11. Azka

10 4 2
                                    

~~~

Ini terjadi beberapa tahun yang lalu. Di tengah kota, di mana lampu jalan hampir tak terlihat dari tempatnya. Anak kecil itu memegangi perutnya yang terasa nyeri sembari menatap benci lelaki di depannya.

"Dasar anak sialan! Aku bilang berikan uangmu padaku! Aku tau kau mendapat uang dari Pak tua itu!" teriak lelaki itu sembari memukulinya.

"Tidak akan!" balas anak kecil itu.

Ia mendorong sekuat tenaga lelaki yang badannya 3 kali lipat lebih besar darinya. Walau hanya oleng sebentar, anak kecil itu tidak melewatkan kesempatannya untuk melarikan diri dari lelaki yang tak lain dan tak bukan adalah Ayahnya yang sedang mabuk.

Lelaki itu mengejarnya, sayangnya tubuhnya yang besar itu tidak bisa menyamai kecepatan lari anaknya sendiri. Anak itu pun menghilang di persimpangan jalan, ia berdoa agar Ayahnya yang brengsek tidak bisa menemukannya. Namun saat ia sadar, ia sudah berada di tengah jalan dengan sebuah mobil tengah melaju ke arahnya.

Dak! Tubuhnya terdorong, pengemudi mobil itu membanting stirnya dan menabrak tepi jalan. Pejalan kaki mulai berkerumun, beberapa ada yang berusaha mengecek keadaan, ada yang berusaha memanggil bantuan, tak sedikit juga yang berusaha mengabadikan moment kecelakaan tersebut.

Anak itu membuka matanya dengan perlahan. Beberapa bagian tubuhnya terasa nyeri karena terseret aspal. Ia pun berusaha duduk dari posisinya, di saat bersamaan sebuah tangan terjatuh dari pegangannya. Anak itu menoleh dan menemukan seorang gadis tengah memeluknya dari belakang.

"Dia menyelamatkanku?" tanyanya seorang diri.

"Kaila!" teriak seseorang.

Anak itu kembali menoleh dan mendapati 2 orang remaja laki-laki berlari menghampiri mereka berdua. Tidak, lebih tepatnya mereka mengkhawatirkan gadis itu. Di saat yang bersamaan, gadis itu membuka matanya, ia mengaduh kesakitan, tapi nampaknya tidak ada luka berat karena ia terjatuh di atas anak laki-laki tersebut.

"Kenapa kau berlari seperti itu? Apa kau tau jantungku hampir copot?!" teriak salah satu dari remaja laki-laki tadi.

Kaila kecil tersenyum lebar tanpa penyesalan. "Itu tadi refleks. Saat aku sadar aku sudah di tengah jalan."

"Apa yang harus kulakukan padamu?" Mereka menghela napas berat melihat tingkah Kaila.

"Oh ya, apa kau baik-baik saja?" tanya Kaila pada anak itu.

"Ah... I-iya," ucap anak itu.

"Tunggu, kau terluka." Kaila segera menarik anak itu dan membawanya ke tepi jalan. Kedua kakaknya pergi untuk membeli obat luka. Setelah itu mereka membantu untuk mengolesi lukanya dengan obat.

"Siapa namamu?" tanya Kaila.

Anak itu sempat ragu untuk menjawab, tapi ia pun memberanikan diri untuk mengeluarkan suaranya yang terdengar sangat lembut. "Azka, kamu?"

"Kaila. Kamu masih sakit?" tanya Kaila sembari melirik luka Azka. Azka pun hanya menggeleng sebagai jawaban.

"Kaila, ayo pulang," ajak kedua kakaknya. Semua keadaan sudah stabil, pengemudi mobil tadi tampaknya baik-baik saja dan memaafkan Azka karena ia masih anak-anak.

"Iya! Aku pergi dulu ya, Azka!" ucap Kaila kecil. Ia pun berdiri dari duduknya dan mengikuti kedua kakaknya untuk pulang.

Azka terdiam di duduknya sembari melihat punggung Kaila yang perlahan menghilang dari kerumunan orang-orang. Senyum anak yang menyelamatkannya itu sangat cerah, padahal mereka hampir saja mati hari ini. Azka yang hidup dalam dunia yang gelap. Setiap harinya yang ia dapatkan hanyalah bentakan dan keadaan rumah yang berantakan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya ia menemukan sebuah cahaya.

"Kaila ...."

Pov end

~~~

Aku menatap jalanan malam hari dari balik jendela mobil. Setelah melarikan diri dari Reyhan dan bertemu dengan Azka, ia benar-benar mengantarku tanpa mengatakan apapun. Namun ini malah membuat suasananya menjadi canggung. Aku jadi tidak berani untuk menatap matanya karena suasananya tak enak.

Tidak bisa seperti ini. Jangankan pulang, aku bisa mati karena kecanggungan!

"A-anu ... kau, kenapa bisa ada di sana?" tanyaku berusaha mencairkan suasana.

"Ah, kebetulan," jawabnya singkat yang membuatku semakin cemas dan canggung.

Aku melirik ke arah Azka yang tampaknya fokus menyetir. Aku terdiam sejenak. Wajahnya yang tampan, juga suaranya yang lembut, aku seperti pernah melihatnya jauh sebelum kita bertemu di sekolah. Apa itu hanya pemikiranku saja?

Tidak bisa begini. Semakin kupandang wajahnya, semakin aku merasa familiar dengan seseorang, dan semakin besar rasa penasaranku. Aku menoleh, hendak bertanya, tapi Azka lebih dulu menyela kata-kataku.

"Di sini tempatnya?" tanyanya sembari melihat sebuah rumah berlantai 2, yaitu rumahku.

"Ah benar, di sana." Aku mengalihkan pandanganku secepatnya dari dia. Apa yang baru saja kupikirkan? Itu pasti hanya perasaanku saja. Tidak mungkin aku mengenalnya.

"Kalau begitu, aku akan turun. Terima kasih, Azka," ucapku yang hanya dibalas senyuman oleh Azka. Aku memegang handle pintu mobil dan membukanya. Rasa ragu mulai menghantuiku saat aku memijakkan kakiku keluar. Aku pun menoleh pada Azka untuk terakhir kalinya.

"Sampai jumpa lagi di sekolah," ucapku sebelum keluar dari mobilnya. Segera aku berjalan ke rumahku untuk menutupi kegugupanku.

Di sisi lain Azka masih di tempatnya sambil menunggu Kaila masuk ke dalam rumah. Saat dirasanya cukup, dia pun menancap gasnya dan pergi dari sana. Azka menatap datar jalanan di depannya sembari berpikir mengenai kejadian saat ia bertemu dengan Kaila. Ia merengut, kecepatan mobil bertambah setiap ia merasa aneh pada dirinya saat memikirkan Kaila. Ia marah, kesal, sedih saat melihat gadis itu menangis di tengah jalan. Apa itu iba?

"Sialan!" umpatnya sembari melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

~~~

"Setelah dipikir-pikir, apa kamu punya SIM?" tanyaku pada Azka setelah bel istirahat berbunyi. Setelah kejadian kemarin, aku mulai bermain dengan Azka. Walau masih menjaga jarak agar phobiaku tidak kambuh.

"Tentu saja, kamu meragukanku?" Azka melipat kedua tangannya sembari menaik-turunkan alisnya. Aku menatapnya tajam, setelah mengenalnya ternyata dia orangnya narsis abis. Yah, aku tidak bisa bilang apapun karena dia memang berbakat dalam banyak hal.

"Aku cuman merasa aneh, soalnya jarang sekali anak seumuran kita sudah punya SIM," ucapku sembari menyeruput minumanku.

"Seharusnya aku yang merasa aneh, sejak kapan kalian dekat?" tanya Arabella yang sedari tadi duduk sembari memperhatikan kami.

"Memang kenapa kalau kami dekat?" tanyaku kebingungan, aku kembali menyuruput minumanku sembari menunggu jawaban teman karibku itu.

"Kau tidak ingat terakhir kali kau bereaksi seperti tidak menyukainya karena sudah menyelamatkanmu?" Arabella menangkup pipinya dengan satu tangan sebagai tumpuan. Ia menyeringai ke arahku saat aku tersedak karena kata-katanya.

"Itu benar," balas Azka sembari menganggukkan kepalanya.

"I-itu 'kan dulu," ucapku sembari mengelap mulutku untuk menghilangkan rasa maluku.

"Kai, itu baru terjadi kemarin." Arabella menatapku datar sembari memukul telak diriku.

"Ara, kau bisa diam?" tanyaku dengan nada memohon, tapi terlihat wajahku yang berusaha menahan emosi. Sementara itu Azka hanya melihat kami yang bertengkar sembari memakan makanannya.

~~~

Voment juseyo

Hiraeth - The Weakest Soul Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang