²⁰ || Kembali bersekolah!

Start from the beginning
                                    

Afkar, Rizal juga tidak dapat mencegahnya karena keburu kedua anak itu menghilang dari pandangan mereka. Afkar pun langsung ikut pergi tanpa memperkenalkan diri kepada ayah kandung dari sahabat kecilnya. Dan yang meminta maaf atas kelakuannya adalah Nanda yang masih berdiam diri disana, juga Noras yang menatap kesal kearah menghilangnya siluet tubuh anak bungsunya.

"Maaf ya Om, dia emang gitu." Nanda menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia merasa tidak enak dengan pria di sebelahnya, "Namanya Afkara Kefarel. Dia yang paling Deket sama Lucian, Om."

Noras tak menjawab dan itu membuat Nanda merasa canggung. Akhirnya ia pun izin untuk masuk ke kelas karena kebetulan bel masuk akan segera berbunyi. Noras pun juga memasuki mobilnya dan berjalan pergi dari sana, namun sebelum pergi ia menyuruh salah satu pekerja di sekolah itu untuk memberikan uang saku kepada anak bungsunya.






"Jadi...." Afkar bersedekah dada, menatap serius pada wajah bulat sahabatnya.

"Ian mau menjelaskan sesuatu?" Nanda pun berucap. Pemuda yang duduk bersebelahan dengan Afkar itu ikut duduk dengan santai di sofa yang ada di rooftop sekolah dengan kaki yang saling bertumpu.

Saat ini sedang waktu istirahat pertama, dan mereka memilih untuk di rooftop setelah membeli makanan di kantin.

"Menghilang selama beberapa hari tanpa memberi kabar lalu muncul di sekolah tanpa salah. Bisa jelaskan? Termasuk tentang pria yang tadi!" Rizal pun mau ikutan sok keren seperti kedua sahabatnya yang memang keren. Ia mengikuti cara duduk Nanda, dengan posisi tangan yang sama seperti Afkar. Sudah pasti terlihat keren pikirnya.

Lucian cengengesan saat melihat ketiga sahabatnya sedang menginterogasinya. Ia duduk di atas tikar bersih berukuran kecil yang muat untuk satu orang, dan ketiga sahabatnya duduk di atas sofa usang. Jadi ketika Lucian ingin melihat ketiga pemuda berwajah tampan itu ia harus mendongak, karena tinggi ketiganya, juga karena tinggi sofanya.

"Maafin gua yang gak ngabarin ya~ gua waktu itu lupa taruh hpnya, dan baru ketemu tadi pas mau berangkat sekolah. Hehe~ sekali lagi maaf ya!"

Afkar, Nanda, juga Rizal menahan gemas saat wajah tersebut menampilkan senyum yang terlihat menggemaskan di mata mereka. Saat ini mereka masih harus menginterogasi sahabat kecil mereka. Tentang pria paruh baya tampan yang di sebut 'Daddy' oleh sahabat kecil mereka.

"Ok, kita maafin kalo Ian panggil diri Ian sendiri pake nama, gimana?" Saran Rizal diam-diam membuat Afkar, juga Nanda tersenyum sendiri. Itu yang mereka inginkan dari sewaktu pertama bertemu Lucian. Anak itu memang tidak terlalu gaul namun dari bahasa ia lumayan gaul, tidak berbicara kasar tapi suka memakai 'Gua-lu' saat berbicara dengan mereka.

Mereka juga sudah beberapa kali menyuruh Lucian agar mengubah bahasa gaulnya itu, namun Lucian selalu menolak karena menurutnya itu keren. Dan bodohnya mereka dulu, kenapa mereka tidak mengancam atau membuat perjanjian perihal camilan kepada Lucian? Padahal saat itu mereka semua tau bahwa bayi sekolah itu sangat menyukai camilan gurih juga manis.

Lucian nampak memikirkan perkataan sahabatnya itu. Apakah kalau ia memanggil dirinya sendiri menggunakan nama mereka akan memaafkannya?

"Tapi Rizal, Afkar, sama Nanda bakal maafin gua kan?"

Mereka pun mengangguk bersamaan dengan semangat. "Akhirnya!" Pekik ketiganya dalam hati.

"Ok! Sama satu lagi, Ian mau camilan juga nanti."

"Sekarang, perihal sebelumnya, bisa jelaskan tentang pria yang Ian panggil Daddy?" Nanda pun bertanya. Raut wajah mereka bertiga berubah sangat cepat. Yang sebelumnya merasa senang tiba-tiba menjadi serius kembali.

"Itu.... Kalian ingat gak yang waktu Ian di panggil keruang kepala sekolah?"

Lagi dan lagi mereka memekik dalam hati saat mendengar sahabat kecilnya memanggil dirinya sendiri dengan namanya. Bukankah itu sangat cocok dengan muka imutnya? Bukankah itu menggemaskan saat mendengarnya? Ya, pastinya.

"Kami ingat, karena Ian sendiri kan yang bilang." Rizal duduk dibawa, diatas tikar yang hanya muat satu orang itu. Memang tidak muat untuk keduanya apalagi dengan tubuh besarnya. Namun Rizal segera mengakalinya. Ia menarik lembut pergelangan tangan sahabatnya, mendudukkan tubuhnya dalam posisi bersila dan menyuruhnya duduk di atas pangkuannya.

Nanda dan Afkar yang melihatnya merasa kesal. Mereka kalah start oleh Rizal.

"Waktu keruang kepala sekolah Ian di panggil buat temuin Daddy. Waktu itu Daddy bilang kalo dia ayah kandung Ian, Ian gak percaya akhirnya Ian langsung kabur. Kemarin pas libur, Daddy nyamperin rumah Ayah buat ngomong. Ian cuman denger setengahnya aja setelah itu Ian langsung kabur ke tempat rahasia."

"Tempat rahasia?"

"Iya, Ian punya tempat rahasia yang gak boleh siapapun tau termasuk ayah juga."

"Ok lanjut ceritanya."

"Ian kan bobo pas di dekat pohon mangga dekat sungai, terus pas bangun di depan muka Ian ada wajah Ayah, Daddy, sama paman Robert." Setiap ia bercerita, raut wajahnya selalu berubah-rubah dan itu terlihat menggemaskan di mata mereka. "Daddy sama Ayah ngobrol-ngobrol lagi pas udah bawa Ian pulang. Ehh tiba-tiba Ayah ngomong 'Bawa Ian aja menginap selama beberapa hari di kediaman anda' gitu." Jelasnya sambil mengikuti cara berbicara ayahnya waktu itu.

Lagi, lagi dan lagi itu terlihat menggemaskan.

"Dan, Ayah langsung suruh Ian buat ikut. Ian bahkan di paksa buat ikut sama ayah, tapi gapapa soalnya banyak camilan di rumah Daddy hihi~"

Dan....Hap! Secara bersamaan mereka segera memeluk tubuh Lucian yang sedang duduk di pangkuan Rizal. Mereka sudah tidak tahan dengan keimutan Lucian.

***
17 April 2024

Lucian Hartley [Slow Update]Where stories live. Discover now