Rianti beralih memandang Nurul, mencari jawaban dari tatapan mata saat Rudi melangkah pergi tanpa kata. Nurul mengedikkan bahunya.
"Minum aja. Bukan racun ini." Nurul mengambil satu botol. "Aku ke toilet dulu, ya."
Rianti mengiyakan. Tangannya tidak menyentuh botol tersebut. Justru mengeluarkan ponsel dari saku snelinya. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, muncul nama kontak 'Stase Interna dr Ahsan' sebagai penelepon. Rianti menelan ludah. Haruskah telepon ini diterima?
Sisi baiknya yang menang kali ini. Rianti menempelkan ponsel ke telinga usai menerima panggilan itu. "Halo, Dok?"
"Halo, Rianti. Saya ganggu kamu sekarang?"
"Nggak, Dok. Dokter internship tugasnya nggak seberat waktu koas."
Ahsan terkekeh untuk sesaat, lalu bertanya, "Oke, berarti waktunya tepat sekali. Semalam kamu yang periksa Mama dan menyarankan ke poli penyakit dalam?"
Rianti menelan ludah untuk kedua kalinya. Tiba-tiba ia teringat saat masa koas Ahsan sering bertanya seperti ini ketika studi kasus. "Iya, Dok. Harusnya dari tadi orang tuanya Dokter udah datang karena jadwalnya jam 10 pagi."
"Iya, Rianti. Mama sama Papa baru aja pulang dari sana, terus langsung telepon saya. Diagnosis sementara kamu hipertensi tingkat dua, betul?"
"Betul, Dok."
"Apa anamnesis kamu?"
"Tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg dan diastolik-nya 90 mmHg. Dari riwayat pemeriksaan enam bulan belakangan, Tante Ratna kerap mengalami tekanan darah tinggi, bahkan pernah sampai lebih dari 160/100 mmHg, walau dari pemeriksaan penunjang hasilnya normal semua. Terus sudah ada keluhan sakit kepala dan yang fatal itu Tante Ratna tidak teratur minum obat dari puskesmas."
"Lalu, prognosis kamu apa?"
"Stroke, diabetes, atau gangguan ginjal, Dok. Kalau jantung, saya sedikit ragu karena waktu saya dengar pakai stetoskop, nggak ada gangguan suara di sana."
"Terus kenapa kamu kepikiran Mama ada gangguan ginjal?"
"Karena selain hipertensi, Tante Ratna juga mengalami demam, terus sakit kepala, ruam, ada sakit perut juga, terus sempat muntah dan frekuensi buang air kecil mulai berkurang. Makanya saya sarankan untuk pergi ke dokter spesialis biar tahu hipertensinya memang ada penyakit yang menyertai atau tidak."
"Oke. Yang kamu bilang semuanya tepat. Berdasarkan hasil tes darah, tes urine, dan pemindaian, hipertensi yang dialami Mama itu merupakan gejala dari penyakit Glomerulonefritis. Alhamdulillah Dokter belum menyarankan cuci darah karena peradangannya belum parah, tapi tetap waspada karena bisa jadi kronis. Untuk sekarang Mama dikasih kombinasi obat ACE inhibitors dan ARB untuk mengontrol tekanan darah tingginya."
Rianti menutup mulutnya. Pantas saja hasil pemeriksaan enam bulan yang lalu organ-organ vital Ratna masih normal semua. Glomerulonefritis sulit terdeteksi sebab dapat berkembang tanpa menimbulkan gejala. Ini masih beruntung terdeteksi sejak awal. Kalau sudah parah, pasien harus melakukan cuci darah atau operasi cangkok ginjal.
"Kalau Om Hartanto gimana hasilnya?" Rianti bertanya lagi. Semoga saja tidak ada penyakit serius yang mengintai beliau.
"Alhamdulillah hasilnya normal. Cuma memang Papa itu keluhannya susah tidur. Jadi, Papa cuma terapi buat nyembuhin insomnia-nya."
Mendengar jawaban Ahsan, Rianti mengucap syukur dalam hati.
"Rencananya kamu mau ambil spesialis apa, Rianti?" Suara Ahsan kembali terdengar di telepon.
BINABASA MO ANG
Menembus Partisi - [END]
RomanceMengetahui adiknya mendapat kekerasan verbal dari ibu mertua, juga kasus perselingkuhan yang dialami kakaknya, membuat Fyan yakin tidak menikah seumur hidup adalah keputusan yang tepat. Hanya saja, ia malah terjebak dalam perasaan baru pada seorang...
39 • Glomerulonefritis
Magsimula sa umpisa
![Menembus Partisi - [END]](https://img.wattpad.com/cover/357979822-64-k959730.jpg)