Lalu, bibi mengambil ponsel tersebut. –“Ada apa ini?” tanyanya ketika terasa situasi menjadi tegang. Tiba-tiba Raya memeluk bibinya, mencengkeram kuat sambil menangis histeris. –“ARRGHHH SILVI!!!” Menjerit. Cukup keras, membuat Papanya datang ke dapur dan bertanya ada apa.
“Anak saya. Gak mungkin! Silvi bangun!” Ditambah suara gaduh orang-orang pada panggilan. Jelas terdengar tangisan ayah kandung Silvi diduga melihat langsung jasad putrinya setelah di evakuasi. –“Hati-hati, turunin pelan-pelan!” Suara seorang petugas atau bagian tim SAR.
“Raya?” Ketika asyik berbaring membaca komik, Tabo bangkit begitu mendengar keributan dibawah antara suara perempuan, suara pertanyaan laki-laki dewasa, dan tangisan dari suara remaja cantik yang dikenalnya. Berkali-kali Raya menyebut lantang nama Silvi. –“Ada apaan dibawah?” Mengetahui tidak mungkin Tabo nekat turun kebawah, selain menguping dari balik pintu. Tangannya bergerak mengunci pintu untuk jaga-jaga apabila mereka semua naik ke atas. –“Silvi?” ulang Tabo hanya mendengar nama Silvi ketika banyak suara berusaha menenangkan Raya dibawah.
“Silvi siapa?” sahut panik laki-laki dewasa, yakni Papa kandung Raya. Terpantul dari balik kamar atas.
“Silvi yang kemarin menginap dirumah ini Pa!” sembur Raya dengan tangisan nyaring.
“Kenapa dia?” Tidak hanya sang Papa, bahkan bibi belum paham betul apa yang terjadi. –“BUNUH DIRI!” teriak Raya membungkam semua orang disana. Pupil mata Tabo membesar, genggaman tangannya pada kenop pintu terkulai.
Kabar tidak terduga mengenai adik kelas bernama Silvi sangat mengguncang hati Raya, dia tidak menduga Silvi merencanakan bunuh diri semenjak menangis di tengah malam. Sama sekali Raya tidak berpikir, kepergian Silvi dari rumah hanya untuk lari dari masalah saja. Bukan memendam niat bunuh diri. Sekalipun Raya sangat menyesal, kenapa mengizinkan Silvi pulang dan menyayangkan kenapa dia benar-benar pergi ke sekolah dan melupakan Silvi dengan perasaan remeh. Tangisan Raya tidak henti-hentinya mericuhkan ketenangan rumah megah yang dia tinggali. Terlalu sesak menahan kehilangan, ditambah permintaan sabar dari sang Papa sangat tidak membantu menenangkan apapun. –“Papa daridulu gak tahu apa itu hati nurani! Sabar? Semudah itu?” Membentak, membuat sang Papa memandang keras. Bibi tidak banyak bersungut suara, dia hanya meminta Raya tenang dan jangan bicara yang menyakitkan kepada Papa kandung sendiri. Tetap saja, emosi Raya meluap-luap. –“Papa jangan ganggu Raya dulu!” Kemudian Raya berlari menaiki tangga menuju kamar. Bagaimana sang Papa bersama seorang pembantu bisa mencegah kemarahan anak remaja. –“Awas ya! Kalau kamu turun kebawah! Papa pukul kamu!” Tangan terangkat dengan mengepal, sebagai bentuk ketegasan Papa kandung Raya yang dikenal keras serta tegas. Sikap tidak sopan dari putrinya, sekalipun sedikit tentu akan ada hukuman.
Penasaran Tabo terhadap pertengkaran diluar kamar, dapat menahan geraknya beralih atau bersikap sok tidak peduli. Dia tetap menguping hingga menjauhkan wajahnya karena tahu Raya berlari menghampiri. Inisiatif Tabo membuka kunci pintu, menjauh mundur sedikit. Pintu seketika dibuka Raya hanya setengah, setidaknya sampai Raya bisa masuk kedalam. Brak! Dibanting keras ketika menutupnya. Tabo tersentak, tangan memegang dada. Terlalu kaget. Tanpa menoleh arah manapun, Raya berlari sambil menangis. Sekilas, Tabo menangkap betapa merahnya wajah Raya. Tentu, pasti Raya menyadari Tabo berdiri disana. Tapi, Raya menahan diri berbicara dengan siapapun, selama waktu yang dia perlukan. Sekarang Raya merebahkan diri di kasur, dalam posisi tengkurap. Wajahnya dipendam dalam bantal. Kedua tangan meremas kasar sarung bantal yang digunakan menyembunyikan wajah cengeng tersebut. Sesenggukan, tangannya kerap melakukan tindakan meluapkan emosi, seperti memukul serta menutup kepala seakan sedang sakit kepala. –“Seharusnya gue gak izinin Silvi pulang!” Nadanya hampir buntu, tersumbat.
Jujur, bagi Tabo ini diluar dugaan. Tabo awalnya tidak terlalu peduli dengan mental Silvi setelah menyetubuhi gadis periang itu karena tidak tahan dengan kemolekan tubuh adik kelasnya. Sejenak, timbul perasaan sedih dari Tabo. –“Ray…” sebut Tabo lirih sembari mengunci pintu. –“Ini pasti berat buat lu.” Ucapan Tabo hanya menambah kencang tangisan Raya. Dalam keadaan kehilangan seperti sekarang, Raya hanya ingin menangis tanpa dikomentari orang lain.
“Silvi gadis yang baik.” Tabo memposisikan punggung bersandar pada dinding dekat pintu. Kaki kanan ditekuk, tangannya bersedekap. Menyembunyikan rasa panik. –“Tapi, bagus sih kalau Silvi bunuh diri. Posisi gue aman dan gak stres buat mikir semisal Silvi buka suara soal perilaku gue.” Membantin, tidak sengaja menorah senyum simpul senang. Menyadari, tidak seharusnya merasa aman dahulu, Tabo berdeham. Berpikir, waktu yang tepat menanangkan Raya. Malangnya, Tabo bukan pribadi yang bagus untuk menenangkan kesedihan perempuan. Tidak pernah dia melakukan perbuatan berani seperti itu. Jika ingin, seharusnya Tabo bisa melakukannya. Baginya, ini keutungan mendapatkan perhatian Raya selama masa berduka. Pribadi introvert Tabo, malah membuat perutnya sakit setiap ingin melakukan sesuatu yang melibatkan tindakan sosial. Terpaksa Tabo menahan diri. Sulit mempraktekkannya dan lebih baik memberikan Raya waktu menangis.
“Hm?” Semua berlangsung cepat, efek menangis berlebihan mempengaruhi turunnya kesadaran Raya. Tubuhnya terasa b erat, sangat lelah. Tidak terasa, dia ketiduran entah sudah berapa lama. –“Gue ketiduran?” Melihat bekas bantal yang bercak basah air mata. Hidung Raya terasa tersumbat karena terlalu banyak mengeluarkan ingus. Rambutnya sedikit berantakan.
“Tisu?” Dari tempat duduk komputer, Tabo menawarkan kotak tisu. Jawaban Raya mengangguk, mulai bangkit duduk. Menjadikan bantal sebagai tumpuan lutut. –“Terimakasih.” Ketika Raya menerima kotak tisur dari Tabo yang berdiri disamping kasur. –“Lu pertama kali ya lihat gue nangis kayak gini?” Tertawa kecil, sebelum semua gerak tangan Raya sibuk membersihkan bekas sembap wajah karena air mata. Belum ada jawaban dari Tabo, dia membenarkan posisi kacamata. –“Tadi ada yang ketuk pintu, dari bibi mau minta masuk.” Terucap berita lain dari Tabo selama Raya tidur.
“Lu gak bikin curiga kan?” sosor Raya setengah terkejut.
Tabo bergeleng. –“Akhirnya bibi kembali turun karena gak ada suara apapun. Lumayan lama sih bibi mengetuk pintu dan tanya soal keadaan kamu di kamar Ray.” Hanya terdengar suara Raya membesit hidung menggunakan tisu. –“Sorry kalau gue tidurnya lama. Jam berapa sekarang?”
“Sore jam setengah lima.” Kemudian Tabo duduk setengah balik badan, kedua kakinya mengambang hampir menyentuh lantai. Mendengar kisaran jam kabar kematian Silvi dengan jam tidur Raya cukup mengagetkan bagi Raya pribadi. –“Astaga. Gue tidur selama itu?” Tabo mengangguk tenang. –“Ya ampun!” Kemudian Raya menepuk dahi. –“Gue lupa bawa jus! Bentar, gue turun dulu!” Terpikir Raya beranjak, lalu Tabo berteriak menahan. –“Jangan! Gak usah.”
“Hah?” Alis Raya bertahut heran. Setelah Tabo menjelaskan, ternyata bibinya sengaja menitipkan baki jus serta mangkuk nasi goreng didepan pintu. –“Kok lu gak ambil daritadi?” tanya Raya dengan nada tinggi. Tabo mengaku belum berani membuka pintu, bisa saja sosok pembantu rumah tertidur juga didepan pintu. Perkiraan Tabo berhasil membuat Raya tertawa, bahkan menepuk bahu remaja berkacamata itu. –“Tunggu, gue ambil dulu.” Akhirnya Raya beranjak. Ketika perlahan membuka pintu, benar adanya kalau didepan ada baki jus serta satu mangkuk nasi goreng. Lengkap toping telur mata sapi spesial. Raya mengambilnya, sempat memandang hati-hati situasi luar. Sebenarnya Tabo menolak, dia sudah terlanjung kenyang makan cokelat dan minum kaleng susu dekat meja komputer. Begitu kekeuh Raya meminta Tabo mencicipi nasi goreng buatan bibinya. Tabo khawatir, karena Raya pasti belum makan sejak siang. Wajah Raya kembali sedih, dia bergeleng dan menjawab tidak lapar sama sekali.
“Gue ikut kehilangan tentang Silvi,” ucap Tabo dalam kondisi mulutnya penuh nasi. Apakah sopan mengaku kehilangan ketika dia sendiri lahap menikmati nasi goreng terenak dan terbaik menurutnya.
“…” Senyum masam Raya lenyap. Seakan mengalihkan kesedihan dengan menjahili Tabo bahwa ada nasi menempel di bawah bibir. Padahal tidak ada. Terlanjur Tabo percaya. Karena sangat lapar, dia teruskan menikmati nasi goreng, menunggu Raya berbicara.
“Gue tahu lu sedih banget Ray.” Sambil menelan makanan.
Mata Raya tiba-tiba berkaca-kaca, dia mengangguk berat. Ada beban yang menahannya bicara. Kemudian Raya mengecek ponsel, banyak panggilan tidak terjawab dari teman-teman PMR. Beberapa memilih mengirim pesan kepada Raya secara pribadi. Tidak Raya baca, dia abaikan. Termasuk perdebatan teman-teman PMR didalam grup. Bahkan, mereka semua memposting status kebenaran berita tentang meninggalkan Silvi disebabkan bunuh diri melompat dari jembatan ke sungai. Tidak tahan melihat banyaknya ucapan duka kepada Silvi, terpaksa Raya mematikan ponsel. Dia menunduk dengan menghela napas sesak.
“Kapan mulai dikubur?” tanya Tabo mengumpulkan sisa nasi yang tinggal sedikit. Menciptakan suara hantaman sendok besi pada mangkuk. Raya sedikit terganggu. Apalah daya, dia tidak mungkin marah karena hal kecil barusan. –“Besok pagi langsung dikubur.” Singkat Raya menjawab, sebagaimana informasi grup PMR.
“Seperti biasa, gue gak ikut ya Ray.” Menatap intens lawan jenisnya. Mulut Tabo sedang mengunyah cepat.
Raya bisa mengerti permintaan Tabo. Dia mengangguk setuju. –“Gue tahu,” ucapnya kembali menumpahkan bulir air mata. –“Gue gak tahu kenapa Silvi bisa seperti itu dalam sehari.”
Tabo menahan kunyahan dimulut. Terdiam mencerna maksud ucapan Raya. –“Iya juga sih. Kenapa ya?” Ekspresinya heran, hampir protes. Seandainya Raya tahu kalau Tabo sedang berpura-pura.
“Menurut lu dia kenapa bisa begitu?” Mata Raya terpicing heran. Dia belum menyelesaikan kata-katanya, “Seharian dia di kamar. Happy banget kan? Lu perhatikan juga kan bo?” Bersamaan Tabo mengangguk, bergumam tanda setuju.
“Menurut lu?” Tabo melontar balik pertanyaan tersebut.
Raya mengigit bibir, alisnya tertekuk masih menyimpan marah. –“Kurang pasti sih dugaan gue. Dulu di grup, Silvi pernah bolos ekskul. Alasannya si jalan sama pacar. Tapi, gak tahu benar apa enggak. Soalnya Silvi paling sering godain cowok anggota PMR, jadi teman-teman ngira dia jomblo.” Terlihat gelisah, membolak-balik ponsel juga kadang kembali duduk tegak, kadang condong maju.
“Jadi Silvi punya pacar?”
Bahu Raya tergidik. –“Kalau benar sih. Gue curiga. Pasti ada sangkut pautnya sama pacar Silvi,” lanjut Raya, tiba-tiba menyeruput jus pisang dari baki disebelahnya. –“Bo, lu gak minum? Gue haus banget.”
Tabo menggeleng, lalu bersendawa. –“Bentar, gampang.” Dengan tenggorokan susah payah menelan. –“Coba tanya keluarganya.” Langsung Raya menimpal, “Gak sopan dong. Mereka lagi berduka.” Tidak ada isyarat lain lagi dari Tabo selain lesu memperhatikan mangkuk, terus mengangguk. Dilihat bagaimanapun, wajah Tabo terlalu suram untuk sekedar merasa ceria.
“Pacarnya mungkin satu sekolah?” Perkiraan Tabo membuat Raya menerawang. –“Mungkin.” Melanjutkan menyeruput jus pisang hingga berkurang setengah.
Begitu air gelas jus pisang tersisa sedikit, Raya mengambil sedotan. Menghabiskan sisanya dengan diteguk langsung. Suara sendawa Raya sengaja ditahan lirih. Mengerti adab. Bibirnya menjadi putih tercampur saripati air. Gelas kosong diletakkan diatas baki, tangan Raya pun menarik tisu. Mata terpicing karena mengarahkan ponsel tidak terlalu dekat dengan mata. Jari Raya menscroll layar. Sisa air kental buah pisang yang melapisi bibir mulai dia suap dengan tisu. Jempol tangan kanan Raya menekan grup ekskul. Terkejut setelah mengunduh gambar timer yang dikirim ketua PMR. Raya mendesah kaget, terbatuk-batuk diiringi suara isak. Lagi-lagi mata Raya berkaca.
“Ada apa?” tanya Tabo sesudah menyeruput gelas jus miliknya.
“Tuh kan!” Wajah Raya merengek, bertambah merah. Mengarahkan layar ponsel dari gambar terbaru kondisi kebenaran tentang jasad Silvi. –“Ini beneran Silvi!” Bergeleng. Tangannya menyumpal mulut. Tabo sulit untuk tidak percaya, dia serius memperhatikan gambar pada ponsel. Keadaan wajah Silvi yang basah pucat, kedua mata terbuka sedikit, kulit bibir putih mengelupas. Hanya foto wajah saja karena seluruh badan Silvi tertutup kantung mayat orange. Banyak orang melingkari penemuan mayat gadis masih menginjak bangku SMP melakukan aksi nekat bunuh diri tersebut. Latar yang ada di foto, adalah tiang besi berkarat; lokasi jembatan besi besar.
“Ih! Serem Ray!” Tangan Tabo menyentuh ponsel Raya, digerakkan mundur agar menjauh. Tabo sempat bergetar, merasa ngeri. Lalu, Tabo mencekik leher, tangan semakin naik sampai pipi. Cepat berpindah, mengusap lengan dengan bulu kuduk berdiri. -“Merinding gue! Serius.” Tidak ada protes dari Raya. Tangis Raya pecah kedua kali, giginya rapat. Jemari Raya secara tidak sadar digigit. –“Silvi…” Bersama tangisan, Raya terus menyebut nama Silvi. Dalam keadaan sedih inilah, Raya merasa lemah dan marah. Hanya ada Tabo disana. Maka, Raya mulai memeluk Tabo dengan isak histeris. Tabo melongo tidak percaya. Dia terpaku dan jantungnya berdebar gugup. Pertama kali, Raya sukarela memeluk cowok sebatas teman seperti Tabo Western. Anggapan Tabo demikian. Senyum simpul Tabo mengembang. Tangan perlahan mengumpulkan keberanian untuk mengusap punggung Raya.
“Sabar Ray. Ini berat buat lu…”
Bersambung ....
YOU ARE READING
From Deep Web - I N S O M N I A (Terbit)
Teen FictionFrom Deep Web INSOMNIA Tabo Western adalah remaja introvert yang sering menghabiskan waktunya sendirian di loteng bermain komputer. Akibat tertarik mengikuti event Insomnia dari server Deep Web, yakni tidak tidur selama melakukan tantangan, mulai ba...
