Hosea tidak pernah benar-benar jatuh sedalam ini. Hidupnya selalu cukup dengan canda dan godaan tanpa janji. Namun sejak Lily datang, adik dari sahabat dekatnya, semua yang ia yakini runtuh.
Mencintai Lily berarti mengkhianati Juan. Larangan itu buk...
Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.
Lily mendorong pintu kelas perlahan. Suara decit engsel menyapa kesunyian pagi yang masih terlampau senyap. Kernyitan samar tercipta kala pandangannya menabrak seseorang yang sudah lebih dulu menduduki tempatnya. Kendati demikian, langkah si cantik kian terajut pelan memotong jarak dan berdiri di samping meja.
Lelaki itu masih sibuk memutar kotak cokelat tua di tangan, memainkannya seperti kubus rubik meski tidak ada sisi yang dapat diputar. Begitu sepatu Lily menyentuh kaki bangku, dia langsung mendongak, menatap wajah si cantik yang dihiasi kerutan penasaran.
"Ngapain?" tanya Lily pada akhirnya. Memecah keheningan sebab kelas hanya diisi oleh mereka berdua.
Yang lebih tua lantas bangkit dari bangku dan meletakkan kotak itu di atas meja. "Masih pusing, nggak? Semalem sakit nggak kepalanya?"
"Nggak yang sampe bikin gue meninggal, sih. Lebay lu." Lily langsung melempar tas ke atas meja dan berlalu menuju sudut kelas, tempat di mana sapu dan pel tersusun sedikit berantakan.
"Ya maaf kalau gue punya rasa empati dan tanggung jawab yang tinggi," balas Hosea. Pita di rambut Lily menjadi objek pandangan. Tangannya bersidekap. Berdiri di antara bangku dan meja gadis itu.
"Lo ngapain, deh?"
Hosea balas mengangat alis.
"Ke sekolah jam segini? Anak OSIS?"
"Lo anak OSIS?" Hosea justru balas bertanya.
"Buka mata lo lebar-lebar!" sahut Lily. Mengangkat sapu dan mengarahkannya pada yang lebih tua.
"Yaudah, sih. Santai. Lo tensi tinggi mulu ngomong sama gue. Perasaan kalau sama yang lain nyantai aja."
"Ya lo nyebelin!"
"Gue cuma nanya."
Helaan napas Lily terdengar, kalahkan suara sapu yang menggesek keramik di bawah sana. Dia tak merespon, membiarkan Hosea melakukan apapun yang lelaki itu niatkan dari rumah. Terserah, Lily hanya datang kelewat cepat tuk tunaikan tanggung jawab sebagai petugas piket hari ini.
"Bukan."
Sampai akhirnya, Hosea kembali buka suara, lemparkan satu kata yang sukses membuat Lily mendongak. Gerakan tangan terhenti, mulut si cantik terbuka kecil, kerutan tipis pun ikut singgah di alisnya. "Apaan?"
"Bukan anak OSIS."
"Oh." Lily lanjutkan tugasnya, menyapu sudut kelas sampai tiba di bawah meja, sedikit kesusahan sebab sapunya tersangkut di kaki-kaki kayu. "Kenapa waktu itu ngambil sumbangan?" lanjutnya sebab Hosea tidak terlihat hendak keluar dari sana.
"Males masuk kelas." Singkat, tetapi berhasil loloskan dengusan dari gadis di sana.
"Menuju Indonesia cemas," komentar Lily sambil senderkan sapu pada dinding sebagai upaya memudahkannya mengangkat kursi ke atas meja, tetapi kalah cepat dengan tangan Hosea yang sudah lebih dulu membawa kursi itu menjauh ke belakangnya, memudahkan Lily menyapu bagian bawah meja tanpa terhalang oleh kaki bangku.