CHAPTER 13

773 116 29
                                    

Hari Ke - 2, 15.17

Aku dan Guntur menggiring si Penerima Tamu ke Ruang BK yang tidak jauh dari tempat 'pendaratan' mereka. Lagipula ruangan tersebut sangat cocok dan menawan untuk dijadikan sebagai tempat interogasi. Kami mengikatnya di sebuah kursi dengan kabel mikrofon dan kabel percabangan. Bisa dibilang si Penerima Tamu cukup babak belur. Aku ragu kalau dia masih baik-baik saja karena cara jatuhnya, di mana punggung menghantam asbes, yang kemudian terjun di toilet guru. Aku yakin ada beberapa tulang yang retak di situ.

Tidak beberapa lama kemudian beberapa dari kami hadir ke ruangan berukuran setengah ruang kelas pada umumnya. Order of Quartz komplet beserta Pak Lian dan Pak Thomas, juga Bripka Lestussen kini mengerubungi si Penerima Tamu. Pak Thomas mengondisikan anak-anak yang penasaran dengan si Penerima Tamu.

Kami berhasil menangkap salah satu—atau mungkin—pemimpin dari para pembantai itu. Dengan kata lain, kalau dia buka mulut semua akan berjalan mudah saja. Pak Lian hendak untuk ikut mengusir kami, seperti biasa, masalah orang dewasa ketika si Penerima Tamu angkat bicara.

"Biarkan keempat bocah itu di sini! Dan kau, pergilah!" ujar si Penerima Tamu seraya menatap Pak Lian dan memberi isyarat keluar dengan kepalanya. Pak Lian melengos dan melenggang keluar.

"Pak Lian, untuk sementara, gantikan saya dan laporkan ini ke pihak luar. Biar saya dan empat bocah ini yang akan mengurusnya ...," ujar Bripka Lestussen. Pak Lian mengangguk seraya keluar ruangan. Praktis, ruangan itu tinggal kami berempat, Bripka Lestussen, dan si Penerima Tamu yang kini terikat.

Bermenit-menit lamanya kami menunggu untuk si Penerima Tamu buka mulut, tetapi ia tetap saja menatap kami berlima dengan tatapan tenang. Sesekali ia tersenyum kecut melihat tampang-tampang kami. Dia sendiri tidak kalah menyebalkan dengan raut wajah yang tergores mirip codet itu, rambut berantakannya, seolah-olah dia adalah pemuda pengangguran yang paling menyebalkan di kota ini.

"Siapa namamu!?" Akhirnya, Bripka Lestussen dengan gusar membuka pertanyaan. Telah disiapkannya sebuah pisau Beretta, ditancapkannya ke meja di samping beliau.

"Sebut saja, si Penerima Tamu, Pak Lestussen!" semburku seraya menatap pria itu sengit.

"Oi ... oi!? Sebutanku si Penerima Tamu? Aku mengharap nama yang lebih keren dari itu ...," ucapnya santai.

"Atau aku bisa memanggilmu 'Bajingan Tengik'!?" sahut Bripka Lestussen. Sejenak pria tahanan kami menghela napas seperti tidak terima.

"Hah ... Dean Begawan. Panggil saja Dean ...," jawabnya dengan wajah sedikit tidak terima. Dean Begawan. Akan aku ingat nama itu sebagai salah satu nama berengsek yang pernah berkutat dalam hidupku. Lalu, kami kembali kesulitan untuk membuka mulutnya. Dia sangat bungkam setelah itu, pun setelah Bripka Lestussen menempelengnya tiga kali dengan cukup keras sehingga sudut bibir Dean kini mengeluarkan darah.

Dia masih bisa tertawa setelah itu.

"Bicaralah, berengsek!" sungutku. Dia malah mengeraskan tawanya, seolah-olah ia mengejekku habis-habisan.

"Bagaimana rasanya kehilangan salah satu jalang cantikmu, Anak muda ...," racaunya tenang. Aku yang kehilangan kesabaran meraung dan sempat memukul wajah condet jelek itu. Ia tetap terkekeh. Septian dan Guntur memegangiku agar aku tidak tiba-tiba menerkam dan menghajarnya telak.

"Kasihan sekali, kutemukan jasadnya terpotong jadi beberapa bagian ... Oh! Kau masih punya satu lagi. Cukup lugu dan manis juga ...," lanjutnya seraya menjilat bibir bawahnya. Aku benar-benar muak dengan dia.

"Aku harap aku bisa membawanya pulang ...."

Aku merangsek maju dan memukul wajah Dean untuk kesekian kalinya. Rasanya benar-benar puas ketika meluapkan kemarahan pada pukulanku. Dean hanya terdiam lalu kembali tertawa. 'Permainan' yang dibuatnya benar-benar licik untuk seorang pengangguran setengah gelandangan ini.

CIVITAS : PROBABILITAS ANTITHESISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang