41 || Rindu dan Dunia Malam

139 15 71
                                    

Suara mesin Elektrokardiografi —EKG menjadi salah satu suara yang selalu menyambut saat masuk ke dalam ruangan Askara. Arga berdiam diri diambang pintu masuk dengan mengenakan pakaian khusus berwarna hijau, dirinya cukup ragu untuk bertemu kakaknya dari jarak dekat. Setiap kali Arga melihat wajah pucat Askara, saat itu juga rasa bersalah akan terus datang menggerogoti pikirannya.

Seminggu setelah kejadian saat di mana Askara melindungi Arga dari pukulan sang ibu, sejak saat itu juga kondisi Askara kian hari kian memburuk. Dokter juga turut menambahkan jika penyakit yang di derita Askara semakin parah, hal itu terjadi karena penyakit itu tidak secepatnya ditangani.

Sejak itulah Askara hanya terbaring memejamkan matanya, dokter menyatakan jika Askara dalam masa koma. Jangan tanyakan kondisi Arga saat mengetahui hal itu, dia benar-benar hancur sehancurnya. Belum lagi dengan sebuah kenyataan pahit yang harus dia dengar dari mulut ayahnya. Arga merasa seperti dihukum oleh Tuhan, karena selama ini dia selalu acuh pada kakaknya.

Dia bahkan tidak pernah tahu jika dibelakangnya Askara selalu disiksa oleh ibunya, Askara selalu diam membisu dan terlihat baik-baik saja. Selain menjadi bodoh Arga juga menjadi adik yang tidak berguna bagi Askara.

Air mata yang sejak tadi ditahan untuk keluar, kini begitu saja lolos terjatuh di pipinya. Arga melangkah mendekati ranjang Askara membuatnya semakin jelas melihat wajah pucat kakaknya. Baik Danu dan yang lainnya telah pulang beberapa saat lalu, hanya menyisakan dirinya seorang.

"Kapan lo bangun kak?" Suara Arga bergetar, dia mengigit bibir bawahnya agar tak menangis. Rasa sakit menjalar di tubuhnya saat melihat begitu banyak alat menempel di tubuh Askara.

"Lo nggak kangen sama mereka? Teman-teman lo terus—" Gagal. Arga gagal menahan tangisnya, dia menundukkan kepalanya membiarkan setiap air mata yang keluar berjatuhan begitu saja.

"Mereka nunggu lo, Kak. Gue juga nunggu lo, Kak." Arga terdiam hanya membiarkan suara isak tangisnya melawan berisiknya suara alat EKG.

Tangannya bergerak menggengam tangan Askara yang bebas dari jarum infus. "Gue pinjem motor lo ya, Kak?"

Hening tidak ada jawaban dari Askara.

"Kenapa lo diem aja! Kenapa lo nggak ngelarang gue Kak! Jawab gue kak Askara!!"

"Udah cukup lo nyakitin diri lo sendiri, sekarang lo harus berbagi luka lo sama gue kak.... "

Tanpa sepengetahuan Arga, di luar ruangan Jay berdiri menyaksikan betapa rapuhnya Arga di dalam sana, lelaki itu menangis seakan-akan mengeluarkan segala bebannya. Niatnya kembali hanya untuk mengembalikan ponsel Arga yang tadi sempat dipinjam. Namun, dirinya malah melihat adegan memilukan ini. Karena tak ingin mengganggu Jay memutuskan untuk duduk di kursi dan menunggu hingga Arga keluar.

Jay cukup mengerti apa yang sekarang Arga rasakan, karena dirinya pernah berada di posisi yang sama seperti Arga. Takut akan kehilangan orang yang kita sayangi, akan tetapi saat itu Jay benar-benar harus kehilangan dan mengikhlaskan adalah salah satu pilihannya.

Butuh waktu satu jam untuk Jay menunggu Arga keluar dari ruangan Askara. Lelaki dengan rambut yang acak-acakan, dengan kedua mata memerah—membuktikan jika dirinya terlalu banyak menangis. Arga mulai melangkah mendekati Jay yang tenang duduk di bangku tunggu, dia cukup terkejut kala mendapati kehadiran temannya itu.

"Udah puas nangisnya?" Pertanyaan itu dilontarkan saat Arga telah duduk tepat di sampingnya, "Lo nggak capek, nangis terus?"

Hening. Arga enggan menjawab. Dia bahkan bingung jawaban apa yang harus diberikan dari pertanyaan Jay. Dibilang lelah pasti lelah karena terus menangis, akan tetapi air matanya itu tidak pernah bisa untuk dibendung ketika melihat Askara di dalam sana.

ASKARA || Revisi✔Where stories live. Discover now