15. Alasan

3 0 0
                                    

***

"Kai!" teriak Arabella sembari melambaikan tangannya di depan kelasku. 

Aku tidak mengindahkannya dan lanjut merapikan buku yang ada di atas mejaku. Dia selalu saja seperti ini karena kelas kami berbeda, dia selalu mengunjungiku kapan pun itu. Yah, mungkin karena Arabella pindah ke sekolah ini karenaku, kurasa aku berterima kasih padanya. Jika bukan karena dia, aku pasti tidak akan bertahan.

"Kita akan makan apa hari ini?" tanya Arabella.

"Ah, aku membawa bekal," ucapku sembari mengeluarkan kotak makam siang.

"Apa? Tidak biasanya kau membawa bekal." Arabella menggembungkan pipinya. Kesal karena aku tidak memberitahunya.

Sementara itu,  Azka tengah sibuk dengan ponsel pintarnya di belakang mejaku. Tak ada keinginan untuk mencampur-urusi kegiatan kami. Tak lama kemudian, beberapa siswa datang dari selesai membeli di kantin. Beberapa dari mereka bergosip tentang seseorang yang sudah lama tak terlihat di sekolah ini.

"Ya, itu dia, bukan?" tanya salah satu dari mereka.

"Iya, aku pikir dia sudah di D.O, kenapa orang sepertinya masih ada di sekolah ini?" balas kawannya yang lain. Wajah mereka semua terlihat pucat karena ketakutan.

Aku menoleh, menaik-turunkan alisku mendengar mereka, penasaran dengan siapa yang  dimaksud. Siapa yang mereka gosipkan kali ini? Aku yakin itu bukan aku karena aku bahkan belum melakukan apapun. Tampaknya Arabella juga tidak mengenali orang yang di gosipkan ini, melihat ia tidak tertarik.

"Ayo ke kantin," ucapku. Aku kembali menaruh kotak bekalku ke dalam tas. Disaat yang bersamaan Azka ikut mengantongi ponselnya. Tak ada yang memintanya ikut, tapi seakan sudah sewajarnya, ia mengikuti kami dari belakang sembari berbincang ringan. Kurasa pertemanan ini terjadi begitu alami. Yah, itu tidak begitu buruk.

Sesaat sampai di kantin, kami pun menyebar. Arabella mencari tempat untuk duduk, aku pergi untuk membeli minuman, sedangkan Azka pergi untuk membeli pesanan makanan kami. Aku berdiri di depan banner yang menampilkan list makanan dan minuman sebelum memutuskan untuk membeli apa.

Setelah memesan dan menungunya beberapa saat, pesanan itu pun akhirnya selesai dan diberikan padaku. Aku kembali ke meja yang telah dipersiapkan Arabella. Di sana Arabella tengah menungguku bersama Azka.

"Kau lama sekali, Azka saja sudah duluan," ucap Arabella.

"Tadi ngantri," jawabku singkat.

Kami pun mulai menikmati makanan kami, sesekali bercanda untuk mencairkan suasana. Seperti biasa, Arabella adalah yang paling aktif di pembicaraan kami, walaupun kebanyakan topik miliknya tentang trend terkini dan kakakku, Diaz. Dia benar-benar tidak lelah, huh?

"Jadi, aku berpikir untuk belajar memasak. Kai, Kak Diaz suka masakan apa? Dia suka ayam goreng atau daging? Atau dia lebih suka sayuran? Kalau gitu, aku bisa memasaknya!" seru Arabella sembari membayangkan dirinya tengah dipuji oleh Diaz setelah memasak untuknya.

"Kakakku lebih suka seafood. Mungkin lobster atau king crab yang dia makan saat pergi berlibur. Ah! Terakhir kali dia terus mengoceh soal sushi setelah perjalanan bisnisnya ke Jepang." Aku menyendokkan nasiku, sembari mengingat-ingat apa saja makanan kesukaan Diaz.

Baru saja aku ingin menyuap makananku, tapi tanganku berhenti saat melihat wajah Arabella yang kian menggelap. Ada apa dengannya?

"Haha ... Be, begitu, ya? Lobster dan sushi ...." Arabella tertawa lesu. Matanya terlihat tak fokus dan raut wajahnya seakan sedang putus asa.

Sementara itu Azka yang mendengarkan kami juga memasang wajah kagetnya. Namun, ia tetap berusaha tenang agar imejnya tidak hilang.

"Aku cukup penasaran sebenarnya. Apa sebenarnya pekerjaan keluargamu?" tanya Azka.

Aku menoleh padanya. Apa mungkin karena Azka baru memasuki keluarga Prasaja, jadi dia tidak tau mengenai keluarga Parviz? Yah, itu bisa saja, kan? Aku bahkan tidak mengenali Azka yang merupakan keluarga Prasaja sampai kemarin.

"Grup Parviz, karena kamu pewaris keluarga, seharusnya kamu pernah dengar sekali dalam hidupmu, kan?" tanyaku pada Azka.

Azka mengangguk. Sebagai satu-satunya pewaris, dia menghabiskan bertahun-tahun untuk belajar mengenai pengusaha dan mengenal orang-orang yang berkedudukan tinggi. Grup Parviz sudah tidak asing lagi di telinganya, karena keluarganya juga memiliki hubungan kerja sama dengan grup tersebut.

"Tapi, kudengar semua anak dari keluarga tersebut kabur dan tidak diakui sebagai pewaris lagi. Apa kalian masih mendapat perhatian dari keluarga kalian?" tanya Azka penasaran.

"Kamu tidak salah. Kedua Kakakku melarikan diri dari kewajiban mereka, itu sebabnya semua fasilitas kami diblokir. Aku juga sama, aku bisa hidup karena kedua Kakakku memberiku uang saku." Aku menyuapkan makananku sebelum kembali berkata.

"Kakakku, Diaz, dia kabur karena menolak mengikuti kata-kata ayahku, dia memulai karirnya sebagai pengusaha kecil. Namun, karena dia memiliki banyak ide cemerlang dan koneksi yang bagus, tidak butuh waktu lama untuknya membesarkan produknya sendiri. Lalu, Damian, dia itu sejak kecil sangat suka fashion, tapi ayah kami tidak menyukai hal yang dianggapnya tidak berguna, jadi dia kabur dan memulai karirnya sebagai desainer."

Aku menjelaskannya secara singkat mengenai apa yang terjadi di dalam keluarga kami. Tentu saja tidak semuanya, itu akan tidak menyenangkan untuk diberitahukan.

"Lalu, bagaimana denganmu? Apa yang membuatmu kabur dari rumah?" tanya Azka sembari memiringkan kepalanya. Aku dan Arabella seketika terdiam mendengarnya yang membuat Azka kebingungan.

"Bukan hal yang istimewa," ucapku pelan sembari mengaduk makananku. Namun, Azka nampaknya tidak berniat untuk mengganti topiknya. Dilihat dari matanya, ia sangat penasaran.

"Aku kabur karena aku dijodohkan."

"Apa?" Azka tersentak. Matanya membola tak percaya dengan apa yang barusan kukatakan. Sedangkan aku tertawa renyah sembari mengusap tengkukku.

"Aku dijodohkan sebagai hadiah perdamaian dari kerja sama antara grup Parviz dan grup Watson," sambungku yang membuatnya semakin tercengang.

***

TBC

***

Hiraeth - The Weakest Soul Onde histórias criam vida. Descubra agora