☁️ㅣ26. Sebuah Lagu, Untukmu

Start from the beginning
                                    

"Maksudnya?" tanya Hanina.

"Gue jadi babu kalian tinggal beberapa hari lagi," jelas Alvano dengan tawa bahagia.

Hana termenung. Benar apa yang dikatakan Alvano barusan. Itu artinya, minggu besok ia tak bisa lagi berangkat bersama Alvaro maupun Alvano. Menyebalkan.

"Tapi kami tetep numpang kalian, berangkat bareng," ujar Hanina seolah-olah tahu apa yang dipikirkan kembarannya.

Hana tentu saja langsung mengangguk. "Bener! Lagian kalian gak bonceng Bulan, jadi masih bisa ditebengin."

"Ihhh, nggak!" Alvano mengernyit tak terima. "Gue gak mau. Kalian 'kan punya sopir di rumah, kenapa harus gue yang repot?"

"Kami itu gak bisa pakai sopir tahu!" Hana melipat tangannya di depan dada, ekspresinya jelas sekali menandakan bahwa ia tengah kesal. "Lo lupa ya? Kami hampir diculik waktu usia enam tahun sama sopir sendiri! Gue sama Hanin jadi punya trauma."

Mendengkus pelan, Alvaro yang mendengar hanya mengedikkan pundaknya tak peduli. "Bodo amat," ucapnya lantas mempercepat langkah menuju ke lantai tiga disusul oleh Alvano yang cengengesan.

Hana mengentakkan kakinya kesal. "Kenapa, sih?! Gue heran mereka susah banget buat deket sama gue! Padahal dulu gak separah ini." 

Hanina menepuk-nepuk pundak Hana penuh prihatin. "Wajarlah, otak mereka udah dicuci sama cewek gak tahu diri."

Mengembuskan napasnya dengan kasar, Hana membenarkan ucapan adik kembarnya membuat amarah dalam diri kian berkobar tanpa henti. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi kanan dan kiri. "Hanin, dulu buat dapetin nenek juga susahnya kayak gini. Tapi semenjak Aurora gak ada, gampang banget bisa disayang nenek. Lo sepemikiran sama gue?"

"Jangan terlalu bodohlah, Na. Cewek sok polos itu punya empat pengawal. Eh, sekarang lima. Lo ketahuan apa-apain dia, mati nanti," tanggap Hanina saat keduanya menaiki tangga dengan langkah pelan.

"Gue gak akan campur tangan!" Hana mendelik. "Kita punya Nenek, manfaatin kekuasaan dia."

Langkah Hanina terhenti di undakan tangga teratas, gadis itu menoleh ke sekeliling untuk memastikan tak ada yang mendengar perbincangan keduanya lantas ia menarik Hana untuk merapat ke tembok. "Jadi, lo mau ngapain?"

"Bikin dia kapok dan sadar kalau abang-abangnya gak mungkin prioritasin dia lagi. Bikin dia sadar kalau keluarga Zanava gak pantas buat dia."

"Gimana caranya? Keluarganya bakalan terus merhatiin dia." Hanina semakin memelankan suara. Ia sudah menduga jika rencana dari otak licik kembarannya ini akan berisiko besar.

"Nyuruh orang buat rusak Bulan. Kalau dia ngerasa gak pantas, gue yakin dia sendiri yang bakalan ngejauh."

"Na?" Hanina membelalak. Meskipun Hanina ini gadis cuek yang bodo amatan, manipulatif, dan menurut hanya untuk kepentingan pribadi, untuk kali ini Hanina tak bisa menahan keterkejutannya. "Maksud lo?"

Hana memutar bola matanya dengan malas. "Ya satu-satunya cara biar dia sadar ya ini! Satu hal lagi, gue mau ngadu domba Agraska sama keluarga Zanava. Lo setuju 'kan? Lo mau hidup lo nyaman di keluarga Zanava? Itu artinya lo harus ambil risiko, dan buang apa yang jadi pengganggu."

Hanina tak merespons untuk beberapa saat hingga kemudian menghela napas dan mengedikkan pundak. "Terserah lo, deh. Tapi gue gak mau dilibatin."

"Kita berdua gak akan terlibat. Cuman Nenek yang terlibat, Hanin."

.☁️.

"Jangan buru-buru dong, My Moon." Agraska memegang kuat pinggang Rembulan di samping kirinya untuk memapah gadis itu menuju ke sebuah kursi di ruangan musik lantai dua. Jam pulang lebih cepat karena guru melakukan rapat adalah hal yang menyenangkan bagi para murid, termasuk Agraska yang tidak mau menyia-nyiakannya.

Awan untuk RembulanWhere stories live. Discover now