5. Kamar

22 7 1
                                    

•••

Aku berjalan menuju gerbang depan sekolah, setelah dipastikan tidak ada Pak satpam yang berjaga aku pun keluar dari sekolah. Kutengok kanan dan kiri, mencari keberadaan laki-laki itu yang entah ada di mana. Aku berjalan di sekitar, tapi masih belum melihatnya juga.

Aku menghela napasku lelah. Apa karena aku terlalu lama dan sekarang dia sudah pergi? Kenapa dia sangat seenaknya sekali sih? Aku pun menggeleng kepala, kuputuskan untuk kembali ke dalam sekolah lagi. Baru saja aku memutar badanku, aku dikejutkan oleh dada bidang yang berada di depanku.

"Kau sedang apa?" tanya Reyhan.

"Sejak kapan kau ada di sini?" tanyaku balik.

"Karena kau lama, jadi aku membeli minuman di toko seberang," ucapnya dengan enteng.

Apa? Itu mengejutkanku, apa dia baru saja bilang bahwa dia menungguku? Seorang Reyhan Watson? Jika aku menyebarkan ini pasti tidak akan ada yang percaya.

"Jadi, apa alasanmu memanggilku?" tanyaku.

"Ibuku sudah pulang dan ingin bertemu denganmu," ucapnya.

"Kenapa aku? Aku sedang ada kelas," ucapku dengan sinis. Aku berbalik hendak meninggalkannya, tapi Reyhan menarik tanganku agar aku tidak bisa pergi.

"Lepaskan!" perintahku.

Reyhan terdiam sejenak sembari menatapku dengan tajam. Ia mengeratkan genggamannya hingga aku meringis. Ia pun mendekatkan dirinya hingga membuatku terkejut dan menutup mataku karena ketakutan. Apa yang ia rencanakan?

"Kau, ada parfum laki-laki yang menempel di tubuhmu," ucapnya sembari mengendus bauku.

Aku membelalakkan mataku. Wajahku seketika langsung pucat mendengar penuturan Reyhan. Laki-laki melepas genggamannya padaku sembari masih menatap tajam diriku.

"Lepaskan jaket itu," perintahnya.

Aku meremas ujung jaket Azka yang kukenakan. Kulirik Reyhan yang sudah memasang wajah seram. Sial, kenapa juga aku lupa mengembalikan jaket ini padanya?

"A-aku tidak bisa, ini jaket temanku!" ucapku dengan sedikit berteriak dan mundur beberapa langkah.

Reyhan terdiam menatapku. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan sembari tersenyum kesal. Ia menatapku dengan begitu rendah seakan aku hanyalah seekor hama.

"Lepaskan ...," ucapan Reyhan terhenti, ia menghampiriku dengan pelan. Dalam sekejap ia narik wajahku dengan memegang pipiku dengan satu tangannya. "Atau aku akan membunuh laki-laki itu."

Ah ... mungkin karena sudah cukup lama sejak aku bertemu dengannya, aku sampai melupakan rasa ini. Insting yang mengatakan bahwa aku sedang berada dalam bahaya. Rasa takut dan patuh yang bercampur menjadi satu. Laki-laki brengsek ini adalah alasan aku memiliki phobiaku sekarang.

Aku mengangguk sekali dan perlahan melepas jaket Azka yang kukenakan. Reyhan segera merebutnya dan membuangnya ke sembarang arah. Ia menarik tanganku dan membawaku ke arah mobil yang ia bawa. Sampai saat aku masuk ke dalam mobil, aku masih tak berani untuk menoleh ke arah lain.

Tanpa sepengetahuanku, Reyhan menatapku dalam diam. Berbeda dengan sebelumnya, terlihat raut kecewa dan menyesal di wajahnya. Tangannya meremas stir mobil yang membuatku semakin ketakutan. Apa aku melakukan kesalahan lainnya?

Reyhan pun menyalakan mesin mobil dan mulai menyetirnya ke arah rumahnya. Sepanjang jalan tak ada satupun dari kami yang membuka suara. Kami terlalu kalut dengan pikiran masing-masing.

Beberapa menit berlalu, kami akhirnya sampai di rumahnya. Reyhan menghentikan mobil miliknya pas di depan pintu masuk rumah. Ia keluar dari mobil dan memberikan kunci mobil pada seseorang yang tampaknya adalah seorang pelayan yang akan memarkirkan mobilnya.

"Tanganmu," ucapnya sembari meminta tanganku untuk digenggam.

Aku menghela napasku sendiri dan memberikan tanganku untuk digenggam. Syukurlah bajuku sudah kering, kalau tidak, mungkin laki-laki ini sudah mengamuk dari tadi karena salah paham. Aku mengalihkan pandanganku pada sebuah pintu besar di depan kami.

Belum sempat Reyhan membuka kenop pintu, pintu tersebut sudah dibuka oleh seorang wanita paruh baya yang memang sudah menunggu kedatangan kami.

"Selamat siang, Tante." Aku memberi salam pada wanita tersebut dengan sangat sopan.

"Ya ampun, Kaila! Sudah lama sejak Mama melihatmu! Kenapa kau tidak pernah berkunjung ke sini?" tanya Nyonya Watson–Ibunya Reyhan, padaku.

"Ah, Kai sibuk dengan pelajaran, Tan, jadi susah buat mampir ke sini," jawabku asal.

"Pasti kamu sibuk sekali. Reyhan, kamu harus contoh Kaila yang rajin. Mama sudah dapat surat peringatan yang kedua dari wali kelasmu! Untung saja bukan Papamu yang baca surat itu! Kalau tidak, Papamu bakal ambil semua yang kamu punya sekarang, tau?!" ucap Nyonya Watson tanpa henti. Kuyakin sebelumnya dia adalah seorang rapper.

Bukannya menjawab, Reyhan hanya mengalihkan pandangannya. Nyonya Watson menghela napasnya lelah karena anak semata wayangnya itu susah sekali diatur.

"Ayo masuk, Kaila. Mama sudah menyiapkan banyak makanan untukmu," ucap Nyonya Watson.

Ia pun menarikku untuk masuk ke dalam rumah. Aku menoleh ke sekitarku. Tampaknya tidak ada yang banyak berubah sejak terakhir kali aku mengunjungi rumah ini. Reyhan pun ikut duduk di kursi meja makan di samping tempat dudukku. Kami berdua tidak banyak bicara, lebih seperti hanya mendengarkan ocehan dari Nyonya Watson.

"Jadi bagaimana hubungan kalian berdua?" tanyanya.

"Ah, hubungan kami cukup baik kok, Tante," jawabku dengan singkat.

"Ayolah, kenapa kamu masih panggil Mama sebagai Tante? Panggil saja Mama seperti Reyhan." Nyonya Watson tersenyum sedih karena aku terus memanggilnya Tante.

"Maaf, Tante. Saya masih belum terbiasa," ucapku beralasan.

"Kenapa tidak? Lagi pula sebentar lagi kita akan menjadi keluarga, bukan begitu?" tanyanya dengan senyum mengembang.

Sementara itu, aku benar-benar tidak bisa menjawab perkataannya. Aku meremas pelan rok sekolahku di bawah meja.

"Ma, jangan buat orang kesusahan," ucap Reyhan pada Nyonya Watson.

"Aish, kenapa kau berkata seperti itu." Nyonya Watson menghela napasnya sekali karena kecewa.

Oh? Apa Reyhan baru saja membantuku? Tidak mungkin, 'kan? Dia pasti juga merasa risih dengan perkataan Ibunya mengenai keluarga.

"Yah, tak apa. Karena kamu masih kelas sebelas, jadi masih ada satu setengah tahun sebelum kamu lulus, Kaila. Mama harap sih kamu bisa cepat-cepat memanggil Mama sebagai Mama dan menjadi anak perempuannya, Mama," ucap Nyonya Watson dengan senyum lebar. Ia memikirkan bahwa keluarganya pasti akan bahagia dengan bertambahnya satu orang.

Di lain sisi, ada aku yang merasa perkataannya adalah perkataan horor yang pernah kudengar di hidupku. Kuharap itu benar-benar hanya sebuah harapan kosong.

Setelah makan malam selesai, aku membantu Nyonya Watson dengan membersihkan meja makan. Rumah sebesar ini tak memiliki banyak pelayan, itu adalah perintah dari Nyonya Watson sendiri karena katanya ia akan merasa sangat bosan jika semuanya dilayani oleh pelayan.

Setelah selesai mencuci piring, aku memutuskan untuk naik ke lantai 2. Sudah menjadi hal yang biasa bagiku untuk menginap di rumah ini jika aku pulang telat. Itu sebabnya selalu ada kamar yang disediakan khusus untukku.

Di perjalanan aku menoleh kamar Reyhan yang pintu sedikit terbuka. Langkahku pun mulai berubah dan mendekati pintu kamar tersebut. Kuintip isi di dalam kamar itu. Yah, tak banyak yang bisa dilihat dan aku sudah hapal dengan isinya. Kenapa juga aku masih mengintip layaknya orang mes*um?

"Huh? Itu ...."

•••

TBC

Terima kasih sudah mampir.
Jangan lupa vote+komen

Selamat membaca!!

Hiraeth - The Weakest Soul Onde histórias criam vida. Descubra agora