"Bodo amat." sahut Evan acuh.

Kayla tertawa. "Ayo jalan! Gue belom makan siang nih. Laper. Cacing-cacing gue udah demo minta makan."

Dalam sekali hentakkan, Evan mengangkat kembali gadis itu ke pundaknya. Menggendong Kayla bak membawa karung beras.

"Jangan berisik!" ucap Evan sambil berjalan menuju parkiran sekolah mereka.

Kayla kontan kembali menjerit. "Evan!"

- - - - -

"Argh!"

Evan menjerit keras-keras di dalam kamarnya dengan frustasi. Beberapa menit yang lalu, ibunya memberitahu bahwa malam ini akan ada acara makan malam bersama keluarga Elena. Batin Evan sudah menjerit berkali-kali saat mengetahui rencana perjodohan bodoh ini. Tapi apa daya, Evan tak mungkin mengorbankan Retha demi kesenangannya sendiri. Baginya, asal orang yang disayanginya bahagia, maka ia akan ikut bahagia.

"Kakak ...?" Evan berhenti mengacak-acak rambutnya kala gadis kecil muncul dari pintu kamarnya. Melihat wajah polos Retha seperti itu membuat kemarahan Evan hilang seketika. Evan berjalan mendekati Retha, berjongkok di hadapan gadis itu lalu menggendongnya.

"Apa, Sayang?" tanya Evan. Kening Retha mengkerut, "Aku lagi bobo, tapi kakak berisik."

"Aduh, aduh," Evan mengecup singkat kening Retha. "Maaf, ya? Mau bobo lagi?"

Retha mengangguk. "Temenin."

Evan tersenyum, berjalan menuju kamar Retha masih dengan menggendong gadis kecil itu. Wangi khas milik Retha begitu menyeruak di indra penciuman Evan saat mereka telah memasuki kamar Retha. Evan menidurkan Retha, lalu ikut tidur disamping adiknya seraya memeluk gadis kecil itu.

"Sleep tight, princess." bisik Evan sambil mengelus kepala Retha perlahan.

Beberapa menit pun berlalu. Setelah dirasa adiknya sudah tertidur pulas, Evan perlahan bangkit dari ranjang kecil milik Retha. Meski cowok itu sedikit menimbulkan suara gaduh, namun Retha tetap terjaga dalam tidurnya.

Evan menutup pintu kamar Retha, dan langsung berhadapan dengan sepasang bola mata yang selalu dibenci olehnya.

"Kamu abis ngapain, Evan?" tanya sang ibu, seraya menaikkan satu alisnya. Evan tertawa remeh, "Urusan mama, apa?"

"Jelas, mama ini ibu kalian, tau? Pokoknya, kalian nggak boleh peluk-pelukan lagi kayak tadi."

Evan melotot. "Loh, apa salahnya? Kami ini saudara kandung, Ma! Lagian, Evan kasian sama Retha. Punya orangtua tapi seakan-akan cuma punya kakak."

"Tutup mulutmu." desis sang ibu. "Apa kamu nggak sadar, sekarang ini mama sedang mencoba perhatian sama kamu, Evan?"

"Perhatian?" Evan tertawa sinis. "Perhatian macam apa? Setelah dua tahun menelantarkan anak-anak, lalu kembali dengan paksaan yang nggak masuk akal? Itu ma, yang namanya perhatian?"

Ibu Evan menggeram. "Ini semua demi kebaikan kamu, Evan! Mama sama papa kenal betul dengan keluarga Elena, begitu juga dengan anaknya. Mama pikir, akan lebih baik kalau kalian dijodohkan. Toh, Elena lebih baik dan lebih sederajat denganmu."

"Kalau mama tau Elena, apa mama tahu hubungan Evan sama dia dulu kayak gimana, hah?" cerca Evan. "Apa mama tau?! Elena itu mantan Evan, ma! Mantan yang nggak ada artinya, sama dengan ribuan mantan Evan yang lainnya. Evan lebih tahu busuk-busuknya Elena luar-dalam, dibanding mama atau papa!"

Kini, ibu Evan sedikit tergagap saat mendengar penuturan anaknya. "Y-ya, ka-kalo gitu bagus, dong. Pendekatan kamu sama Elena bisa berjalan dengan baik."

My (Lovely) EnemyHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin