DTYT-J'en ai ras-le-bol!

Start from the beginning
                                    

Dalam hati, Handjoko mengumpat berkali-kali. Dari apa yang dikatakan Adji barusan, dia merasa benar-benar ikut ambil alih dalam masalah yang hari ini dihadapi Upih. And it was as if he had never felt so terrible before.

"Bapak sudah sampai." Dari kursi depan, Darma berujar pelan.

Handjoko mengarahkan pandangannya ke arah luar kaca mobil, melihat bangunan besar yang merupakan butik milik Jenar—salah satu sahabat Upih—yang juga merupakan set photoshoot Upih hari ini dan tempat yang dikunjungi Oliver di waktu yang sama.

Ini jelas bukan kebetulan, meski Handjoko ingin mempercayainya seperti itu. Setelah keributan yang dibuat Oliver di rumah sakit kemarin, Handjoko malah punya prasangka kalau pria itu memang sengaja datang ke sini untuk bisa bertemu dengan Upih setelah kedatangannya ia tolak beberapa minggu lalu itu.

Sebelum turun dari mobil, Handjoko menganggukan kepalanya sambil memasang masker sementara Adji sudah keluar dari mobil lebih dulu.

"Bapak..." Rumi yang melihat kedatangannya, berlari dari arah dalam butik. "Mas Olivernya baru aja balik," katanya, dia menunjuk ke arah mobil Alphard yang baru saja meninggalkan butik. "Tadi sempat buat ribut dulu di bawah karena katanya mau minta izin untuk lihat sesi photoshootnya Mbak Upih."

Langkah Handjoko terjalin cepat masuk ke dalam butik, meski dia menyesal karena tidak bisa langsung bertemu dengan Oliver—Handjoko langsung teringat soal Upih. "Upih di mana?" tanyanya, berhenti tepat di depan pintu butik.

Rumi berjalan lebih dulu, memimpin jalan. "Ada di atas, Pak. Photoshoot hari ini ditunda dulu—"

"Ditunda?" beo Handjoko, sedikit terkejut. "Ini semua gara-gara dia?" tanyanya, enggan menyebut nama Oliver.

Kepala Rumi mengangguk, dia membiarkan Handjoko dan Adji masuk ke dalam lift, sebelum dia ikut menyusul masuk bersama Darma. "Mbak Jenar sendiri, Pak, yang minta untuk ditunda dulu," jelas Rumi yang entah kenapa semakin membuat Handjoko gelisah.

Pria itu beberapa kali berdecak dibalik masker yang digunakannya, menemukan kalau lift yang membawanya ke ruangan Upih bergerak sangat lambat. Begitu pintu lift terbuka, Handjoko keluar dan berjalan lebih dulu dengan arahan Rumi yang ikut berjalan terburu-buru di belakangnya.

"Silakan, Pak." Rumi lalu berlari, membuka pintu salah satu ruangan yang sudah pastinya adalah ruangan tunggu bagi Upih.

Mata Handjoko langsung mengarah ke Upih yang tertunduk lemas di kursi, wanita itu langsung berhambur masuk ke dalam pelukannya. Dan Handjoko tidak lagi bisa menahan amarahnya, dia sempat mengumpat pelan saat menemukan tubuh Upih bergetar hebat di dalam pelukannya.

"Wid." Handjoko menoleh ke arah kanan dan kiri, mencari keberadaan Widya yang ternyata berdiri di belakangnya. "Tolong, ambilkan minum, ya," ucapnya sambil memeluk Upih yang masih terduduk di kursinya.

Tak lama, Rumi menutup pintu ruangan—tidak membiarkan beberapa staf butik yang tiba-tiba saja ikut berkumpul di depan ruangan ikut melihat ke dalam.

Handjoko tidak mengatakan apa-apa, tangannya sesekali mengusap punggung Upih yang masih bergetar.

Entah bagaimana Handjoko harus mendeskripsikan perasaannya saat ini, tapi dia merasakan nyeri tidak karuan setelah mendapati kalau Upih sedang menangis di dalam pelukannya.

Tangisnya bahkan tidak bersuara, tidak akan bisa Handjoko sadari kalau dia tidak merasakan basah di kemejanya sekarang karena air mata Upih.

Setelahnya, Widya kembali muncul dengan satu botol air putih dan dengan segera ia memberikannya ke Handjoko yang sudah lebih dulu mengulurkan tangannya.

DANCE TO YOUR TUNE (COMPLETED)Where stories live. Discover now