ENEMY -- 11

6.3K 455 7
                                    

Nada panggilan masih mendengung di ponsel Evan, dirinya yang berada di dalam mobil menunggu jawaban seseorang di seberang sana.

"Halo, Den Evan?" Ucap Bi Ina, pembantu rumah tangga Evan.

"Iya, Bi. Saya minta tolong jagain Retha dulu sementara, soalnya saya pulang telat hari ini,"

"Loh? Den mau kemana?"

Evan menghela napasnya. Pembantu ini memang selalu ingin tahu urusannya, gerutu Evan dalam hati. "Saya ada urusan, mungkin sampai malam, Bi."

"Kalo Tuan sama Nyonya nanya ke saya, saya bilang apa?"

"Mereka nggak bakal nyariin saya, bilang aja saya lagi pergi." Jawab Evan enteng.

"Oke, hati-hati den,"

Setelah Evan mengucapkan kata terimakasih, ia meletakkan ponsel itu tepat di sampingnya. Dilirik olehnya jam yang melingkar di pergelangan tangan Evan, lalu menghela napas.

Jam sudah menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit, dimana matahari sudah mulai tenggelam dan malam mulai menyelimuti langit. Evan tidak bisa membayangkan kejadian terburuk yang terjadi pada Kayla saat ini. Ia hanya tidak ingin bayangan buruknya itu menjadi kenyataan.

Evan tahu, bahwa kemungkinan besar dalang dari semua ini adalah Kevin. Cowok yang Evan tahu tidak berhati dan menghalalkan segala cara demi keinginannya tercapai. Evan benar-benar takut saat ini.

Evan khawatir pada keadaan Kayla. Meskipun beberapa hari yang lalu mereka bermusuhan, Evan tetap tidak ingin Kayla tersakiti. Evan tidak ingin ada hal buruk yang menimpa Kayla.

Evan sadar bahwa... dia benar-benar menyayangi gadis itu.

Entah kapan rasa itu muncul, tapi Evan benar-benar merasakannya. Evan merasa ingin melindungi gadis itu dari apapun. Evan merasa kalau Kayla telah mengisi hatinya, entah sejak kapan.

Jalanan tol yang sedikit macet membuat Evan merasa kesal, sehingga dia menggeram didalam mobilnya sendiri. Suara getar dari ponselnya membuat Evan melirik, lalu mengecek ponsel itu.

Nathan : Bro, gue nggak bisa diem gini aja. Gue, Fira, Gio lagi nyusul lo, sama beberapa polisi juga. Nyokap udah nangis kejer, Van. Gue nggak tega, dan kita sekarang baru mau masuk tol.

Evan tahu, ini bukan saatnya untuk terharu atau bernangis-nangis ria. Tapi, hey, dia baru menyadari kalau banyak sekali orang yang menyayangi Kayla. Termasuk Evan.

Setelah mengetikkan balasan terhadap Nathan, Evan membuka salah satu aplikasi di ponselnya. Masih mengecek keberadaan Kayla yang ternyata, masih di tempat yang sama.

Hari sudah malam, Evan baru berhasil keluar dari tol dan sampai di kota Bandung. Evan masih memandang ponselnya, lalu mengikuti jalan sesuai dengan GPS Kayla.

Hati Evan serasa turun dan jatuh saat GPS itu mengarah pada daerah yang benar-benar tidak di kenal olehnya. Daerah yang sangat jauh dari keramaian. Jalanan yang kini dilewati oleh Evan pun tidak rata, lubang terdapat dimana-mana. Hari yang sudah gelap membuat kesan menyeramkan di daerah ini, karena perjalanan Evan dikelilingi oleh pohon-pohon bambu yang berlomba saling menjulang tinggi.

Ini benar-benar menakutkan.

Sampai di sebuah rumah, yang terlihat megah diantara kawasan yang sepi. Suara jangkrik pun mendominasi pendengaran Evan kali ini. Evan langsung berlari keluar dari mobilnya, menuju rumah itu.

Tak ada penjaga, tak ada pengawasan. Rumah ini benar-benar sepi, ditambah dengan interior rumah yang didominasi dengan warna putih sehingga membuatnya semakin luas. Dan menyeramkan, tentu saja.

My (Lovely) EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang