24 : Setitik Tinta Hitam di Atas Secarik Kertas Putih

Start from the beginning
                                    

Suara nada dering ponsel membuat kepala Cinta menoleh ke arah ranjang. Bersamaan dengan suara mesin motor yang terdengar dari luar rumah, Cinta meraih benda pipih tersebut lalu menempelkannya pada daun telinga, kemudian berjalan mendekati jendela.

"Gue di depan rumah, ya." Suara Alam terdengar.

Cinta sudah tahu, karena dia mengintip lewat jendela kamar. Meraih totebag andalannya, lantas gadis itu pergi ke luar rumah. Kemudian mematikan ponselnya ketika sudah di depan halaman.

"Udah dari tadi?" tanya Cinta basa-basi. Meski dia tahu Alam baru saja datang.

Lelaki yang mengenakan helm dengan kaca terangkat itu kemudian menggeleng. "Baru aja, kok. Nyampe di sini, gue langsung nelepon lo," jawab Alam dengan cengiran khasnya.

Cinta lantas tersenyum tipis sembari mengangguk singkat. Diam-diam merasa senang karena Alam sudah kembali seperti biasa. Tak lama, Alam menyerahkan sebuah helm ke arahnya. Membuat gadis itu agak sedikit bingung.

"Punya lo?" tanya Cinta.

"Iya. Pake, Cinta. Soalnya tempat Mama lumayan jauh."

Cinta menerima helm tersebut masih dengan tatapan keheranan. Tampaknya masih baru, terlihat dari kaca mau pun helmnya yang masih mengkilap. Juga, seingat Cinta Alam hanya punya satu helm.

"Warna pink?" tanya Cinta lagi, kali ini mengulum senyum karena menahan tawa.

"Ayo naik," ucap Alam sembari menarik pelan lengan Cinta ke belakang, sengaja mengalihkan.

Menggeleng pelan seraya tersenyum tipis, Cinta menaiki jok belakang sembari mengenakan helm tersebut. Setelahnya, motor Alam melaju dengan kecepatan normal.

Jalanan hari ini sedikit lebih lenggang, mungkin karena tanggal merah. Jadi motor Alam bisa memotong jalan raya lebih bebas. Cinta menikmati semilir angin yang membelai wajahnya, terasa sejuk.

Selain suara kendaraan, Cinta mendengar suara lain yang tidak bisa didengar oleh orang lain selain dirinya dan Tuhan. Suara yang bisa dirasakan, terus berdetak di dalam dada. Terakhir kali duduk di belakang sembari menatap punggung lebar lelaki itu sudah lumayan lama, sebelum Alam menjauhinya.

Meski hanya secuil, sebersit rasa ragu itu masih ada. Rasa takut untuk ditinggalkan dan dijauhi untuk yang kedua kali masih menghantui Cinta. Dia tidak tahu apakah keputusan untuk tidak marah dan memaafkan Alam secepat ini apakah benar atau tidak.

Walaupun begitu, nurani Cinta selalu berbisik lelaki itu adalah orang baik. Jadi kenapa Cinta harus melihat setitik tinta hitam di atas secarik kertas putih? Kenapa dia harus mempermasalahkan satu kesalahan di antara banyaknya kebaikan Alam selama ini?

Ada lima menit berlalu dalam keheningan di atas motor, Cinta baru sadar dia bisa melihat pantulan Alam pada spion di depan. Cinta menatap wajah lelaki itu lamat-lamat. Meski semakin berdebar tidak jelas, Cinta tidak melepaskan pandangannya. Seketika perempuan itu teringat kejadian di mana menyatakan perasaannya pada Alam. Pipinya tiba-tiba menghangat.

"Gimana helmnya? Muat, nggak? Nggak pusing, kan?"

Cinta sedikit tersentak ketika Alam tiba-tiba bersuara. "Iya," jawabnya.

Lagi-lagi Cinta memperhatikan wajah Alam pada cermin spion. Dia tidak berdusta, lelaki itu mengalahkan manisnya permen kapas ketika tersenyum.

Kedua mata Alam tiba-tiba bergulir menatap kaca spion, masih dengan seukir senyum tipis yang terlihat tampan. Karena hal itu, Cinta buru-buru mengalihkan pandangan, menatap ke arah lain. Dia baru ingat, jika penumpang bisa melihat pengendara motor melalui spion, itu berarti hal tersebut berlaku sama sebaliknya.





MasaWhere stories live. Discover now