☁️ㅣ29. Luka karena Ayah

Start from the beginning
                                    

"Jangan menyesal buat hidup, Nay." Agraska menyimpan mangkuk yang masih menyisakan beberapa potong buah itu karena Naya tak lagi menerima suapannya. "Gue luka bukan karena lo atau kejadiannya, gue luka karena Ayah gak bilang ke gue kalau dia patah hati. Gue luka karena Ayah lebih milih mati, dibanding bilang semuanya ke gue. Udah, itu aja. Gak usah ngerasa bersalah. Mending lo dengerin suara Si Harpy."

Agraska bangkit untuk membawa Si Harpy--harpa kesayangan--yang sengaja ia bawa. Lebih tepatnya, Leon yang membawakannya dari rumah satu jam lalu. 

Daripada mendengarkan ocehan Naya yang jelas sekali membuat ruangan ini dilingkupi kegelapan, lebih baik Agraska mencurahkan semua perasaannya lewat nada yang ia mainkan. Agar tidak ada yang tahu, bagaimana pedihnya saat ia menyentuh senar harpa, bagaimana hancurnya saat ia mengingat jikalau harpa adalah alat musik yang Rajendra sukai. 

Agar tidak ada yang tahu bagaimana harpa mewakilkan tangisan Agraska yang benar-benar putus asa tak bisa menemui Rajendra lagi, sekalipun itu makamnya. 

'Mengeluarkan perasaan bukan hanya dalam kata atau raut wajah, Gale. Musik yang kamu senandungkan, yang kamu petik, yang kamu tekan, bisa mengekspresikan semuanya. Percaya sama ayah.'

Agraska memulai permainannya, tersenyum pada Naya yang menyaksikan dengan binaran mata.

"Bahagia ya, Nay. Kalau gak bisa, paksa Nyonya Mera buat telepon gue lagi, paksa dia biar gue datang lagi ke sini."

"Iya, Kak Gale."

.☁️.

Sampai di depan rumah kediaman Zanava, Agraska baru menyadari satu hal, tepat saat Rembulan berbalik menghadapnya dan tersenyum bahagia bahkan menarik lengannya agar ikut masuk ke dalam. Ada sesuatu yang mengganjal pada pandangan Agraska.

"Ini apa?" tanya Agraska dengan tangan menyentuh sebuah sapu tangan terikat di kursi roda milik Rembulan. "Dibeliin sapu tangan baru, ya? Wanginya kok beda."

"Oh, bukan." Rembulan ikut menyentuh sapu tangan itu, lalu tersenyum lembut. "Sapu tangannya dari Alkuna, tanda pertemanan kami berdua."

"Hah?" Agraska memiringkan kepalanya ke kanan, lantas berdecak. Entah mengapa perasaannya jadi tidak enak mengenai lelaki teman virtual dari Rembulan. Agraska belum melihatnya secara langsung, tadi juga ia tak sempat melihatnya karena saat ia sampai di Cafe, hanya ada Rembulan sendirian. "Kalian udah deket banget?"

"Mmm, menurut Agar kalau temenan itu deket banget atau nggak?" Rembulan bertanya balik, sebab ia juga bingung harus menjawab apa. Ia baru bertemu dua kali secara langsung dengan Alkuna, lalu mereka baru saja meresmikan pertemanan hari ini. Apa itu bisa dibilang dekat?

"Belum." Kedua alis Agraska bertautan, tak lupa ia juga melipat kedua tangannya di depan dada. "Nggak deket, tapi belum. Pasti lo bakalan deket banget sama dia soalnya suka belajar bareng," ujarnya dengan ketus, lantas berbalik badan dengan dengkusan terdengar jelas dari bibirnya. "Ahh ngeselin! Harusnya gue ikut ke perpus tadi!"

Dilihat-lihat, tingkah Agraska seperti seorang pacar yang cemburu karena Rembulan pergi dengan lelaki lain dan melupakan pasangan sendiri. Rembulan tertawa kecil karena itu, lalu ia memutuskan untuk segera menarik kecil baju yang Agraska kenakan.

"Agar jangan marah, dong. Bulan 'kan cuman temenan sama Alkuna. Agar kok gak suka kalau Bulan punya banyak temen?"

"Gak tahu, gue ngambek, gue gak denger." Agraska menggoyang-goyangkan pinggangnya, agar tangan Rembulan terlepas dari bajunya, sayangnya cengkeraman itu semakin erat dan merambat naik hingga berhasil menarik lengannya. "Siapa sih, ini? Kok berani banget sentuh-sentuh tangan gue?"

Awan untuk RembulanWhere stories live. Discover now