24 • Tiang

4.1K 398 18
                                        

Setelah kembali duduk dan menyantap makanannya, Fyan merasa cerah di wajah Rianti menghilang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setelah kembali duduk dan menyantap makanannya, Fyan merasa cerah di wajah Rianti menghilang. Sudah pasti penyebabnya adalah orang yang menelepon gadis itu.

"Ada masalah?" Fyan memberanikan diri bertanya.

Rianti mendongak, lalu menggeleng. "Nggak ada, Mas."

"Tadi siapa yang telepon?"

"Kakak saya yang di Jogja. Cuma tanya kabar."

Fyan diam, enggan mengorek lebih jauh. Toh, dirinya dan Rianti hanya sebatas klien. Bukan ranahnya untuk tahu masalah pribadi Rianti. Lagi pula, kalau Rianti berkenan membaginya, pasti akan cerita. Yang bisa ia lakukan hanya mengembalikan suasana hati perempuan itu.

"Kamu ngikutin anime anaknya Naruto nggak?" Fyan kembali membangun obrolan. Mi ayam di mangkuknya sisa sedikit. Kalau punya Rianti habis, sebentar lagi mereka akan berpisah.

Sepertinya usaha Fyan sedikit membuahkan hasil sebab wajah Rianti langsung berubah. "Boruto? Ngikutin, dong. Saya penasaran sama kehidupan Naruto setelah jadi hokage dan Sasuke yang jadi ayah. Di era Boruto, Sasuke lebih sering tersenyum, apalagi kalo lagi sama anaknya."

"Tapi, yang sering saya dengar, alur cerita Boruto itu nggak jelas, Boruto anak durhaka, terus gampang banget dapat kekuatan, bahkan banyak yang sakit hati karena Naruto dan teman-teman seangkatannya dibuat kalah habis-habisan saat melawan musuh. Kalau menurut kamu gimana?"

Rianti menarik beberapa lembar tisu untuk membersihkan sisa-sisa kuah di sekitar mulutnya. "Itu semua memang benar, sih. Saya juga kurang suka kalau ada satu film atau novel dibuatkan sekuelnya, karena pasti akan mengubah rasa yang udah ada di season pertama kalau author-nya gagal, walaupun tidak semua cerita serial berujung seperti itu. Nah, untuk alur Boruto ini menurut saya adalah gambaran anak-anak jaman sekarang. Jaman dulu, orang tua kita kesulitan untuk mengakses informasi. Orang tua kita dituntut berjuang dari kecil. Kalau sekarang, anak kecil aja ada banyak yang bisa mengoperasikan HP. Semuanya serba ada. Nggak heran kalau anak jaman sekarang lebih cepat pertumbuhannya dibanding anak-anak jaman dulu."

Fyan manggut-manggut. Setuju dengan Rianti. Ya, zaman sudah berubah. Semua informasi bisa diakses dengan mudah. Anak-anak yang lahir di zaman sekarang mendapatkan pengasuhan yang layak karena orang tuanya belajar parenting lebih dulu. Sekolah pun sudah banyak yang bagus-bagus.

"Soal Naruto dan teman-temannya yang dibuat kalah saat melawan musuh, menurut saya juga bagian dari perubahan jaman. Kalau Mas butuh perbandingan, coba aja nonton Naruto Shippuden arc invasi Pain sama nonton Boruto arc Ishiki datang. Di situ kekuatan para Jonin nggak sebanding dengan musuhnya. Mereka belum sempat menggali kekuatan si musuh, tapi udah harus menghadapi. Ya, jelas kekuatannya nggak bisa setara."

"Terus apa yang bikin kamu tetap tertarik ngikutin Boruto? Kamu sendiri tadi bilang nggak begitu suka sama sekuel."

"Karena saya ngerasa relate dengan Boruto. Di cerita itu, Boruto berontak untuk mencari perhatian ayahnya yang sibuk banget dengan pekerjaan hokage, bahkan untuk hadir di ulang tahun anaknya pakai bunshin. Ya, gimana, dari kecil mereka dekat, terus Naruto jadi hokage di desa yang udah maju, desa yang nggak ngurusin ninja tapi warga biasa juga, udah pasti super sibuk dan hampir nggak pernah pulang. Saya tahu rasanya orang tua lebih mementingkan orang lain sampai lupa dengan keluarganya. Sayangnya banyak yang lihat dari sisi Boruto yang selalu bikin onar, padahal dia begitu karena ayahnya. Tapi, Naruto juga nggak sepenuhnya disalahkan. Di satu episode dia pernah ngeluh pengen ngertiin Boruto tapi dia bingung karena dari kecil dia nggak pernah ngerasain kasih sayang orang tua."

Menembus Partisi - [END] Where stories live. Discover now