Chapter 8 -- Nassal

22 2 0
                                    

Satu jam lebih, Randu berada di perpustakaan bersama kelompok belajar yang terbentuk secara dadakan itu. Niat awalnya hanya belajar bersama Yuranita, tetapi tiba-tiba datang tiga orang lagi. Di satu sisi, Randu merasa beruntung, sebab dapat mengenal mereka semua lebih dekat. Selain, jadi paham mata kuliah, ia juga bertemu dengan teman baik lainnya.

Tadinya, Randu lebih menutup diri sambil mengejar impian menjadi musisi legendaris. Namun, ia berubah pikiran tatkala pertemuannya dengan Yuranita di sudut kampus kala itu menggugah apa yang selama ini tengah mengganjal hatinya.

"Kapan-kapan lagi, yuk! Seru banget belajar sama kalian. Jadi, lebih paham dan enggak bikin ngantuk," seru Eliza. "Oh, iya, nanti siang jadi nggak, sih, kuliah Radiofotografi sama Pak Bambang?"

Yuranita berdeham selagi mengambil ponsel di tas slempang hitamnya. Jemarinya bergerak cepat menggulir layar berukuran 4,6 inch itu. Ia langsung tertuju pada grup chat kelas. Nyatanya, belum ada kabar apapun soal pembatalan jam matkul. Artinya, nanti jam 13.00, kuliah tetap dilaksanakan sesuai ketentuan.

"Insyaallah jadi, Za."

Eliza menghela napas pelan, lalu mengangguk. Spontan, tangannya meraih lengan kanan Jaki, kemudian menarik paksa cowok itu agar mengikutinya.

"Yaudah, sampai ketemu nanti di kelas. Aku sama Jaki mau ke Indoapril dulu. Beli isian binder. Bye, semua!" ucap Eliza sambil melambaikan tangan. Sedangkan di sebelahnya ada Jaki memasang tampang pasrah. Padahal, tadinya ia akan pergi sendiri, bukan bersama Eliza. Ya, mau bagaimana lagi? Daripada terjadi perang dunia ke sekian kali, Jaki memilih pergi bersama Eliza, lagipula tenggorokannya mendadak kering kerontang. Mineral dingin kelihatannya nyegerin.

"Eliza itu orangnya ceriwis kebangetan, ya?" ucap Randu seraya mengangkat salah satu sudut bibirnya. Selama di perpustakaan, ia mungkin menggelengkan kepala hampir 100 kali karena tingkah Eliza. Terutama, ketika cewek itu adu debat dengan Jaki. Membahas hal-hal yang kurang penting. Seperti, duluan telur atau ayam. Akan tetapi, Randu enggak mempermasalahkan itu, sih. Ia cukup senang ada yang bisa membangun suasana seru.

Ben mengedikkan bahu. "Ya, begitulah doi. Korbannya si Jaki, tuh. Disuruh sana-sini nurut aja. Lebih ke pasrah sebenernya daripada negara api menyerang."

"Hus, nggak boleh gitu, Ben. Lagian, kalau enggak ada Eliza pasti sepi banget tadi kita belajarnya. Sok serius pula ya, 'kan?" Yuranita ikut menimpali.

"Iya, sih. Eh, kamu enggak pulang ke kos dulu, Ra?" tanya Ben. "Kamu, kan, bisa istirahat sambil minum ob--" Belum selesai bicara, tas ransel milik cowok berkacamata itu ditarik paksa oleh Yuranita. Ia memberi isyarat agar diam. Merahasiakan sesuatu yang seharusnya dirahasiakan. Jangan sampai bikik geger, apalagi masih ada Randu bersama mereka sekarang.

"Jangan ditarik talinya, Ra! Nanti kendor gimana?" cibir Ben.

Yuranita bersedekap. Ia melirik sinis. "Makannya, jadi orang jangan ember bodol, Ben! Hampir aja kamu keceplosan." 

Beruntung, Randu enggak begitu memperhatikan Yuranita dan Ben yang tiba-tiba saling adu mulut. Ia hanya terkekeh pelan tatkala mata Yuranita spontan memelotot ke arah Ben. Sekaligus penasaran dengan kedua orang itu. Sekilas tampak akrab, seperti teman lama.

Eh, tetapi apa tadi? Ben hampir keceplosan? Emang ada rahasia apaan di antara mereka?

Tiba-tiba, Randu kepo maksimal. Hendak bertanya untuk memastikan sesuatu, tetapi Ben lebih dulu berpamitan. Ia malah menyuruh Randu mengantarkan Yuranita pulang ke kos dengan aman sentosa. Entah apa maksudnya, yang jelas Randu seperti dipasrahkan sebuah tanggung jawab.

"Ndak usah dengerin apa kata Ben, Ndu. Aku bisa pulang ke kos sendiri, kok, lagipula deket banget jaraknya dari kampus," ujar Yuranita.

Randu tersenyum tipis. "Enggak apa-apa, kok. Ayok, pulang bareng aja. Aku bawa motor." Setelah itu, ia berjalan duluan meninggalkan Yuranita di belakang.

"Seriusan? Jangan bercanda, Ndu. Pokoknya, nanti aku ganti uang bensinnya, ya!" teriak Yuranita, lalu ia berlari kecil, menyusul Randu yang hampir mencapai parkiran motor.

Sepanjang perjalanan menuju arah kos Yuranita, keduanya berbincang akrab. Randu banyak bertanya soal Ben. Ia sungguh penasaran dengan cowok misterius setengah wibu itu. Apalagi, Ben termasuk anggota band kampus. Bisa saja, tampilan polos, tetapi garang saat bermusik.

"Ben itu tetanggaku sekaligus teman masa kecil. Kita sama-sama tinggal di kota Solo. Kalau pulang kampung, aku suka ajak dia pulang juga, biar ada temennya," jelas Yuranita.

Ben ber-oh-ria. Rasa penasarannya mulai terjawab. Ternyata, teman masa kecil yang bertemu kembali dalam satu kampus yang sama.

"Oh, gitu. Eh, kalau enggak salah denger, tadi Ben bilang kamu suruh istirahat terus minum apa, ya? Apa itu maksudnya minum obat? Emang kamu sakit apa, Ra?" Rentetan pertanyaan keluar begitu saja dari mulut Randu. Tanpa sadar, membungkam Yuranita yang duduk di belakang. Keringat dingin mulai mengalir membasahi pelipis cewek itu.

Helaan napas terdengar menyatu bersama suara kendaraan yang berlalu-lalang. "Iya, Ndu. Aku disuruh minum obat penambah bahagia. Kamu mau juga, nggak?" jawab Yuranita disertai tawa.

"Boleh, sih. Akhir-akhir ini, aku lagi ngerasa kadar bahagiaku kurang."

"Manusia emang selalu ngerasa kurang, Ndu. Kadang, udah dikasih banyak nikmat, masih aja minta. Entahlah, tiba-tiba aku jadi ketampar. Soalnya, masih suka manja, maunya dikasih yang banyak tanpa mau berusaha lebih."

Yuranita benar. Manusia memang punya akal, bahkan mereka termasuk makhluk ciptaan Tuhan yang terlihat sempurna dibandingkan lainnya. Akan tetapi, bukan berarti mereka tidak memiliki kelemahan. Salah satunya, punya perasan egois, sehingga mereka mampu berperilaku seenaknya sendiri.

Mungkin, kini Randu baru sadar, bahwa selama ini dia mengedepankan perasaan egois. Sehingga apapaun masukan dari orang sekitar, ia tepis jauh-jauh.

"Makasih ya, Ra. Berkat ka--" Sontak, Randu menghentikan motornya begitu Yuranita mendaratkan pukulan di punggungnya berulang kali. Cewek itu langsung turun dari jok motor sambil memegangi bagian dadanya. Ia merasa sesak. Wajahnya memucat, serta keringat keluar bercucuran.

"Yuranita! Kamu kenapa? Apa perlu kita ke rumah sakit?" Randu ikut panik. Ia jujur bingung harus bagaimana. Hendak menelpon nomor bantuan medis, tetapi tangannya diraih oleh Yuranita. Bermaksud mencegah maksud niat baik Randu.

"Eng--gak usah telpon siapa-siapa, Ndu. Aku enggak apa-apa. Bisa, tolong bantu berdiri, eng-ngak?" ucap Yuranita pelan. Nada bicaranya kedengaran lemah tak bertenaga. Napasnya pun terdengar masih putus-putus.

Randu membantu Yuranita bangkit dari duduknya di jalanan berkerikil. Ia menyuruh Yuranita naik lagi ke motor, tetapi cewek itu enggan. Dirinya memilih berjalan kaki, sebab sebentar lagi tujuannya akan sampai.

"Aku jalan aja, Ndu. Kamu cepet pulang, gih. Istirahat. Nanti kita bakal ada kuliah lagi, lho."

"Ra, kamu beneran udah mendingan?" Randu masih khawatir. Ia takut Yuranita malah pingsan di tengah jalan setelah ini.

Yuranita menggeleng cepat. Enggak lupa tersenyum lebar. "Aman, Ndu. Lihat, dong, aku udah bisa senyum, 'kan?" tanyanya disertai canda.

"Serius, Ra ... Jangan bercanda. Muka kamu pucet banget."

"Aman, Randu.  Dah, ah. Aku ke kos dulu, ya. Mau tidur sambil minum obat penambah bahagia biar enggak pucet. Kamu hati-hati pulangnya, ya!"

Lambaian tangan sebagai tanda perpisahan dari Yuranita. Tinggallah Randu seorang diri bersama motornya. Ia ingin mengejar untuk memastikan teman sekelasnya dalam keadaan baik. Namun, ia rasa itu terlalu berlebihan. Barangkali, perasaan enggak tegaannya itu sedang bangkit, sehingga ia mendadak overthinking.

"Ndu, kamu harus yakin kalau anak itu udah mendingan, oke," ucap Randu seraya menenangkan diri. Setelahnya, ia berlalu saja meninggalkan jalanan arah kos Yuranita.

SUDUT KAMPUS KALA ITU [END]Where stories live. Discover now