TI Part 8

573 79 11
                                        

"Ya Tuhan, aku mirip seperti Drakula!" Keluh Jisoo sambil berjalan ke dapur dan menjatuhkan dirinya di atas kursi.

"Selamat siang, Nona Kim." Jennie menyengir, meneguk secangkir kopi saat mata Jisoo terbuka lebar.

"Jennie!" Jisoo melompat hampir jatuh dari kursi sambil melihat sekelilingnya. "Shit." Dia mengumpat dengan napas berat saat dia kembali duduk. "Ternyata bukan mimpi." Jisoo memegangi kepalanya sementara Jennie terkekeh.

"Untungnya tidak." Wajah Jennie berseri-seri, dia berbalik untuk menyeduh kopi lagi untuk wanita yang lebih tua itu. "Apa aku biasanya ada dalam mimpimu?" Goda Jennie.

"Sayang, mimpi siapa yang tidak ada dirimu di dalamnya?" Jisoo membalas.

Dia berusaha mengumpulkan kekuatan untuk mengangkat kepalanya sebentar dan menyeringai pada Jennie sebelum menundukkan kepalanya kembali di tangannya.

"Kau masih punya akal sehat, i see." Kata Jennie sambil meletakkan secangkir kopi di bawah hidung Jisoo.

"Tidak pernah hilang," Kata Jisoo dramatis sambil memeluk secangkir kopi hangat di tangannya. "Aku minta maaf untuk semua yang kulakukan tadi malam." Kata Jisoo dengan cemberut dan mata tertutup.

Kepalanya sakit, perutnya sakit dan jika dia membuka matanya, tanpa keraguan lagi Jennie jelas akan melihat bahwa dia sama sekali tidak menyesal tentang tadi malam dan itu bisa membahayakan seluruh proses memberi sarapan dari Jennie untuknya yang perlahan-lahan akan dia dapatkan.

"Kupikir Jisoo yang mabuk dan Jisoo yang sadar tidak pernah bicara." Kata Jennie geli.

Dia duduk di seberang wanita itu yang membuat kekhawatiran Jisoo meningkat saat matanya melirik ke oven dan penggorengan.

"Oh, tidak sama sekali." Jisoo berkata dengan mata terbelalak dan gerutuan. "Moto-ku adalah, jika satu pintu tertutup, maka pintu lain terbuka, kau tahu." Jisoo menjelaskan. "Well, itu bagi Jisoo yang sadar. Jisoo yang mabuk adalah wanita bodoh yang terus membuka pintu yang sama, dia bodoh dan menyebalkan." Jisoo menjelaskan lagi. "Kupikir kau akan pergi bekerja?"

"Jadi kau ingat?" Tanya Jennie dengan heran karena wanita itu tidak benar-benar lupa.

"Kutukan otak besar. Tidak bisa melupakan apa pun."

"Oh, benar juga." Jennie menyeringai. "Terlalu berat dan terlalu besar." Jennie tertawa mengingat bagaimana Jisoo membiarkan kepalanya terkulai di bahunya untuk meringankan beban.

"Benar," Kata Jisoo sambil mengetuk otaknya saat matanya beralih ke penggorengan sekali lagi. Dia benar-benar lapar. "Ngomong-ngomong soal makanan," Kata Jisoo dengan kilatan di matanya.

"Kita tidak sedang membicarakan makanan."

"Aneh sekali, aku berani bersumpah kau baru saja mengatakan daging." Kata Jisoo dengan wajah seolah dia kebingungan saat matanya menatap kosong, menolak membiarkan ekspresinya menghancurkan rencana besar ini.

"Apa kau lapar?" Jennie menyeringai dengan alis terangkat.

"Jeez." Jisoo bernapas lega, tampak lebih lega daripada pagi Natal. "Sejenak aku khawatir, kupikir kau tidak akan menyuapiku, itu pasti akan menjadi one night stand kalau begitu."

"Kita tidak melakukan one night stand." Jennie menggelengkan kepalanya sambil berdiri untuk menyalakan kompor.

"Tentu, terserah kau mau menyebutnya apa. Kau mengundangku ke sini, kita minum, kita mengobrol, kau hampir menciumku, kita bangun dan kau membuatkanku sarapan sebelum aku pergi dengan rasa malu. One night stand." Jisoo berkata dengan santai sambil mengangkat bahu, memiringkan kepalanya ke samping.

The InterviewTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang