seperti langit Cairo yang perlahan berubah warna menjelang senja, hati keduanya mulai menemukan kejelasan dalam ketenangan. Bukan dari kata-kata, tapi dari keyakinan... bahwa jika memang Allah yang menulis kisah ini, maka akan ada waktunya.
.
.
.
"Happy Reading"
Seorang pria duduk di kursi balkon asrama
musaf Al-Qur'an terbuka di tangannya. Suaranya merdu dan fasih saat melantunkan ayat-ayat suci, mengalun lembut menembus udara pagi yang sejuk. Burung-burung pun turun, seolah ingin menjadi bagian dari pendengar setianya.
Dialah Zayn Zavier Alqadri, putra sulung dari Gus Rasyid Fachrul Alqadri, kini tengah menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Setelah menyelesaikan Mujuroah-nya, Zayn menutup musaf dengan penuh khidmat, lalu bangkit dan melangkah masuk ke dalam asrama. Ia bersiap-siap untuk berangkat kuliah.
Zayn menuju dapur, membuat roti aish baladi dan falafel dengan cekatan. Setelah matang, ia menuangkannya ke dalam kotak bekal, lalu memasukkannya ke dalam tas.
Ia membuka pintu Asrama hingga suara seseorang membuat jantung nya berhenti seketika.
"Dor!"
"Zayn, kali ini bawa bekal apaan tuh?" tanya Fariz, sahabat dekatnya sejak masa pesantren, sambil nyengir jahil.
Zayn memutar bola matanya malas. "Antum, kebiasaan banget. Datang-datang ngagetin aja. Salam dulu, kek."
"Hehehe... Assalamu'alaikum," ucap Fariz sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
Mereka sempat berbincang ringan hingga akhirnya tiba di Universitas Kairo, Mesir.
Tanpa disengaja, langkah mereka
bersinggungan dengan seorang gadis bercadar. Sejak hari pertama gadis itu-yang akrab disapa Azalia-masuk kuliah di Universitas Al-Azhar, suasana kelas tak lagi sama bagi Zayn.
Mahasiswi keturunan Indonesia-Mesir itu membawa semangat baru yang menyejukkan. Sosoknya lembut, bersahaja, dan selalu menunduk penuh adab, menghadirkan keteduhan di tengah hiruk pikuk dunia perkuliahan.
Pagi itu, di ruang kuliah berlantai marmer dengan jendela tinggi khas bangunan tua di Kairo, suara Azalia terdengar lirih.
"Aduh, pena Ana jatuh ke mana, sih..."
Ia membungkuk mencari pena di lantai, di antara riuh mahasiswa dari berbagai negara. Zayn, yang duduk dua bangku darinya, refleks merogoh kotak pensil. Diambilnya pena miliknya-biru dengan nama kecilnya terukir dalam huruf Arab: زين.
"Pakai ini dulu," ucapnya pendek, menyodorkan pena itu.
Azalia menoleh. Tatapan mereka bertemu sekejap. Di balik cadar tipis yang tak menutupi matanya, Zayn melihat binar teduh itu lagi. Yang selalu membekas, sejak pertama kali mereka duduk dalam halaqah yang sama.
"Syukron... Ana pinjam, ya."
Zayn hanya mengangguk. Sedikit gugup. Tapi tetap tenang.
Fariz, teman Sekamarnya di flat Hayy Asyir
Sekaligus teman Seperjuangan waktu mondok dulu, Menyikutnya sambil berbisik geli,
"Cie... Ketua halaqah kita mendadak
romantis. Gara-gara pena, ya?"
Zayn tak menggubris. Ia kembali menunduk, mencatat, menyimpan debar yang hanya Allah dan hatinya yang tahu.
Waktu istirahat, Zayn melangkah keluar kelas. Ia berjalan menuju taman kampus, yang menghadap ke Masjid Al-Azhar dengan kubah putih berkilau terkena cahaya pagi. Ia membuka bekalnya-roti aish baladi dan falafel buatan tangan sendiri. Sambil makan, ia menatap mahasiswa-mahasiswa yang lalu lalang, dari berbagai negara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit-Langit Qahirah
Fiksi RemajaDi bawah kubah langit Kairo, ia mencari ilmu.Tak disangka, ia juga menemukan cinta. Zayn Zavier Alqadri, putra seorang Gus kharismatik dari Jawa Timur, berangkat ke Universitas Al-Azhar, membawa amanah, mimpi, dan warisan pesantren. Di negeri para n...
