ENEMY -- 9

6.7K 444 8
                                    

Sudah dua minggu, Kayla dan Evan bermusuhan. Sudah dua minggu pula, Kayla semakin dekat dengan Kevin--meskipun kenyataannya cowok itu yang selalu mengejar Kayla. Kayla dan Evan sama-sama menghindar dan menjaga jarak. Bahkan, pelatihan dan belajar bersama mereka sudah berhenti secara otomatis.

Kayla memutar posisi tubuhnya, menjadi berbaring menghadap sandaran kasur dan mengangkat kakinya hingga menempel pada dinding. Sudah belasan coklat yang masuk kedalam tubuhnya, agar setidaknya Kayla merasa lebih baik jika melakukan hal itu. Decitan pintu membuat Kayla menoleh, lalu kembali menatap kakinya yang berada diatas saat mengetahui siapa yang masuk kedalam kamarnya.

"Kak," panggil Nathan sambil duduk di sisi ranjang tersebut. Kayla hanya menjawabnya dengan gumaman, membuat Nathan salah tingkah dan menggaruk tengkuknya.

"Lama-lama gue merhatiin lo kayak orang depresi." Tembak Nathan to the point, membuat Kayla melempar bungkus coklat yang sudah kosong pada adiknya tersebut.

"Sialan," gumamnya.

Nathan menghela napasnya. "Lo jadi deket sama Kevin-Kevin itu ya? Kok lo akhir-akhir ini jarang cerita sama gue sih?"

"Enggak, gue nggak deket sama Kevin. Gue lagi bete aja dari kemaren, gatau kenapa." Aku Kayla sambil membuka kembali satu bungkus coklat yang masih utuh.

"Lo nggak takut gemuk, heh?" Tanya Nathan saat menyadari banyaknya bungkusan coklat yang berserakan diatas kasur. Kayla menggeleng, "Nggak. Lagian siapa juga yang peduli kalo gue gendut?"

Nathan mengerti bahwa akhir-akhir ini kakaknya begitu sensitif. Kegiatan Kayla sehari-hari juga jarang dihabiskan bersama Nathan. Kayla selalu pulang tepat waktu, bahkan kalau telat ia pasti bersama Kevin. Sesampainya dirumah, Kayla hanya berada di dalam kamar hingga makan malam tiba, lalu masuk kembali saat mereka sudah selesai.

Nathan mengerti bahwa Kayla memiliki masalah, hingga menghabiskan uangnya hanya untuk membeli puluhan coklat sejak kemarin.

"Emang lo nggak main basket?" Tanya Nathan kemudian, memancing kakaknya untuk bercerita.

Kayla sama sekali tidak menjawab pertanyaan Nathan, namun tetap menghabiskan coklatnya.

"Si Evan itu gimana deh kabarnya?" Tanya Nathan, lagi.

"Gue benci!!!" Jerit Kayla sambil memakan ganas potongan coklat terakhirnya. Ia menatap Nathan masih dengan posisi yang sama.

"Nate, gue benci sama Evan," ujarnya.

Nathan menaikkan satu alisnya, "Namanya juga musuh, kan?"

Kayla bangkit, kemudian duduk disamping Nathan. "Enggak lagi, Nate. Gue sama dia udah temenan,"

"Terus kenapa masih benci?"

"Ya gue kesel aja. Lo inget yang waktu itu, kan? Dia tiba-tiba dateng kerumah terus bilang kalo..." Kayla terdiam, memberi jeda. "Kevin bukan cowok baik-baik,"

Nathan mengerjap saat mendengar ucapan Kayla. "Lo percaya?"

Kayla menggeleng. "Enggak. Akhirnya gue berantem sama dia. Apaan coba? Nuduh-nuduh orang nggak jelas aja, emangnya dia udah bener apa? Benci gue, Nate."

"Hmm, mereka temenan, nggak?"

"Nggak tau, kalo mereka main futsal sih, bareng terus." Ucap Kayla.

"Yaudah, yaudah. Lo jangan gitu dong, marahan lebih dari tiga hari aja udah dosa. Ini lo udah berapa hari, Kak?"

Kayla merengek kesal pada adiknya, "Ih lagian gue kesel, Nate... Selama gue deket sama Kevin, dia emang cowok baik kok. Evan nyebelin banget,"

Nathan merangkul Kayla dengan sayang, "Aduuhh, cengeng banget sih? Tukeran yuk. Lo adek, gue kakak. Dasar bocah,"

My (Lovely) EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang