Chapter 2 -- Cranium

32 9 7
                                    

Randu sempat berpikir, bahwa dirinya bukan anak kandung dari kedua orang tuanya. Pasalnya, kentara sekali perbedaannya. Seperti tadi, ketika Mas Biru menanyakan soal pasien dengan diagnosa hidronefrosis¹ ginjal kanan di grup keluarga. Lelaki itu membutuhkan jawaban pencerahan cepat. Tentu, mustahil bagi Randu untuk sekadar komen memberi saran atau apa. Lagian, Randu pun jarang membalas pesan di sana. Terlalu malas, apalagi terkadang ayahnya nyinyir berkedok kasih nasihat.

Kira-kira begini, 'Randu, kamu emang enggak kuliah di kedokteran, tapi bagian radiologi cukup penting menentukan informasi diagnostik guna menentukan suatu tindakan pada pasien. Jadi, jangan asal kuliah-pulang, terus di kepala malah kosong melompong. Minimal belajar yang rajin. Contoh kakak-kakakmu ini!'

Sudah pasti Randu cuma mengiyakan saja. Biar urusan kelar dan enggak ada perdebatan selanjutnya. Dia cukup sadar diri, ketika Priambodo adalah dokter ortopedi konsultan di salah satu rumah sakit besar kota Semarang, lalu ada Mas Biru sebagai dokter spesialis urologi. Faktanya, kakak pertama Randu itu pun termasuk lulusan terbaik dan tercepat di angkatannya. Terus, ada Mbak Laksmita sebagai dokter spesialis radiologi, dan terakhir Mas Dewangga sebagai dokter umum yang super ambisius. Bisa 24 jam jaga di IGD rumah sakit. Cuma buat cari pengalaman. Beruntung, Prameswari--ibu Randu--enggak menjadi dokter, melainkan ners alias perawat senior.

Namun, tetap saja. Rasanya, di rumah suasananya jadi tegang, spaneng, dan seriusnya level maksimal. Enggak bisa santai sedikit. Mau bercanda saja susah. Terkesan garing kalau kata Randu. Itulah sebabnya, cowok itu lebih suka main di luar sampai malam. Masalah kena omel ayahnya, Randu benar-benar tahan banting. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

"Ndu, kamu ndak dicariin bapakmu, tah? Udah mau magrib ini, lho," tanya Adit sambil menyetel gitar bass.

Johan terkekeh singkat. "Iya, Ndu. Takut e kamu kena semprot kaya waktu itu."

Randu menghela napas, lalu menggenjreng asal gitar melodi yang dipegangnya. Nada-nada sumbang sontak membuat gempar. Seakan ada emosi campur greget tertahan di sana. Setelahnya, cowok itu ambil posisi duduk pada kursi plastik tanpa sandaran yang ada di studio.

"Tsk. Bodo amat, lah. Lagian, aku juga udah gede. Masa dicariin mulu. Nanti misal ditanya lagi di mana, tinggal jawab habis kuliah, gampang," jelas Randu bersungut-sungut. Agak heran, umurnya sudah menginjak 20 tahun, tetapi ayahnya masih terlalu over protektif. Tolong, jarak rumahnya ke kampus saja dekat. Enggak butuh waktu lama. Cukup lima belas menit sampai, kalau enggak mampir-mampir, sih.

"Tapi, kadang aku iri sama kamu, Ndu. Gimana, ya ... orang tua kalau udah nyariin itu kesannya perhatian. Aku, lho, dari dulu dibiarin bebas mau ke mana aja. Padahal, kepengen sesekali ibu atau bapak tanya aku lagi ngapain, di mana, atau ya apa, kek," ujar Adit panjang lebar.

"Aku nekat nge-kos, padahal cuma Tembalang-Kaligawe aja nggak dicariin. Aneh banget." Cowok berkemeja biru tua itu bicara lagi. Mendadak suasana berubah serius, sedikit melow.

Enggak salah Adit bilang begitu. Randu paham, kok, ketika orang tua cari anaknya pasti ada rasa khawatir. Mungkin takut anaknya hilang diculik orang asing. Atau malah, digondol kalong wewe, pulang-pulang lupa ingatan. Namun, hal itu berbeda dengan kondisi Randu. Ia dicari bukan karena khawatir, takut tiba-tiba minggat.

"Justru, aku malah iri sama kamu, Dit. Bisa dibebasin mau ke mana aja. Lah, aku ndaftar ISI aja ndak boleh, tapi yasudah ... udah jauh perjalanane juga, mau balik yo endak bisa, yang ada kena semprot," jawab Randu, lalu ia berdiri dari kursinya.

Karena suasana tiba-tiba canggung, Danu inisiatif memukul bass drum secara asal. Bermaksud, menghidupkan suasana lagi
Ia mengajak teman-teman yang lain bersiap. Lagu ketiga akan segera dimainkan. Jangan sampai kehabisan sewa waktu studio musik dan hanya memainkan dua lagu. Minimal, harus lima lagu.

SUDUT KAMPUS KALA ITU [END]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon