5. Lisa, Boleh Aku Masuk?

140 21 0
                                    

Minggu, 21 April, pukul 08.10

Aku terjaga oleh klakson dan raungan sepeda motor di gang. Mimpiku terputus, tapi masih kuingat ujungnya dengan jelas. Lisa di depan rumah kuno, tersenyum hangat dan berpesan agar aku menyimpan kenangannya. Tenang saja, Lisa. Struk itu aman kok, di dalam kotak kaleng di kolong tempat tidur, bersama benda-benda istimewa lainnya.

Mimpi itu pasti terpicu memori tentang Lisa yang teraduk ke permukaan. Mimpi yang tanggung. Kenapa tidak adegan yang lebih indah daripada kenyataan? Misalnya, aku menerima tawaran Lisa berkeliling mengambil foto rumah, kemudian menemaninya membuat sketsa.

Ah, khayalanmu itu, Jen. Hentikan sebelum penyesalan semakin dalam! pikirku.

Aku bangun dan mencari-cari ponsel. Kutemukan di meja belajar, berikut rangkaian kunci apartemen Lisa dan post-it dengan tulisan Jisoo, "Call me ASAP when you wake up."

Ya Tuhan. Kejadian semalam! Aku membenamkan muka di bantal, malu sendiri.

Menyadap informasi identik dengan pengerahan energi dan aku melakukan itu seharian sejak di kantor polisi. Lelah tidak kurasa karena tawaran Jisoo terlalu menggoda. Kunci untuk mengakses apartemen Lisa dan segala isinya. Ia berikan hanya setelah yakin aku bisa dipercaya.

Aku tidak menghitung-hitung lagi risiko kalau kemampuanku diketahui Jisoo. Aku tidak sabar ingin bertemu Lisa dalam kenangan. Aku merindukannya. Setelah memaparkan cara kerja Ruby dengan ringkas, aku nekat memegang rangkaian kunci Lisa erat-erat.

Namun, tidak terbaca memori apa pun. Aku jatuh terduduk di tanah. Kudengar Jisoo berseru-seru panik. Kedua tangannya yang hangat menyentuh pipi dan jidatku. Aku tidak tahu kelanjutannya, tiba-tiba aku sudah digendong Jisoo di punggung dan aku berbicara banyak ke telinganya, entah apa saja.

Aku meracau seperti orang mabuk saat energiku terkuras. Kondisi yang biasanya hanya disaksikan Tante Jess. Ia menyebut kondisi ini sindrom titik nol. Lebih keren daripada korsleting otak yang kuusulkan. Aku hanya perlu tidur nyenyak untuk memulihkan tenaga, tapi Jisoo tidak tahu itu. Pasti ia cemas. Aku segera menelepon gadis itu.

"Jennie! Kau buat aku takut semalaman!" Jisoo nyaris berteriak. "Tidak mau kubawa ke rumah sakit, tidak memperbolehkanku telepon tantemu. Aku tidak tahu harus bagaimana kecuali bawa kau pulang ke kosan. Bajumu lembap kena hujan. Kau mengigau terus. Masih sempat juga mengusir aku. Terpaksa aku tinggalkan ... tapi aku kepikiran terus."

"Itu efek samping Ruby. Obatnya cuma tidur. Aku baik-baik saja sekarang."

Aku memeriksa jendela. Tidak tertutup rapat dan kunciku ada di kolong meja. Jisoo ternyata gadis yang baik. Aku beruntung walau Tante Jess akan marah besar kalau tahu aku sudah mempertontonkan kekuatan sekaligus kelemahanku pada orang lain, tapi kurasa ia tidak perlu tahu.

Ajaib juga aku masih bisa menyuruh Jisoo pergi. Kamarku terlarang untuk orang lain karena kamar ini adalah tempat isitahatku secara harfiah. Harus steril dari kenangan orang lain, kecuali yang bisa kukendalikan, seperti benda-benda dalam kotak kaleng itu. Jisoo bisa jadi yang pertama. Untungnya, ia tidak banyak menyentuh barang-barangku dan meninggalkan jejak memori. "Terima kasih, Jisoo, you did the right thing. Apa pun yang aku ocehkan semalam, lupakan saja. Pasti tidak jelas."

Jisoo tertawa. "Memang. Jangan khawatir, rahasia Ruby aman. Orang lain tidak perlu tahu apa yang kita lakukan untuk Lisa."

"Bagaimana dengan Rose?" Tiba-tiba saja aku tidak ingin melibatkannya, Tidak ingin melihatnya ada pada kenangan Lisa.

"Rose tidak perlu tahu kalau kau maunya begitu." Jisoo menjawab ringan.

Demi Lisa, ia rela menyingkirkan gadis yang disukainya. Jisoo sepertinya mengerti, cemburu dapat merusak suasana dan konsentrasi Ruby. "Nanti saja kita libatkan dia kalau perlu atau kalau kita sudah berhasil membantu Lisa."

RUBY : From Your Death (JENLISA)Where stories live. Discover now