"Having a wife and moving to a castle is not a bad notion, but I haven't given it any consideration yet. Terlalu jauh," jawabnya sambil memperhatikan lekat-lekat kastil di hadapannya—kastil yang pernah ia kunjungi bersama Upih.

Adji tertawa keras, "Untuk ukuran orang yang umurnya hampir 40 tahun tentu itu bukan pemikiran yang terlalu jauh, Han. Astaga..."

"Masih jauh, aku juga setuju." Setelah memukulnya, tangan Mas Harjuna kini menepuk-nepuk bahu Handjoko pelan. "Untuk ukuran seseorang yang cuma punya kastil, tentu kamu masih belum siap untuk memikirkan soal pernikahan sekarang," ujarnya, entah serius atau bercanda.

Tapi, Handjoko setuju dengan apa yang Mas Harjuna katakan. Pernikahan butuh banyak kesiapan dan kematangan, dan umur tidak bisa menjadi patokan kelayakan dan kesiapan seseorang untuk menikah dan membangun keluarga.

Jujur saja, sebelum bertemu dengan Upih—atau bahkan sampai sekarang—Handjoko belum pernah benar-benar memikirkan dengan serius soal masa depannya yang berkaitan dengan pernikahan dan keluarga. Selama ini, Handjoko memilih untuk membiarkan hari-harinya mengalir saja di tengah beberapa pencapaian yang harus didapatnya.

Jadi dengan pemikiran yang dimiliki Handjoko sekarang, memang masih sangat riskan untuk membangun sebuah pernikahan. "That's correct. I don't want to be selfish and end up hurting my partner later because I wasn't prepared," balas Handjoko dengan tatapan menerawang ke arah kastil.

Sekelebat ingatan tentang keberadaannya dan Upih melintas cepat di benaknya, di tempatnya berdiri sekarang—di depan halaman kastil ini—Upih sempat bermain bersama Syaqi sementara Handjoko sibuk mengobrol dengan penjaga kastil yang ditemuinya.

"At the very least, you are better than your best friend." Ucapan bernada sinis dan tajam yang keluar dari bibir Mas Harjuna membuat Handjoko tersadar dari lamunannya.

Raden Kacaya yang kini berdiri berhadapan dengan Mas Harjuna menggelengkan kepala, ia memasang raut keberatan. "Tidak seharusnya kita terus-terusan menyindir Pangeran Martaka seperti ini," katanya menegur Mas Harjuna yang sebenarnya adalah sesuatu yang sia-sia.

"Sebentar, apa aku menyebutkan namanya barusan?" Handjoko menarik napasnya panjang, baru menyadari kalau Raden Kacaya salah langkah setelah mendengar sahutan tajam dari Mas Harjuna barusan. "Look at you; you're also implicitly agreeing with me, right?" ucap pria itu sambil membuang muka.

"We came here to see the castle Handjoko bought, right?" Adji berdecak, bermaksud menyindir Mas Harjuna yang malah melangkahkan kakinya masuk kembali ke dalam kastil. "People say so much about me, but they've never met him. It's really not fair."

"Kalian berdua sama saja," celetuk Handjoko, membuat Raden Kacaya menertawakan raut masam yang dibuat Adji sekarang.

Tadi pagi, Adji menyempatkan untuk datang ke kantornya. Pria itu ingin membuktikan sendiri soal karangan bunga yang selalu Handjoko terima setiap paginya. Setelah mendapati kebenarannya, Adji tiba-tiba saja meminta Handjoko untuk mengantarkannya ke kastil yang ingin pria itu beli. Lalu, mereka berdua berpapasan dengan Mas Harjuna dan Raden Kacaya di depan gerbang Gedung Kebesaran dan karena itulah mereka berempat sekarang ada di kastil yang sudah dibeli Handjoko setelah kunjungan pertamanya bersama Upih beberapa waktu lalu.

"Kapan rencananya kamu akan pindah ke sini, Han?" tanya Raden Kacaya, kembali menyambung obrolan yang semestinya mereka bicarakan di sini.

"Sekitar minggu depan."

Adji menolehkan kepalanya cepat, "Bukannya kamu sudah menyiapkan semuanya?" tanyanya sesuai dengan apa yang dia lihat di dalam kastil tadi.

"I want to change a few things inside the castle; it's not a major deal, but it will take some time." Handjoko mengarahkan tatapannya ke area dalam kastil yang terlihat karena Mas Harjuna tidak menutup pintunya.

DANCE TO YOUR TUNE (COMPLETED)Where stories live. Discover now