Hotel Bunuh Diri oleh df_rost

39 5 0
                                    

Premis: X merasa hidupnya tidak berguna lagi sejak pacarnya, M, meninggal dunia. Sebuah rumor mengatakan jika di Distrik B terdapat penginapan yang melayani jasa mengakhiri hidup, jadi X memutuskan pergi ke sana dan menginap selama 5 hari untuk mempersiapkan kematiannya.

Pemilik ide: aiursteru


***


Pudar. Lampu-lampu stasiun tampak berpendar saat kuingat wajahmu sebelum engkau pergi.

Seperti mimpi. Tak satu pun langkah kaki berhenti dan menyadarkanku dari lamunan. Tak ada lagi yang tiba-tiba menutup kedua mataku dari belakang, melontarkan candaan, atau memberiku kejutan manis demi memanen reaksi spontan.

Apa mungkin ini salah satu leluconmu? Mungkinkah jasad yang berhari-hari kuratapi bukan dirimu? Mungkin semua ini palsu. Hanya waham dan halusinasi di kepalaku. Yang nyata cuma rasa sakit dari garis-garis barcode yang kuukir di lengan. Menambah perih tatkala air merembes melalui ceruk-ceruk luka. Menenangkan, walau sementara.

Ragaku masih terdampar di kursi stasiun. Jiwaku mengambang, enggan duduk tenang seperti sepasang suami istri yang bercengkerama di bangku sebelah. Mungkin di semesta lain mereka adalah kita. Namun, aku masih terjebak dalam simulasi dunia tanpa dirimu. Siapa tahu, jika kutusuk lukaku lebih dalam, kita bisa kembali bertemu.

Tapi kau tahu sendiri, aku ini pengecut. Tak sanggup menamatkan yang telah kumulai. Tanpamu, aku hanya orang palsu, tersesat di lingkungan palsu, dikelilingi orang-orang palsu.

Aku muak dihakimi dan ditantang untuk bunuh diri seperti yang mereka tulis dalam komentar statusku. Seandainya ada yang bersedia mengotori tangan untuk mengakhiri hidup, berapa pun akan kulunasi. Tekadku tak cukup kuat untuk melakukannya seorang diri.

Kereta menuju Distrik 62 tiba. Konon, di sana terdapat penginapan yang menawarkan jasa bunuh diri. Hotel Marigold. Aku berangkat tanpa memberi tahu siapa-siapa. Aku dipecat karena selalu mangkir. Rekan dan kerabatku juga sudah putus kontak. Tak ada yang tahu aku ke mana, dan kalau pun ada, takkan ada yang peduli.

Satu-satunya yang menyayangiku hanya kau, tapi kau sudah mati.

Hari pertama di Hotel Marigold, aku disambut ramah layaknya tamu hotel biasa. Letaknya di lereng gunung. Terpencil dari peradaban. Lampu-lampu rumah berkelap-kelip bak kunang-kunang di kejauhan; di kaki-kaki bukit, di tepi jurang, dan di antara pepohonan pinus yang tinggal siluet hitam ditelan gelapnya malam.

Suasananya sunyi. Tak banyak orang lalu-lalang dan tak ada bunyi kendaraan. Tempat yang cukup nyaman untuk meneguhkan hati.

Lima hari. Kata resepsionis, perlu lima hari untuk mempersiapkan tamu yang ingin mati.

Kontrak kutandatangani. Kemudian, aku dibimbing untuk makan malam bersama tamu-tamu yang lain. Meja panjang membentang di ruang makan, menawarkan berbagai macam hidangan. Seperti pesta. Dari yang tradisional semacam tumpeng, hingga yang kebarat-baratan seperti kue tart, semua ada. Ada pula gunungan buah-buahan dan piramida dari gelas-gelas sampanye. Terlalu mencolok untuk sekadar menutup hari.

Padahal, selain aku dan para staf, hanya empat tamu lain yang ikut makan.

"Ada yang ulang tahun, ya?" tanyaku pada seorang pelayan.

"Tidak, tapi akan ada yang akan mati. Seperti hari lahir, kematian juga patut dirayakan, bukan?"

Aku tertegun. Mungkin begitulah tradisi di sini. Meskipun, saat kuamati wajah para tamu, tak satu pun memancarkan ekspresi gembira kecuali seorang nenek yang selalu tersenyum.

Swap Idea 2024Where stories live. Discover now