6. Dia Datang

4 0 0
                                    


Satu minggu sekolah masih heboh dengan peristiwa yang terjadi di toilet. Aqilla dan Hanna jadi topik hangat perbincangan setiap sudut gosip yang ada. Aqilla hanya jadi pendengar dalam diam saja. Sebenarnya ia agak sedikit terusik dengan bisikan-bisikan mereka. Tapi, sebisa mungkin ia bersikap biasa. Seolah tidak terjadi apa-apa.

Aqilla menghela napas. Suasana kantin agak lebih pengap dibanding hari-hari sebelumnya. Di depannya Ara tetap makan dengan tenang. Sama sekali tidak terusik dengan kebisingan yang menguar tak ada habisnya. Mata Aqilla mengedar, tak sengaja menangkap sesosok yang lewat di depan pintu kantin.

"Davin?"

"Hm?" Ara mendongak menatap Aqilla. Cewek itu celingukan mencari cowok indigo yang barusan lewat. "Davin ada di sini?" Ara bertanya kepo.

Aqilla menggeleng. "Cuma lewat."

"Oh. Wajar, sih." Ara berkomentar, lalu melanjutkan lagi makannya. Dia tidak akan bertanya apa-apa tentang Davin. Tipikal cewek yang tidak terlalu suka berurusan dengan cowok. Apalagi indigo dengan pendengaran setajam silet.

Tapi, mendengar komentar datar Ara membuat Aqilla mengeryit. Bukan apa-apa. Hanya saja ucapan Ara agak membuat rasa penasaran Aqilla kembali kambuh. Selera makannya menguap begitu saja. Aqilla mulai fokus dengan Ara.

"Kenapa wajar?" tanya Aqilla.

Ara kembali mengangkat wajahnya, berbalas menatap Aqilla. Dia lupa kalau Aqilla ini masih terbilang belum lama sekolah di sini. Menelan kunyahannya bulat-bulat, Ara mulai bercerita, "Davin itu gak pernah sekalipun ke kantin. Sesekali gue liat dia bekel terus suka makan sendiri. Kalau ada orang dia pindah tempat. Kalo gak salah sih dia biasa makan di taman belakang sekolah."

Benarkah?

"Yosh!" Aqilla menggebrak meja. Ara yang baru mau menyuap melotot horor. "Aku pergi dulu, Ra!" Aqilla beranjak dari duduknya, berlari meninggalkan hawa panas kantin yang semakin menjadi. Ara berdecak, kembali makan dengan hikmat.

Aqilla berjalan buru-buru mencari jejak Davin. Menengok ke setiap sudut koridor berharap Davin masih belum jauh. Tapi, nihil. Cowok itu tidak ada di mana-mana. Aqilla menghela napas. Ia kembali melangkah ke satu koridor lain.

Aqilla berhenti di depan koridor terbuka, menatap sesosok yang bersandar di bawah pohon. Kedua telinganya disumpal earphone, memejamkan mata, kentara sekali menikmati kesendiriannya. Melangkah mendekat, duduk di sampingnya, Aqilla memperhatikan setiap lekukan wajah Davin cermat.

"Davin, kamu tidur?" suara Aqilla setengah berbisik. Agak takut kalau benar Davin tidur dan ia malah mengganggunya. Mata cowok itu terbuka perlahan, melirik ke arah Aqilla. Menghela napas, Davin lama-lama bosan setiap hari mendapati wajah cewek berisik itu.

"Lo ngapain ke sini?" tanya Davin ketus. Menegakkan punggung, ia melepas kedua earphone-nya. Tidak jadi melanjutkan acara tidur siangnya. Semua ini gara-gara Aqilla.

"Kamu sendiri ngapain di sini? Sendirian lagi."

"Bukan urusan lo." Davin meraih tasnya, beranjak dari duduk hendak pergi. Padahal sebelumnya tidak ada orang seberani Aqilla yang mau mengusik istirahat Davin. Terkadang cewek itu menjadi sosok yang menyebalkan, meski di sisi lain ia juga menjadi sosok yang mesti dilindungi.

Entah karena apa.

Aqilla meraih tangan Davin, mendongak menatap punggung cowok itu dari bawah. Genggaman tangannya mengerat, tapi Davin tidak juga memberontak. Cowok itu menoleh menunduk pada Aqilla. Berbalas menatap cewek itu dalam diam.

"Aku baru dateng, loh. Masa kamu langsung pergi." Aqilla sedikit memiringkan kepalanya. Davin hanya membungkam bibir rapat-rapat. Tidak juga mengalihkan tatapannya dari Aqilla yang tersenyum. "Di sini aja dulu. Kamu mau tidur, kan?"

UnseenWhere stories live. Discover now