08

1.4K 141 1
                                    

Pelajaran matematika sedang berlangsung di kelas X-4. Beberapa siswa terlihat memperhatikan, tapi sisanya tidak. Hanya siswa yang gila belajar saja yang terlihat serius memperhatikan penjelasan rumus phytagoras yang dijelaskan Pak Yasin di papan tulis. Adam bahkan membaringkan kepalanya di atas meja untuk beberapa saat. Melihat hal itu, Gian menyikut lengan Adam membuat lelaki itu mendengus sebal.

"Jangan tidur, Dam." bisik Gian sambil menyikut lengan Adam.

"Gue nggak tidur." Adam bergumam. Masih pada posisinya.

"Perhatiin papan tulis makanya." bisik Gian lagi.

"Males gue." Adam menggerutu lalu menatap Gian kesal karena harus membuatnya berhenti membaringkan kepala.

"Apa yang kalian bicarakan?" ujar Pak Yasin yang tiba-tiba saja sudah berada di dekat meja Adam dan Gian. Semua siswa di kelas tersebut tentu saja langsung melihat ke arah Adam dan Gian. Gian hanya melempar senyum kakunya pada Pak Yasin, membuat kedua lesung pipitnya kelihatan, meskipun samar. Sedangkan Adam menatap Pak Yasin datar.

"Jawab saya!" suara Pak Yasin meninggi.

"Itu.. Anu.. Pak, kita lagi bahas rumus yang bapak tulis di papan." jawab Gian terbata-bata, "Iya kan, Dam?"

Pak Yasin lalu mengangguk, "Kalau begitu, saya mau kamu menyelesaikan satu contoh soal phytagoras di papan." ujar Pak Yasin lalu menunjuk ke arah Adam. Gian tentu saja bernapas lega karena bukan dirinya yang ditunjuk. Ia lalu melirik Adam yang melempar tatapan seakan-akan ia berkata, gara-gara lo nih.

Adam dengan terpaksa harus maju ke depan papan tulis untuk menjawab satu contoh soal yang tersisa. Wajahnya datar. Semua siswa memperhatikan Adam. Devan dan Gian bahkan sempat saling tatap dan menduga bahwa Adam mungkin akan menjawab dengan asal-asalan. Namun dugaan mereka salah. Adam bahkan menjawab soal itu dengan benar. Membuat Pak Yasin dan seisi kelas terkejut.

"Udah, Pak." ujar Adam setelah menyelesaikan soal di papan.

"Bagus. Ternyata kamu bisa juga menjawab soal seperti ini." ujar Pak Yasin menatap Adam sedikit terkejut. Ia bahkan tak pernah menyangka Adam bisa menjawab soal tersebut. Dalam hati Pak Yasin bahkan menganggap bahwa itu semua hanya kebetulan. Beliau juga berinisiatif untuk memberikan soal lagi.

"Bisalah, Pak. Soal begini mah gampang." celetuk Adam membanggakan diri.

"Coba kamu jawab soal ini lagi." Pak Yasin lalu menuliskan satu contoh soal lagi, dan menyuruh Adam untuk menjawabnya. Adam lantas tersenyum dan dengan senang hati menjawab soal tersebut. Adam tahu bahwa Pak Yasin menganggap apa yang ia jawab barusan merupakan sebuah kebetulan.

Terjadi keheningan untuk beberapa saat. Hingga pada Tiga detik berikutnya, seisi kelas pun bertepuk tangan setelah Adam menjawab soal tersebut dengan benar lagi. Adam lantas tersenyum, dan menatap ke arah Pak Yasin.

"Saya tahu kenapa bapak ngasih saya soal lagi. Karena mungkin bapak berpikir bahwa jawaban benar saya disoal pertama tadi hanya sebuah kebetulan atau keberuntungan, Iya kan, Pak?" Adam bersuara membuat tepukan seisi kelas terhenti. Adam bahkan tak melepas pandangannya dari Pak Yasin.

"Saya mungkin kelihatan nakal, tapi bukan berarti saya sama sekali nggak pernah memperhatikan guru." ujar Adam dengan wajah datarnya, "Jangan menilai seseorang dengan satu mata, Pak. Anda bukan dajjal yang punya satu mata doang. Anda ini manusia, dikasih dua mata untuk melihat dan menilai penampilan atau kepribadian seseorang, bukan hanya untuk satu sisi, tapi juga sisi lainnya."

Perkataan Adam benar-benar membuat Pak Yasin bungkam. Dalam hati ia membenarkan ucapan siswanya tersebut. Adam yang melihat itu tersenyum puas. Ia tidak perlu menunggu jawaban dari Pak Yasin untuk membenarkan ucapannya. Sebab ekspresi dari pria tersebut sudah cukup menjelaskan semuanya.

ZADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang