Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Juanda,
Surabaya. 15 November 2005.
Langit kelabu dan tak bersuara.
Dari jendela kaca Paviliun Mawar VVIP 1, langit menggantung rendah. Awan-awan pucat bergumpal seperti kabut luka yang belum reda. Daun-daun pohon trembesi di pelataran nyaris tak bergerak, seolah udara pun menahan napas, menahan tangis.
Tak ada suara burung. Tak ada lalu lintas. Bahkan klakson ambulans terdengar terlalu pelan hari itu, seperti enggan mengganggu sesuatu yang jauh lebih besar daripada kematian.
Di ruang tunggu utama—dekat dengan meja perawat—seorang gadis berusia 10 tahun duduk sendirian.
Kaki kecilnya menggantung dari bangku plastik biru. Di pangkuannya, sebuah boneka kelinci kecil berwarna abu-abu lusuh ia peluk—telinga boneka itu sobek di satu sisi, benangnya terjuntai seperti luka terbuka yang tak sempat dijahit. Gadis itu mengenakan sweater rajut warna merah tua, sedikit kebesaran, lengan yang menutupi sampai ujung jari dengan rok putih dan sepatu berwarna hitam. Rambut hitamnya tergerai tidak beraturan. Tidak rapi dikepang seperti biasanya. Wanita yang selalu merapikan rambutnya kini sedang bertarung di dalam sana bersama dengan aroma rumah sakit—karbol, alkohol, dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan—melekat pada serat-serat kainnya.
Ia tidak menangis. Ia bahkan tidak berkedip.
Matanya terpaku pada selembar foto yang dilipat rapi di tangannya: dirinya dan ibunya di taman bunga matahari, mengenakan sundress kuning senada, tersenyum. Warna foto itu cerah, digores dengan pensil krayon yang mudah luntur dengan tulisan kecil di pojok kanan bawah:
"Dear Mama, cepat sembuh."
Tapi Mama tidak sembuh. Sudah lama tidak sembuh. Dan tadi pagi, saat tangan Mama mencoba mengelus rambutnya, mencoba merapikan dan membuat kepang seperti biasa, jari-jarinya terlalu dingin, terlalu ringan.
"Nak, kamu boleh masuk kalau mau." Suara seorang perawat menyentuh pelan pundaknya.
Gadis itu menggeleng. Ia takut kalau ia masuk, dan Mama tidak lagi di sana. Atau lebih buruk: masih di sana, tapi tak bergerak selamanya.
Di dalam kamar, Ayah masih memegang tangan Mama, terhanyut dalam doa. Bahkan ia rela menukar segala hartanya hanya demi sang wanita tercinta, untuk tersenyum, tertawa, hidup sekali lagi.
Lorong rumah sakit lenggang. Langkah kaki hanya terdengar kadang-kadang. Suara alat medis berdetak pelan di balik pintu kamar. Ada jam dinding di ujung lorong yang seakan tidak bergerak—padahal waktu terus berjalan. Tapi untuk gadis itu, semuanya seperti berhenti. Mati dalam keheningan putih.
Di Seberang Paviliun, di ruang tunggu tak jauh ruang Unit Gawat Darurat, seorang remaja laki-laki berusia 15 tahun berdiri bersandar di dinding. Tangannya gemetar, meski ia menggenggam kuat kerah jaketnya—jaket tua milik almarhum kakaknya yang dulu selalu melindunginya dari hujan. Kali ini, jaket itu tidak bisa melindunginya dari siapa pun.
Bau muntahan bercampur pil tidur dan darah masih menempel di lengannya. Ia sudah mencuci tangan, tapi bau besi tak mau hilang. Ia tahu, itu bau kematian yang belum selesai.
"Kondisinya tidak stabil. Kami sudah coba pompa lambungnya."
"Kalau bisa, tolong tunggu saja di luar."
"Kami akan berusaha semampu kami..."
Remaja laki-laki itu tidak menjawab. Tidak menunduk. Tidak marah. Ia hanya berdiri diam—seperti tembok tua yang baru saja diluluhlantakkan dari dalam, tapi fondasinya terlalu keras untuk runtuh seketika.
Sahabatnya—sebaya, tertidur di bangku tunggu, mulutnya sedikit terbuka, tangannya memeluk botol air minum yang hampir kosong. Remaja laki-laki itu menatap kawannya sejenak. Ia harus kuat. Ia harus cukup dewasa agar dunia tahu bahwa dirinya baik-baik saja.
Tapi kenyataannya, dia ingin berteriak.
Ia ingin membalik waktu dan mengganti pil-pil itu dengan air, dengan cinta, dengan apa saja yang bisa menahan ibunya di dunia ini.
Saat itu, di tengah lorong panjang yang menghubungkan Paviliun dan UGD, dua jiwa saling menyilang.
Gadis kecil itu melangkah keluar dari ruang tunggu, boneka di pelukannya, foto yang masih ia genggam di tangan. Ia menatap lantai saat berjalan, matanya kosong tapi kakinya tetap bergerak—seperti tubuhnya tahu bahwa ia tak bisa berada di sana lebih lama.
Dari arah berlawanan, remaja laki-laki itu datang—langkahnya cepat, sedikit tergesa. Ia baru saja menerima pesan singkat dari perawat: Kami mohon anggota keluarga dapat ke ruang UGD sebentar. Tapi ia belum siap. Ia tak pernah siap.
Saat mereka lewat, keduanya saling menoleh. Sekilas. Sepintas. Saling melihat, bukan saling mengenal.
Dan detik itu dunia menjadi hening.
Sejenak saja.
Langkah mereka terhenti setengah detik—cukup untuk tatapan mereka bertemu, tapi tidak cukup untuk menyadari apa yang baru saja terjadi.
Gadis kecil itu melihat mata yang lelah dan penuh duka di wajah laki-laki yang tak ia kenal. Remaja laki-laki itu melihat tubuh kecil yang memeluk boneka seperti memeluk dunia terakhir yang tersisa. Tidak ada sapaan. Tidak ada senyum. Tapi ada sesuatu yang bergetar dalam dada mereka masing-masing—sesuatu yang tidak mereka mengerti.
Mungkin hanya pantulan dari rasa kehilangan yang sama.
Mungkin hanya ilusi.
Atau mungkin... dunia memang sedang mencoba mengingatkan bahwa luka bisa saling mengenali, bahkan sebelum nama dipertukarkan.
Beberapa jam setelah itu, dua selimut putih menutupi dua tubuh yang tak akan pernah bangun.. dua ruangan dibersihkan. Dua keluarga pergi. Dua anak mulai belajar hidup dengan separuh jiwa yang kosong.
Dan hari itu—hari kelabu yang tak diberi nama oleh siapa pun—menjadi hari yang mereka simpan di dalam dia. Tidak dikenal dalam percakapan, tapi terus berdetak pelan di dalam hati mereka.
Kelak, mungkin ada jejak langkah yang terdengar familiar.
Sebuah tatapan singkat yang terasa terlalu dalam untuk jadi kebetulan.
Mungkin, dalam keramaian yang lain, di musim yang tak sama,
akan ada sepasang mata yang menatap terlalu lama—
dan jiwa yang, entah bagaimana, mengenang sesuatu yang tak pernah disebut.
Bukan karena mereka mengingat.
Tapi karena luka yang sama, tahu caranya menemukan pantulan.
Seperti bayangan yang pernah bersilang di lorong panjang,
antara hidup dan sesuatu yang tak punya nama.
Dan hari itu, tetap tinggal—
Dalam lipatan sunyi yang tak bisa dijelaskan,
Hanya dapat dirasakan.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted Paradise: The Red Line Between Us
Romance'If I told you the truth, would you still let me hold your hand, or would you call it betrayal?' 'I mistook control for comfort. That's how monsters win, isn't it?' -- Ada yang rusak dalam diri Nora. Tapi tidak ada yang pernah bertanya kenapa. Ia me...
