9. Ini sia-sia

13 4 1
                                    

~~~

Aku menatap ke luar jendela hotel. Jika saja ini tidak berada di lantai 7, mungkin aku sekarang sudah meloncat keluar. Hidup begitu miris. Kulihat notifikasi yang berada di layar ponselku. Beberapa panggilan tak terjawab dari Arabella tak kunjung berhenti datang setelah aku mengatakan hari ini aku bertemu Reyhan.

"Kau tidak berpikir untuk loncat dari lantai tujuh, kan?" 

Aku menoleh dan mendapati Reyhan tengah mengeringkan rambutnya yang basah sehabis keramas. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini dia keluar dari kamar mandi dengan menggunakan celana bukannya hanya handuk, yah walaupun dia tetap bertelanjang dada. 

"Kenapa kau berpikir seperti itu?"

"Entahlah, mungkin karena sebelumnya ada orang bodoh yang melompat dari lantai dua saat pertemuan keluarga karena tidak ingin dijdodohkan."

Aku terdiam malu. Itu sesuatu yang tidak bisa kusanggah. Kupikir karena lantai dua tidak terlalu tinggi, aku bisa loncat seperti orang-orang yang berada di film itu. Ternyata tidak ada bedanya, hanya saja persentase untuk matinya tipis. Waktu itu aku beruntung jatuh di semak-semak, walau pada akhirnya aku demam untuk 3 hari.

"Aku gak ngerti maksudmu." Aku berdehem sekali dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. 

"Kamu harus coba melamar sebagai aktor."

"Apa?" Kenapa lagi ia menyinggung aktor?

"Kuyakin kau akan langsung diusir di hari pertama," ucap Reyhan sembari terkekeh kecil.

"Kau bisa diam tidak," balasku kesal.

Aku mendengus kesal, sedangkan Reyhan semakin tertawa melihat reaksiku. Terkadang aku bingung dengan sifatnya yang kekanakan ini. Aku pun pergi dan memutuskan untuk mandi. Selesai membersihkan diri, aku melihat Reyhan tengah berdiri di balkon kamar. Untuk ukuran bajingan sepertinya tatapannya cukup sedih. Aku penasaran apa yang ia pikirkan.

Aku membuka mulutku, tapi segera kututup kembali. Kenapa aku berpikir seperti itu? Itu bukan urusanku jika dia mau bersedih. Hidupku lebih menyedihkan darinya. Aku sudah meyakini hal itu sejak aku kembali bertemu dengannya lagi.

"Tutup pintunya, aku kedinginan," ucapku dengan dingin. 

Reyhan berbalik dan menatapku dengan tajam. Akh! Kenapa aku mengatakan itu? Dasar mulut tidak berguna, seharusnya kau diam saja!

"A-aku benar-benar kedinginan. Aku sedang flu tau!" ucapku memberi alasan.

Reyhan menghela napasnya. Ia pun masuk dan menutup pintu balkon hotel dengan sedikit kencang hingga menimbulkan suara. Aku takut, batinku.

Reyhan berjalan melewatiku, ia pergi keluar dari kamar ini setelah mengambil jaket dan ponselnya yang tergeletak di meja kamar. Apa dia marah karena tadi? Yasudahlah, malah bagus dia keluar, aku jadi bisa berbaring dengan nyaman di kasur.

"Aku harap dia tidak kembali," ucapku dengan sedikit kencang. Tiba-tiba saja Reyhan membuka pintu kamar dan kembali masuk. Refleks aku mendudukkan diriku dan bersikap sopan. Kenapa dia kembali?!

"Anu, Rey," panggilku yang mendapat tatapan tajam darinya. Huaaa, aku ingin pulang!

"Aku bertemu orangtuaku di lift," ucapnya.

Ah, itu sebabnya dia kembali? Apa dia berpikir untuk melarikan diri dari sini? Kalau bisa, aku juga ingin. Aku terdiam dan menundukkan kepalaku. Sebenarnya kenapa kami berdua harus terjebak di situasi ini? Tak ada satupun dari kami yang menginginkan pertunangan ini. Bahkan jika kami memiliki hubungan, itu hanyalah masa lalu.

"Bagaimana dengan rooftopnya?" tanyaku sembari tersenyum. "Kamu selalu suka langit malam, kan?"

Aku hanya mengucapkan asal saja. Bahkan aku masih tidak berani menatapnya. Namun mengapa aku bisa merasakan bahwa Reyhan ikut tersenyum? 

Hiraeth - The Weakest Soul Where stories live. Discover now