Petir menggelegar. Alenta tidak bisa jika menahan gelisahnya terus-terusan di sofa. Dia putuskan masuk ke kamar Fikra dan Keisya. Menggulung tubuhnya yang gemetar dengan selimut di ranjang. Tangannya terus tertaut. Alenta memejamkan mata dan berdoa meminta perlindungan pada Tuhannya.

Saat itulah ponselnya berdering pelan. Bukan dari Fikra, tetapi dari ayah yang sangat dirindukan olehnya. Ada yang bilang, bahkan sekalipun sudah menikah, bagi sebagian anak perempuan tempat pulang terbaik akan selalu menjadi milik ayahnya. Alenta belum menikah, belum juga memiliki kekasih di dalam hatinya, walau di dalam rahimnya sedang tumbuh sosok bayi tanpa ada yang mau mengakui sebagai bapaknya. Tangannya tergerak begitu saja menjawab panggilan.

"Dad ..." ucapnya tertahan tangisan.

"Thanks God, my dear. How have you been?"

Alenta tidak menjawab pertanyaan Tuan Moses. Dia hanya terus menangis hingga laki-laki tua di Benua Eropa sana juga menitikkan air matanya.

"Apa yang terjadi pada putri kecilku? Don't cry, dear."

Kalau Alenta memiliki lebih banyak kekuatan, dia ingin tumpahkan semua yang ada di dalam hatinya. Dia ingin berkata, "Dad, seharusnya waktu itu aku mendengar nasihatmu. Tidak pergi ke malam pesta kelulusan. Aku dilecehkan oleh seseorang yang aku belum tahu pasti apakah dia pelakunya atau bukan. Aku hamil, tetapi bodohnya aku sama sekali tidak ingin menggugurkannya.

"Aku menyayangi dia sebagai anakku karena mendengar detak jantungnya. Aku ingin pulang, aku ingin menjalani hidup dengan baik esok hari. Melahirkan dan membesarkan anak ini. Tinggal bersamamu lagi dan keluar dari seluruh rasa sakit di hati."

"Zevanya, apa yang terjadi denganmu, Nak? Kenapa kau bisa sampai di Indonesia dan tinggal bersama Fikra?"

Alenta tersentak. Rasanya seperti diterjunkan pada lubang realita bahwa Daddy ternyata mengetahui keberadaannya. "Daddy ...."

"Apakah kau masih mencintainya?"

Pertanyaan itu mengeraskan tangisnya. Bisa dibilang Alenta sedang mengalami kekacauan perasaan. Tidak tahu karena hamil atau karena kejadian buruk yang menimpanya. Alenta tak mampu bicara. Dia hanya terus terisak, terbatuk-batuk sedikit parah, hingga perut bagian bawahnya tegang.

"Zev, Daddy tahu kau sangat menyayanginya, tetapi Tuhan sudah takdirkan kalian berbeda."

Tangis Alenta semakin deru. Hingga dia sendiri tidak bisa mengendalikan dirinya. Ponselnya terlempar dan Alenta terus meluapkan emosi hingga oksigen seperti hilang dari segala sisinya. Belum lagi suara petir semakin membuatnya merapatkan selimut hingga seluruh tubuhnya dari kepala hingga kaki tertutup semua.

Pintu kamar terbuka dengan kasar. Tampak laki-laki tinggi semampai dengan rambut hitam kecokelatannya yang sedikit basah berlari masuk ke kamar. "Alenta!" panggilnya sedikit keras karena bersaing dengan rintihan sahabatnya.

"Alenta, ini gue!" Fikra membuka selimut. Perempuan dengan rambut panjangnya yang menutup sebagian wajah seperti mendapati seorang malaikat yang menyelamatkan kegelapan hatinya.

Alenta segera terbangun dan menyergap Fikra dengan pelukan.

Fikra memejamkan mata sekilas. Kali kedua. Dia memeluk wanita lain di kamarnya dengan Keisya. Bodohnya, dia tak mampu menahan. Kebimbangan hati atas posisi Alenta di hatinya membuyarkan iman. Sekarang yang hadir malah rasa bersalah karena sudah egois meninggalkan Alenta sendirian di rumah saat kondisi hujan deras.

Seharusnya Fikra sudah hafal di luar kepala bahwa Alenta memiliki ketakutan pada hujan, petir, dan angin. Dulu, saat mereka tinggal bersama di London pun, Tuan Moses melarang Fikra untuk meninggalkan Alenta seorang diri di rumah saat cuaca buruk. Ketakutan Alenta muncul karena pernah terjebak di taman bermain saat kecil waktu badai datang.

TANAH BAGHDADWhere stories live. Discover now