Tapi yang dicari matanya-hanya satu.

Dan ketika ia melihat Azalia sedang duduk sendiri di sudut taman, membaca buku dengan tenang, hati Zayn menghangat. Ia tak mendekat. Cukup dari jauh.

"Ya Allah," doanya lirih, "jika dia adalah takdir yang Engkau simpan untukku, maka cukupkan aku dengan sabar dan adab. Jangan biarkan rasa ini mendahului ridha-Mu."

---

Di sisi lain, Azalia menyimpan pena itu di sela catatannya. Pena sederhana. Tapi sejak hari itu, ia lebih sering tersenyum saat mengingatnya. Kadang, ia menulis satu kalimat di akhir catatan kuliahnya:

"اللهم إن كان خيراً لي، فاجعله قريباً مني، وإن لم يكن، فاصرف قلبي عنه برحمتك."
"Ya Allah, jika dia baik untukku, dekatkanlah. Jika tidak, palingkan hatiku darinya dengan kasih-Mu."

Hari itu, kampus mulai sepi menjelang sore Udara Kairo menghembuskan angin hangat bercampur debu musim panas. Di perpustakaan kecil dekat gerbang Fakultas Ushuluddin, Azalia duduk menghadap jendela, menekuni buku referensi tebal berbahasa Arab gundul. Di hadapannya terbuka laptop, catatan, dan secangkir teh hibiscus dingin yang hampir tak tersentuh.

Satu jam lagi, tugas makalah tentang Ilmu Kalam dalam Pandangan Imam Al-Maturidi harus dikumpulkan. Dan Azalia belum menemukan referensi utama yang sulit ia pahami. Bahasa Arab klasik yang digunakan membuatnya ragu-ragu menafsirkan maksud teks.

Tiba-tiba, muncul notifikasi di ponselnya.

📨 Zayn - Halaqah Ushuluddin
Afwan, Ana izin mengirim PDF kitab asli yang bisa membantu makalah enti. Ana dapat dari dosen kemarin malam. Mungkin bisa jadi pelengkap. Semoga bermanfaat ya.

Azalia terdiam sejenak. Jari-jarinya mengetik pelan:

Azalia:
Jazakallah khayran, Zayn. Ini sangat membantu. Barakallah fiik.

Tak lama, masuk pesan baru.

Zayn:
Jika ada bagian yang sulit, boleh ditanyakan via pesan. Ana usahakan jawab sebisanya. Biar enti tidak terbebani sendiri.

Azalia tersenyum kecil, merasa dihargai tapi tetap nyaman. Tak ada basa-basi, tak ada emoji berlebihan. Semua dalam batas. Sopan. Ringan.

---
Beberapa malam setelahnya, mereka sesekali bertukar referensi dan tafsir lewat grup halaqah. Tidak pernah saling japri tanpa sebab. Dan jika pun terpaksa, tetap menggunakan bahasa formal, penuh adab.

Hingga suatu malam, saat menyusun presentasi kelompok via Zoom, Zayn berkata di akhir diskusi:

"Ana mohon izin pamit lebih dulu, Azalia. Sudah hampir masuk waktu tahajud. Semoga Allah mudahkan makalah kita, dan semoga ini menjadi jalan ilmu yang diberkahi."

Azalia mengetik cepat sebelum ia keluar dari pertemuan daring:

"Aamiin, barakallah fiik. Jazakallah untuk bantuannya hari ini."

Zayn tersenyum kecil di kamarnya, menutup laptopnya, lalu berdiri mengambil wudhu. Hatinya tenang. Ia tahu rasa itu ada. Tapi ia lebih tahu, bahwa rasa yang baik... tak perlu diburu. Cukup dijaga, dan disimpan rapi dalam doa.

Sementara itu, di catatan akhir Azalia malam itu tertulis:

"Jika memang dia baik untuk agama dan masa depanku, ya Rabb, maka cukupkan kami dalam batasan-Mu. Dan pertemukan kami kelak, saat cinta tak lagi perlu disembunyikan."

---

Malam itu, Cairo sedang sepi. Jalanan di sekitar Hayy Asyir tampak lengang, hanya sesekali terdengar suara azan dari masjid-masjid kecil. Angin gurun yang panas di siang hari berubah menjadi semilir dingin yang menusuk. Di kamarnya yang sempit namun tenang, Zayn duduk memandangi mushaf kecil yang sudah mulai lusuh karena sering dibawa ke mana-mana.

Ia telah mencoba menepis rasa itu. Telah menyibukkan diri dengan amanah organisasi kampus, tugas-tugas kuliah, dan halaqah. Tapi nama itu... tetap saja hadir. Azalia.

Bukan sekadar wajah, tapi akhlak. Ketundukannya. Adabnya. Dan caranya menjaga jarak, justru membuat Zayn makin yakin bahwa ia bukan wanita biasa.

Zayn mengambil wudhu. Lalu berdiri di atas sajadah. Dua rakaat ia tunaikan dengan khusyuk, lebih dari sekadar ibadah malam.

Setelah salam, ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Lalu dengan suara yang pelan, namun penuh pengharapan, ia berdoa:

"Ya Allah, Engkau tahu apa yang ada di hatiku. Jika dia, Azalia, adalah wanita yang Engkau pilihkan untuk menyempurnakan agamaku, maka mantapkanlah hatiku. Bukakan jalan terbaik untuk mendekatinya dengan cara yang Engkau ridai. Tapi jika bukan, maka palingkan rasa ini, dan gantilah dengan keridaan-Mu. Aku hanya ingin mencintai dengan cara yang Kau cintai."

Matanya terasa hangat. Tapi hatinya terasa ringan. Dalam diam dan sujud itu, Zayn menyerahkan segalanya. Karena cinta yang benar, tidak menjatuhkan... tapi
meninggikan-dengan ridha-Nya.

---

Keesokan harinya, tak ada yang berubah secara lahir. Zayn tetap fokus di kelas, tetap menjaga adab, dan tetap tidak mengusik Azalia lebih dari yang perlu. Tapi di hatinya, ada keteguhan baru. Ia tak lagi ragu. Ia siap, jika Allah memberi jalan.

Di sisi lain, Azalia-tanpa tahu tentang istikharah itu-merasa berbeda. Hari itu, entah kenapa ia lebih sering diam. Lebih sering teringat pada satu nama. Tapi ia hanya bisa mengulang doa yang sama, seperti yang ia tulis di catatannya:

"Jika memang baik menurut-Mu, ya Rabb, dekatkan. Jika tidak, cukupkan hatiku dengan-Mu."

Dan seperti langit Cairo yang perlahan berubah warna menjelang senja, hati keduanya mulai menemukan kejelasan dalam ketenangan. Bukan dari kata-kata, tapi dari keyakinan... bahwa jika memang Allah yang menulis kisah ini, maka akan ada waktunya.

"Bersambung"

Langit-Langit QahirahTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon