6. BFF

99 19 0
                                    

Minggu, 21 April, pukul 11.15

Rasanya seperti déjà vu. Aku terjaga lagi. Kali ini tanpa mimpi. Aku langsung duduk, sadar masih berada di apartemen Lisa. Satu jam, aku tertidur di karpet di belakang kabinet home theater. Tempat yang paling jarang dilewati Lisa dan tamu-tamunya. Kucoba berdiri, masih agak goyah, tapi tidak masalah. Obat pereda nyeri yang kuminum pun bekerja efektif.

"Aku siap bekerja lagi, Lisa. Mungkin sebaiknya aku baca ruangan ini dulu. Tidak terlalu banyak barang, tapi siapa tahu ada petunjuk penting. Aku akan mengumpulkan informasi secara sistematis."

Dari ambang pintu masuk, aku bergerak langkah demi langkah, menyentuh dinding dan lantai, membaca perabot dan pernak-pernik yang kulewati. Hasilnya kucatat di ponsel, lalu jeda sebentar hanya untuk istirahat.

Dua jam penuh kuhabiskan untuk sampai di titik semula. Aku duduk lagi di kursi makan dan memeriksa catatan sambil menghabiskan energy drink. Perutku mulai berbunyi.

"Aku bacakan catatanku dan kau koreksi, ya, kalau salah," kataku pada Lisa dan kudengar tawanya di dalam kepalaku. Aku menyeringai. "Ya, aku tahu, sama saja minta orang buta menuntun orang buta."

"Tepatnya, minta sesosok kenangan mengoreksi kenangannya sendiri."

"Maaf," kataku.

Kubayangkan Lisa mendekat, duduk di kursi di depanku. Ia memandangku ramah. "It's okay. Aku tahu yang kau lakukan itu membuatmu lelah. Harusnya aku berterima kasih."

Aku menyemburkan napas. Terharu. Seperti itulah tanggapan Lisa aslinya. Aku yakin, ia pribadi yang selalu memikirkan orang lain. "Oke. Dari semua kenangan yang kulihat, ada fakta tak terbantahkan, tapi banyak juga kilasan peristiwa penuh lubang yang perlu dicarikan kepingan lengkapnya."

Lisa tampak serius, tapi tatapan matanya lembut dan membuatku meleleh. Kuhirup dalam-dalam aroma sejuk water fountain dalam kenangan. Lisa menyeringai. Aku berdeham dengan muka panas. Buru-buru membacakan catatanku untuknya.

"Apartemen ini dibeli Mommy Chit waktu kau masuk SMA. Mommy Chit memindahkan bisnisnya ke Seoul, tapi kau menolak pindah sekolah. Cinta mati pada BIHS. Aku tidak tahu rumahmu di mana sebelum ini, tapi dugaanku, di kompleks yang sama dengan Jisoo dan Rose, mengingat kalian berteman sejak kecil."

"Kalian bertiga menjadikan tempat ini markas, karena terdekat dengan sekolah. Jisoo sering datang sendiri dan menginap di sini. Rose sesekali muncul bersama Jisoo. Di dapur, aku mendapati jejak Rose membawakan buah-buahan."

"Teman-teman tim basket pernah berkunjung ke sini, tapi kenangannya samar-samar. Berarti sudah lama atau sangat jarang. Di antara mereka, cuma Jiyeong yang tidak kau sukai. Aku paham benar emosimu saat dia datang sendirian ke sini. Kau ragu untuk mempersilakannya masuk, jadi hanya membiarkannya berdiri, lalu ikut keluar dengannya. Entah ke mana. Aku sudah khawatir, tapi kulihat kau pulang dengan selamat."

"Aku tidak pernah benar-benar membenci orang." Lisa seperti mengoreksi.

Aku mengangguk. "Ya. Sangat kelihatan, tapi Lisa, aku bilangin, ya, Jiyeong itu bad news. Dia pernah putus dengan Nayeon gara-gara aku, jadi Jiyeong memusuhiku. Memang itu masalahku, tidak ada kaitannya denganmu, tapi alangkah baiknya kita waspada. Aku mau cek catatan polisi, tapi Tante Jess dan Jackson Oppa tidak boleh tahu. Aku tidak heran kalau Jiyeong masuk daftar orang yang dicurigai dalam kasusmu."

"Biasanya dalam cerita misteri, pelakunya adalah tokoh yang paling tidak mencurigakan." Lisa tampak geli.

"Ah, itu kan fiksi. Penulisnya sengaja mengecoh pembaca. Kenyataannya, apa pun bisa terjadi." Aku memprotes. Lisa angkat bahu.

RUBY : From Your Death (JENLISA)Where stories live. Discover now