DTYT-La première fois

4.1K 936 325
                                    

La première fois.

For the first time.







Dari banyaknya kemungkinan, Upih sama sekali tidak memikirkan tentang kemungkinan datangnya Handjoko ke kediaman orang tuanya di saat masalah tentangnya—tentang mereka—sedang ramai-ramainya dibicarakan di luar sana.

Bicara soal pengalaman, bahkan Upih sudah mempersiapkan diri untuk tidak mendapatkan kabar dari Handjoko seperti sebelumnya. Pria itu akan sulit dihubungi, dan akhirnya akan mengaku kalau dia kelupaan menaruh handphonenya lagi.

Tapi, apa yang terjadi sekarang sungguh di luar dugaan Upih. Handjoko ada di sini, duduk bersebelahan dengannya. Pria itu datang ke sini setelah Upih dibuat berpikir macam-macam tentang hukuman semacam apa yang diterimanya kali ini dari pihak Kerajaan Daher Reu, Upih bahkan merancang sendiri hukuman yang diterima Handjoko setelah terlibat masalah bertubi-tubi dengannya.

Dia bahkan meminta Widya membantu mencari artikel, peraturan Kerajaan Daher Reu yang bisa dicari di internet untuk membantunya mencari tahu sendiri tentang kemungkinan hukuman yang diterima Handjoko sekarang.

"Kamu... ke Jakarta?" tanya Upih setelah dia berhasil meredakan keterkejutannya.

Handjoko menatapnya dengan kening mengernyit dalam, "What are your thoughts? Isn't my presence here clear enough?" tanyanya balik, setengah mengomel mungkin karena pertanyaan tidak masuk akal yang Upih ajukan barusan.

Mendengar omelan barusan, tawa Upih refleks menguar. Dia lalu menatap Handjoko—mengarahkan tubuhnya menghadap pria itu—dengan senyum lebar yang berusaha ia tahan. "Nomormu masih bisa dihubungi?"

"Maksudnya?" Handjoko yang terlihat kebingungan lantas mengeluarkan handphone dari saku celananya. "My number is still reachable. What's wrong?" tanyanya lagi, masih terlihat kebingungan.

Ada perasaan geli yang Upih rasakan ketika mendengar jawaban Handjoko barusan, "Aku pikir, tuh, Mas Joko kena hukuman disipliner kayak sebelumnya." Handjoko memiringkan kepalanya, tampak belum sepenuhnya paham. "Kan, karena aku kepikiran terus, ya, soal Mas Joko karena masalah kemarin. Apalagi setelah konferensi pers sama berita soal Bella yang masuk rumah sakit itu, aku udah mikir yang macam-macam—"

"Mikir macam-macam? Upih mikir apa memangnya?" potong Handjoko cepat.

Kedua bahu Upih mengedik bersamaan, "Ya, banyak, lah," simpulnya, enggan menjelaskan. "Terus, aku mikirnya Mas Joko bakal susah dihubungi gitu. Soalnya, dari prediksiku, sih, masalah ini bakal lebih besar gitu, loh, pemberitaan sama dampaknya. Makanya, aku sampai nggak aktifin nomor handphone sama sosial media—ikut-ikutan Mas Joko."

"Ikut-ikutan?" Lagi, Handjoko menyahut dengan raut wajah kebingungan yang tak hilang-hilang.

Upih mengangguk, "Setiap kali lihat handphone, udah pasti bakal kepikiran Mas Joko gitu, loh. Mau kirim WhatsApp, atau telpon nanyain kabar dan lain-lain, tapi aku mikirnya nggak bakal bisa."

Betul, bukan karena takut melihat tanggapan atau pendapat banyak orang di luar sana soal masalah yang sedang menimpanya atau bahkan membaca tuduhan-tuduhan menyudutkan yang diarahkan kepada dirinya, Upih menonaktifkan nomor dan sosial medianya karena tidak ingin menyiksa diri di saat ia tahu kalau Handjoko sudah pasti tidak bisa dihubungi.

Wanita itu tidak ingin mengulang bagaimana muram perasaannya ketika harus terus-terusan memeriksa handphonenya, atau di saat Upih harus menelan sendiri sakit hatinya ketika mendapati Handjoko tidak bisa dihubungi dan tidak membalas pesannya sama sekali. Upih tidak ingin terus-terusan memeriksa handphonenya hanya untuk memastikan kalau Handjoko memang belum menghubunginya balik, atau membalas salah satu pesan yang dikirimkannya.

DANCE TO YOUR TUNE (COMPLETED)Where stories live. Discover now