Chapter Three: Wish It Was Dream

59.6K 2.1K 21
                                    

"Hello princess, how are you?"

Aku terlonjak kaget. Suara itu, aku mengenal suaranya yang terdengar sangat familiar ditelingaku. Jantungku berdegup saat mendengar suaranya, dan aku mulai menggigit bibir bawahku. Saat aku menoleh aku terbelalak.

"Dylan oh goshhhh!" Aku langsung berlari kearahnya dan menghambur kedalam pelukannya.  

Dylan, sahabat Cole yang kuliah di Jerman. Dulu ia tinggal di Beverly Hills bersama keluarganya, tetapi karena ayahnya dipindahkan ke Jerman mereka sekeluarga ikut pindah.

"I freakin miss you," Dylan berbisik ditelingaku.

"me too."

Dylan sudah seperti kakak bagiku. Setelah beberapa bulan pindah, kami tetap berkomunikasi melalui skype, twitter, facebook dan media social lainnya. Tapi satu tahun belakangan ini kami lost contact. Saat aku coba menghubunginya melalui skype dia tidak pernah online, dan aku juga sudah tidak pernah melihat profile twitternya karena ia tidak pernah bermain twitter lagi, begitu juga facebook.

Aku melepas pelukanku dan menatapnya lekat. Dylan memakai black jeans dengan black t-shirt ditambah beanie hat dan white conversenya. Tatapanku terhenti didadanya yang melekat jelas dengan bajunya. He's so damn hot! Well walaupun aku hanya menganggap Dylan sebagai kakakku tetapi apa aku tidak boleh mengatakan itu? Haha!

"stop checking him out Bella." suara Cole mengalihkan perhatianku. "Why? He is so yummy, kau tahu?" Ucapku sambil menyeringai dan dibalas dengan Eww dari yang lain dan akupun hanya tertawa.

"so, kapan kita mencari breakfast?"

Here we are, McDonalds, yay! Saat sedang mencari tempat makan aku memaksa Cole untuk breakfast di McDonalds saja tetapi dia tidak mau. Aku melayangkan tatapan puppy eyes dan menunjukkan wajah paling melas kearah Cole. Wajahnya seperti sedang berfikir keras, Cole memang berlebihan. Dan tiba-tiba ia mengangguk, aku mengeluarkan cengiranku.

"Stop doing that again Evan!" peringatanku tidak dengarnya dan terus melakukannya. Ia menggerakkan telinga dan hidung secara bersamaan dan mengeluarkan suara seperti monyet. Aku terus tergelak melihat tingkahnya.

Evan dan Alex sangat berbeda disekolah dengan diluar sekolah.  

Saat disekolah mereka orang yang sangat pemilih, lebih senang bergaul dengan orang-orang populer saja.

Pernah sekali aku lihat saat sedang makan siang dikantin, Ethan, murid kutu buku yang memakai kacamata seperti betty lapea dan selalu membawa buku kemana-mana, mencoba mengajak bicara Alex dan teman-temannya tetapi tidak dihiraukan oleh anak-anak populer tersebut. Ethan malah dicemooh oleh mereka bahwa ia tidak pantas untuk bergabung. Bahkan mereka suka membully orang-orang yang mereka anggap tidak pantas untuk bersekolah di Westforest.

Sedangkan diluar sekolah, walaupun aku baru mengenal lebih dekat dengan mereka selama sehari tetapi mereka orang yang sangat humoris dan easy going. Terlebih Evan yang mempunyai selera humor yang tinggi yang bisa membuat teman-temannya tertawa terbahak-bahak.

"kalian terlihat sangat berbeda," entah ku ucapkan itu tanpa sadar atau dalam keadaan sadar, tetapi semua kepala dimeja kami langsung menengok kearahku. 

"siapa?" Evan bertanya mewakili yang lain, alis matanya agak berkerut.

"maksudku... Kalian berdua... Alex dan Evan. Kalian terlihat lebih friendly kalau diluar sekolah."

Aku mengucapkannya dengan hati-hati, takut mereka tersinggung. Bisa kacau kalau Evan marah, karena aku dengar saat dia sedang emosi, dia bisa marah kapan pun dan dimana pun yang dia mau tanpa mengenal tempat. Well, itu lebih menuju kepada memalukan diri sendiri aku pikir.

Beauty And The Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang