13. Bertamu (2)

14 2 1
                                    

•••

Sudah hampir sejam rasanya sejak aku pulang ke rumah. Aku membawa Arabella dan Azka untuk bermain. Saat ini aku sedang menyiapkan makan malam dengan Diaz. Yah walaupun sebagian besar Diaz lah yang mengerjakan semuanya. Maksudku, aku cukup hebat dalam memasak, kau tau? Hanya saja Diaz sedikit lebih hebat dalam hal itu, jadi ia bertugas menyiapkan makanan saat di rumah.

"Kak, mau teh?" tanyaku berbasa-basi.

Tak ada balasan, hanya ada wajah yang semakin tertekuk ke bawah di wajah tampan milik kakakku ini. Dasar, umurnya hampir 28 tahun, tapi dia masih saja bertingkah seperti anak kecil. 

Aku lanjut merebus air untuk teh, sementara Diaz mematikan kompor miliknya karena masakan miliknya sudah matang. Aku membantu dan menyusun makanan di atas piring. Biarlah ia pusing sendiri dengan pikirannya, aku yakin dia akan bertanya denganku nanti.

"Dia benar temanmu?" tanya Diaz. Tuh kan, aku yakin dia akan bertanya.

"Iya, apa aneh aku membawa teman laki-laki?"

"Iya," jawab Diaz dengan cepat.

Sekarang gantian aku lah yang menekuk wajahku. Apa maksudnya itu? Padahal saat kecil aku memiliki banyak teman pun dia tidak masalah. Diaz menghela napasnya panjang saat melihat wajahku. Dia melipat kedua tangannya ssembari menynder pada meja dapur.

"Kapan terakhir kali kau membawa teman laki-laki ke rumah?" tanyanya dengan nada dingin.

Aku terdiam. Jelas sekali aku mengerti ke mana arah pembicaraan ini. Kapan terakhir kali? Itu sekitar 3 tahun yang lalu, aku mengajak seorang teman laki-laki yang dekat denganku saat itu ke rumah. Yah, siapa sangka sekarang aku sangat memusuhinya sekarang, karena dia yang membuatku jadi seperti ini. Aku tidak percaya dulu aku sangat mempercayainya. Aku pasti sudah buta.

"Azka berbeda. Aku yakin dia tidak seperti Reyhan."

Diaz menatapku tajam. "Kaila, ini bukan hanya tentang dia berbeda." Diaz terdiam sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. "Apa dia sudah tau mengenai phobiamu?"

Aku mengalihkan pandanganku. Melihat itu, Diaz kembali menghela napasnya, dia sudah tau jawabannya, itu jelas sekali. "Aku tidak tau apa yang membuatmu berpikir dia berbeda, tapi aku mau kamu menjaga jarak dengannya. Mengerti?" ucap Diaz dengan penekanan di akhir kalimatnya.

"Kau terlalu ketat, Kak," ucap Arabella yang sudah berdiri di ambang pintu, kami berdua pun menoleh ke arahnya. Arabella berjalan masuk dan merangkul pundakku. "Bukankah kau melupakan seseorang? Menurutmu bagaimana Kaila bisa bertahan selama ini? Selama ini aku sudah menjaganya dari para b*jingan itu. Kali ini percaya saja lagi padaku, oke?"

Diaz mengerutkan keningnya. Bukan ia tidak pecaya, hanya saja dia terlalu khawatir. Aku tau itu, karena dia sudah overprotektif sejak aku masih kecil. Mungkin karena pengaruh ayah juga. Kau tau, ayah sedikit keras, tidak ada dari kami yang menyukainya.

"Baiklah, tapi bukan berarti aku membebaskanmu. Kai, aku takut kau akan seperti dulu, kau  paham, kan?" Diaz menatapku dengan lembut. Akhirnya dia kembali lagi, tadi itu cukup menakutkan. Aku mengangguk paham yang membuatnya tersenyum.

"Karena semuanya sudah selesai, bisakah kita makan? Aku lapar." Arabella tersenyum lebar. Ah, itu sebabnya dia ke dapur, batinku.

Kami pun mulai mengangkut semua makanan ke ruangan makan. Arabella dengan cepat merebut piring yang kubawa dan mengikuti Diaz yang sudah duluan keluar dari dapur. Pasti dia mau cari muka di depan Diaz. Entah sampai kapan dia akan menyukai Diaz, jelas-jelas aku sudah mengatakan bahwa laki-laki itu sudah punya kekasih. Dia bilang, 'selama janur kuning belum melengkung, dia pasti dapat kesempatan'. Dasar orang aneh.

Aku berjalan ke ruang utama, melihat Azka yang sedang sibuk dengan ponsel pintarnya. "Serius sekali. Ayo masuk, makan malamnya sudah siap."

Azka menoleh ke arahku. Entah kenapa raut wajahnya sedikit aneh, apa terjadi sesuatu? Aku berusaha bertanya, tapi dia bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sedikit aneh, tapi aku berusaha tak memikirkannya.

Kami pun pergi ke ruang makan, aku menyuruhnya duduk di dekatku, tapi lagi-lagi Diaz tidak mempercayainya dan menyuruhnya duduk di sampingnya. Aku bersyukur Azka tidak mengambil hati dengan perkataan Diaz.

"Apa? Kau berasal dari keluarga Prasaja?" tanya Diaz dengan tatapan tak percaya pada Azka di tengah-tengah acara makan malam.

"Apa Kakak kenal dengan keluarganya Azka?" tanyaku. Diaz terdiam sejenak, ia menutup mulutnya dan terlihat sedang berpikir.

"Ya, kau juga mengenalnya." Diaz akhirnya membuka mulutnya, tapi itu malah membuatku terkejut. Apa? Aku mengenal keluarganya? Tapi aku tidak mengenal Azka sama sekali.

"Tapi, aku yakin Pak tua itu tidak memiliki anak, bahkan jika dia telat memiliki anak, dia tidak mungkin seumuran dengan Kaila," lanjut Diaz sembari menatapnya dengan tatapan bertanya. Azka tersenyum pedih. Bisa kurasakan dia berusaha menutupi kesedihan miliknya itu.

"Karena aku bukanlah anak kandungnya." Azka menggantung kata-katanya yang membuat kami penasaran. Bahkan Arabella tidak sempat menyuapkan nasi ke mulutnya saking penasarannya. Azka pun tersenyum sembari berkata, "aku adalah anak angkat keluarga Prasaja."

"Apa? Bagaimana bisa?" tanya Arabella yang akhirnya mendapat sikutan dariku. Dia lah yang bagaimana bisa bertanya hal privasi seperti itu. Arabella mengaduh pelan atas sikutanku, yang kuyakin disaadari oleh 2 orang lainnya.

"Tak apa, aku juga tidak berniat menyembunyikannya." Azka kembali tersenyum sebelum melanjutkan perkataannya.

"Ayah kandungku adalah orang yang suka bermain tangan. Sebelumnya, Ibuku selalu menjagaku darinya, tapi setelah Ibuku meninggal saat aku umur enam tahun, dia pun semakin menjadi tak terkendali. Setiap harinya aku berusaha bertahan hidup di dalam gang yang kecil, menahan lapar dan berlari setiap aku melihatnya. Lalu, saat umurku beranjak remaja, aku baru tahu jika Ibuku memiliki kerabat, jadi aku kabur dan meminta Pamanku menjadi orangtua asuhku." 

Semuanya terdiam, sementara orang yang bercerita malah tersenyum polos. Apa itu? Itu bukan masa lalu yang biasa, dia bahkan bukan seorang tokoh utama di sebuah novel. Kenapa kisahnya sangat tragis?

"A-aku minta maaf," ucap Arabella dengan wajah pucat. Dia jelas merasa bersalah sudah bertanya. Yah, makan itu! Itu sebabnya kau harus bisa mengerti situasi sebelum bertanya.

"Aku turut prihatin." Diaz berdehem, dia pasti merasa tidak enak juga.

"Tapi, bagaimana sekaranng? Apa kau masih merasakan hal yang sama?" tanyaku.

"Tidak. Sekarang orangtuaku memanjakanku. Selama aku mendengarkan mereka, mereka tidak masalah dengan menjadikanku pewaris keluarga. Aku sudah melupakannya sekarang," jawab Azka.

Aku tersenyum. Senang mendengar bahwa itu hanya menjadi sebuah masa lalu. Itu benar, bahkan aku pun memiliki masa lalu yang tidak jauh beda. Bedanya, Azka mulai melangkah maju, sedangkan aku masih terjebak di sini. 

Kami pun melanjutkan makan kami. Kali ini Diaz sedikit berhati-hati dalam bercakap. Itu bagus. Kami pun menyelesaikan kegiatan makan-makan kami. Diaz pergi ke dapur untuk mencuci piring, dan lagi-lagi Arabella memaksaku untuk pergi agar dia bisa membantu Diaz. Biasalah, cari muka.

Aku dan Azka pun pergi ke ruang tengah. Aku membiarkan TV menyala agar suasananya tidak canggung. Aku menoleh pada Azka yang sibuk memperhatikan siaran  TV. Tunggu, kurasa tadi aku salah menyetel channel, seharusnya yang tayang sekarang adalah kartun, bukan? Aku menoleh pada layar TV yang menampilkan karakter kartun berbentuk hewan. Wah benar-benar. Ini sebabnya orang-orang berkata, laki-laki tidak pernah tumbuh.

"Apa kau menikmatinya?" tanyaku.

"Hm? Ah ... Ya, ini cukup menyenangkan. Aku jarang menonton kartun sebelumnya."

Aku terdiam. Benar juga, dia bilang dia hidup miskin dengan ayahnya yang keras itu. Mana mungkin dia punya waktu bermain seperti anak-anak lainnya.

"Aku senang kehidupanmu membaik sekarang. Kuharap itu bisa mengobati ingatan burukmu." Aku tersenyum ke arahnya. Namun, Azka menunjukkan raut wajah yang sulit dimengerti.

"Kurasa kau salah paham akan sesuatu. Saat kecil, tidak semuanya hanya ingatan buruk saja."  Azka menundukkan kepalanya, senyum kecil terukir pada wajahnya yang tampan. 

"Terkadang cahaya bisa datang di gang kecil sekalipun."

Hiraeth - The Weakest Soul Where stories live. Discover now