Dear, Moreno

4.7K 474 54
                                    

(Moreno PoV)

"Oh thanks .... Aku nggak minum kopi sebenernya. Tapi kalau buatan kamu, boleh, deh. Hehe ...." kata Harris tengah malam itu, ketika aku melihatnya sibuk menatap layar laptop sementara kedua matanya sudah tampak layu.

Ia menyerobot cangkir kopi dengan cepat, menyesapnya sebelum sempat aku yang tak enak dengan suguhanku mengurungkan niat untuk memberinya minuman itu.

Cengiran lebarnya meletup seperti busa capuccino instan, "Enak. Makasih, lho ...."

"Kamu biasa lembur begini?" tanyaku basa-basi, duduk di sebelahnya dan mengintip pekerjaannya di laptop. Entah software apa itu tapi disana terpampang gambar denah atau entahlah, desain cafe Marcello yang tengah digarapnya.

"Iya. Hahaha ...." Dia meletakkan cangkirnya di sebelah laptop. Meraih mouse-nya lagi, "Kamu nggak biasa lembur begini?"

"Aku nggak lagi lembur."

"Lemburan nemenin aku?" Harris menoleh. Tatapannya menggodaku. "Atau mau ngelemburin ... aku? Hehe."

Aku meninju lengan besarnya, terkekeh geli, "Apaan, sih ...."

Harris tertawa lagi. Suaranya yang ringan mengisi ruang tengah rumahku, membuat suasana malam yang mulai dingin menjadi lebih hangat. Beberapa saat diam, dan ia pun mengeklik sesuatu. Lantas menggeser laptopnya agar mengarah padaku.

"Begini gimana menurut kamu?" tanya Harris saat menunjukkan 3D model dari desainnya, "Kira-kira Boss Marcello suka nggak, ya?"

"Hm ...." Aku mengamat-amati. Lumayan banyak perubahan dibanding desain sebelumnya yang terlihat mewah. Kali ini terlihat simpel dan lebih hangat.

Ini udah revisi keberapa kalinya, ya? Sembilan mungkin? Aku sendiri lupa. Aku sudah terlalu bosan mendengarkan Marcello bilang, 'Nggak suka. Nggak suka. Jelek. Ini apaan? Nggak mau. Nggak suka' setiap kali Harris menunjukkan desainnya. Sampai aku tak enak sendiri pada Harris.

"Much better. Aku sih suka ... entah kalau si rewel itu," gerutuku, teringat Marcello yang selalu sengit melihat Harris, terlebih ketika bersamaku.

Dia itu kenapa, sih?

"Hmm. .. gitu, ya? Aku perhatikan, kalau diibaratkan warna, karakter Marcello itu monokromatik, sih ... Jadinya kubuat kayak begini hahaha .... Besok aku kasih tunjuk ke Marcello," Harris mengangguk mantap. Lalu mematikan laptopnya setelah menyimpan dan mengirim file-nya ke pegawainya di Solo via email. Mereka akan mengerjakan detail lainnya, begitu katanya.

"Sorry, ya, kalau Marcello orangnya rewel. Dia emang ngeselin, sih." Aku menyandarkan punggung di sofa. Menarik salah satu bantal dan menaruhnya di pangkuanku dengan gerakan sedikit kasar. Mungkin aku kesal mengingat tingkah Marcello.

Harris menggeleng-geleng, padahal bibirnya masih hinggap di tepi cangkir.

"Enggak, kok, enggak," katanya, lantas menaruh cangkirnya di meja. Menggeser posisi duduknya menyamping untuk menghadap ke arahku, "Justru yang kaya gitu bagus tau. Kita yang ngedesain jadi tahu, oh ... butuhnya begini ... maunya begini ... gitu. Lagian Marcello bukan klien paling cerewet, seriusan deh."

"Masa?"

"Iya," mata Harris mengawang ke langit-langit, seolah mengingat-ingat sesuatu. Wajah berpikirnya yang polos seperti anak kecil ini kadang membuatku lupa kalau usianya denganku terpaut satu windu, "Dulu, waktu aku umur ... 22 kayaknya ... baru lulus S1 ... aku ngerjain proyek rumah tinggal sepasang suami istri gitu."

"Hmm ... itu ... 9 tahun lalu?! Hahaha kamu setua itu, ya?" selaku, menggoda.

Ia memukul punggung tanganku pelan sambil menahan tawa. Mungkin dia agak kesal aku suka sekali menggoda usianya yang sudah kepala tiga. Tapi akhirnya telapak tangannya tetap disana, menggenggam tanganku hangat, "Waktu itu aku masih drafter, tukang gambar, tapi sering di ajak bossku buat ketemu klien. Itu ya, suami istri nggak rukun sama sekali! Istrinya mau begini, suaminya mau begitu! Segala yang namanya shower mau yang kaya gimana aja bisa mereka ributin."

Through The LensesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang