3. Permintaan

3 1 0
                                    



Pagi-pagi sekali Davin sudah menapak di parkiran sekolah. Ia melepas helm, menyangkutkannya di kaca spion. Turun dari motor, ia langsung menarik tudung jaketnya. Davin tidak suka terlalu terbuka. Baginya jaket pemberian mamanya ini mutlak dipakai. Tidak peduli apapun yang terjadi, tidak pernah sekalipun Davin melepas jaket kesayangannya kecuali tidur.

Semenjak mamanya meninggal, Davin berubah menjadi tertutup. Davin sudah tidak pernah mau dipedulikan atau memedulikan orang lagi. Luka yang sang papa torehkan masih utuh tak tersentuh. Semakin lama kian membusuk, membawa penyakit yang Davin sendiri tidak tahu cara menyembuhkannya.

Davin masih ingat bagaimana papanya mencampakkan Davin dan mamanya. Saat itu Davin masih kelas tujuh. Mamanya menderita gagal ginjal. Tapi, sang papa mengacuhkannya, tidak mau membiayai pengobatan sang mama. Davin terus memohon, bahkan sampai menciumi kaki sang papa. Mamanya semakin histeris. Davin tidak bisa mengontrol betapa inginnya mamanya sembuh. Tapi, tetap saja papanya tidak mau peduli.

Mamanya menarik tangan Davin untuk berdiri. Mengatakan bahwa ia tidak akan pernah mau meminta sepersen pun uang dari sang suami. Ia akan berusaha menghidupi dirinya dan Davin. Ia tidak akan membiarkan Davin rela-rela bersujud pada orang lain hanya demi dirinya. Ia tidak akan membiarkan putra satu-satunya menangis seperti orang gila hanya karena dirinya.

Sejak itu Davin dan mamanya hidup berdua. Tapi, tak sampai satu bulan mamanya meninggal. Davin gagal menjaga mamanya. Dan di saat-saat itu papanya datang, mengatakan bahwa ia menyesal. Papanya memaksa membawa Davin kembali ke rumah. Cowok itu hanya menurut tanpa sepatah katapun.

Jiwa Davin sudah mati. Rasa sakit telah mengubur semua perasaannya. Lukanya terlalu besar untuk seorang anak. 

Ia kehilangan satu-satunya orang yang peduli di saat semua menjauhi Davin.

"Satu-satu ... aku sayang ibu."

Seorang cewek berdaster putih kebesaran membuka tutup jendela koridor. Separuh wajahnya tertutupi rambut sepanjang mata kaki. Kepalanya memiring. Ia menyanyi dengan suara melengking.

"Dua-dua ... masih sayang ibu."

Davin berhenti melangkah. Ia mengenal cewek yang telah meninggal di depannya ini. Namanya Rena, teman satu kelasnya waktu kelas sebelas. Dia meninggal karena bunuh diri. Depresi tidak merelakan ibunya yang dibunuh ayahnya. Dia masih di sini. Dengan dendam yang belum terbalaskan. Rena tidak akan bisa pergi kecuali kalau dia tenang.

"Tiga-tiga. Aku ... benci-benci-benci ayah."

Matanya melirik Davin. Bibirnya tersenyum lebar sampai robek ke telinga. Rambutnya tersibak angin, menunjukkan wajah hancur setengah busuk. Ia berjalan mendekati Davin. Kedua tangannya terulur.

"Davin, tolong."

Davin bergeming. Sedetik kemudian, ia meludah. Merasa jijik dengan tingkah hantu di depannya ini. Rena sendiri yang memutuskan untuk mati menyusul ibunya. Memilih meninggalkan orang-orang yang selalu hadir untuknya hanya karena dendam.

Manusia semacam dia, manusia yang tidak bisa berterima kasih pada Tuhan memang pantas mendapatkan semua ini. Padahal selama ini Tuhan sudah memberinya oksigen untuknya, kesehatan yang mungkin juga dibutuhkan orang lain. Tapi, dia malah memikih jalan cepat.

Mati.

Benar-benar bodoh.

"Eh? Davin?"

Aqilla mengerjap beberapa kali. Mematung jauh di depan Davin yang bergeming. Cewek itu berdiri di pertigaan koridor. Kedua tangannya memegangi tali tas. Aqilla sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan cowok itu. Dia berangkat kepagian karena takut terlambat seperti kemarin.

UnseenWhere stories live. Discover now