05

1.6K 172 1
                                    

Adam baru tiba di rumah pada pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Lelaki itu pun memarkirkan motornya di bagasi. Ia melirik mobil sedan berwarna silver yang terparkir disebelah motor miliknya. Adam membuang napas berat. Orang itu alias Ayahnya pasti sudah pulang.

Adam pun melangkahkan kaki menjauh dari bagasi dan menuju pintu utama. Lelaki itu membuka pintu, lalu anteng masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan sepatah katapun. Saat ia melewati ruang tamu, ia melihat Ayahnya sedang duduk disana sambil menonton televisi. Adam hanya meliriknya, dan tak menyapa sekali pun. Ketika kakinya baru saja ingin menaiki anak tangga, sebuah suara menghentikannya pergerakannya.

"Sudah mau jadi pahlawan kamu, hm?" ujar Ayah Adam, Rio. Beliau lalu beranjak dari duduknya, dan berjalan menuju Adam.

Adam tidak menjawab. Ia memperbaiki posisi tas gitar di bahunya, lalu menatap dingin pada seseorang yang kini berdiri hanya beberapa centi darinya.

"Saya menerima laporan kalau kamu membukakan gerbang untuk siswa yang terlambat, dan membiarkan mereka masuk." suara Rio terdengar tegas. Tatapan matanya juga terlihat sedang menahan amarah.

Adam menatapnya malas, "Bukan saya yang buka. Pak Satpam yang bukain." Adam menjawab seadanya.

"Karena kamu yang minta!" suara Rio meninggi. Pria itu bahkan menunjuk Adam dengan telunjuk kanannya.

Adam berdecak, "Nggak usah teriak-teriak. Saya nggak tuli."

"Dasar anak kurang ajar! Jangan mentang-mentang Papa direktur sekolah, dan kamu malah seenaknya berbuat ulah! Mau jadi jagoan kamu, ha?!" suara Rio semakin meninggi. Emosinya sudah meluap. Apalagi mendengar cara bicara Adam yang terdengar tidak sopan di telinganya membuat RIo naik pitam.

"Saya kan sudah bilang, perlakukan saya sama dengan siswa yang lain. Pak Satpamnya aja yang bego. Mau aja disuruh sama saya." ujar Adam asal. Detik berikutnya, sebuah tamparan mendarat di pipi kanannya.

PLAK!

"Saya akan mengeluarkan kamu bila kamu berbuat ulah lagi!" Rio membentak dan mengancam Adam. Namun Adam tak gentar. Ia paham bahwa itu hanyalah sebuah ancaman biasa. Karena sebelumnya pun, Rio pernah mengatakan hal seperti itu.

"Keluarkan jika itu mau anda." Adam menjawabnya santai.

"Dasar anak tidak tahu diri!" ujar Rio lalu menampar Adam untuk kedua kalinya, "Jaga ucapan kamu, Adam!" bentaknya. Emosinya benar-benar meluap karena Adam.

Adam menatap Rio dingin, lalu tersenyum miring, "Udah puas nampar saya?"

Adam benar-benar membuat Rio naik pitam. Dada pria itu bahkan sudah naik turun tak beraturan. Melihat Rio tak merespon ucapannya, Adam memutuskan untuk berbalik dan berjalan menaiki anak tangga. Meninggalkan Rio yang menatapnya dengan penuh amarah di belakang.  Setibanya Adam di depan kamarnya, ia pun masuk dan membanting pintu dengan keras.

Baru saja suasana hatinya bagus karena selesai bermain musik di Cafe. Namun suasana hatinya tiba-tiba berubah setelah melihat Rio. Apalagi setelah ia mendapatkan dua tamparan di pipinya. Adam memegang pipi kanannya yang terasa sedikit ngilu lalu menggerutu sebal. 

Sialan! umpat Adam dalam hati.

Sebenarnya Adam bisa saja melawan jika ia mau. Dia tentu marah karena diperlakukan seperti itu oleh Ayahnya sendiri. Namun, seberapa marah dan kesal Adam pada Rio, jauh di dalam lubuk hatinya, Adam masih menghormati Rio sebagai Ayahnya. Meskipun hubungannya dengan pria itu sedang tidak baik-baik saja sekarang.

ZADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang