3 No Fingerprints

32 1 22
                                    

Tim tahu kalau gadis itu memang menyembunyikan sesuatu, tapi bukan ini. Bukan ini yang dia harapkan. Ini benar-benar berada di luar dugaannya.

Tim harusnya sadar kalau dia tidak perlu mempercayai gadis itu ketika dia berkata kalau dirinya bukan penjahat, kalau dirinya bukan siapa-siapa. Dia juga harusnya sadar kalau dia tidak perlu bergantung pada secuil harapan yang berbisik kalau gadis itu benar-benar ingin membantunya.

Bisa-bisanya Tim tertipu oleh penampilannya yang menarik perhatian, terutama gerak-geriknya yang tampak tenang dan terkendali, membuatnya mengabaikan bahaya yang ternyata selama ini memang ada dan tersembunyi di balik sorot matanya yang gemerlap berwarna emas.

Demi apapun, ternyata gadis itu adalah seorang kriminal.

Dia membunuh mereka semua, katanya.

Apa itu sungguhan? Orang gila mana yang membunuh semua orang yang ada di dalam suatu gedung?

Tim sulit mempercayainya. Dia tidak mau mempercayainya.

Sialan.

Bagaimana kalau dia adalah target selanjutnya? Ternyata kebebasannya dari tempat ini bukan berarti semuanya akan berjalan sesuai yang dia inginkan.

Tim menepis lengan Vendetta, membuat cengkraman gadis itu yang ada pada jubahnya seketika terlepas. Dia mundur sebanyak beberapa langkah, menjaga jarak aman di antara keduanya. Meskipun tongkat yang biasa dia gunakan untuk bertarung serta alat-alat berharga miliknya hilang entah kemana, dia masih punya tangan dan kaki yang bisa dia gunakan untuk perlawanan. Pelatihannya sebagai Robin selama bertahun-tahun tentu tidak akan mengecewakannya dalam keadaan mendesak seperti ini.

"Apa? Sekarang kau takut?"

Vendetta menoleh ke arahnya, mempertemukan dua pasang mata sambil bertanya dengan santai seolah apa yang baru saja dia katakan beberapa menit lalu adalah sapaan sehari-hari, membuat Tim mengepalkan tangan akan sikap tenangnya yang dipikir-pikir tidak masuk akal.

"Kau bilang kau bukan penjahat, tapi sekarang kau bilang kalau kau membunuh mereka semua. Apa kau sadar betapa tidak masuk akalnya itu?" Tim berkata dengan tegas, tanpa sadar geraman halus lolos dari bibirnya.

Gadis itu terkekeh. "Aku tidak bohong. Aku memang bukan penjahat. Aku hanya orang yang melakukan pekerjaanku." katanya sambil melambaikan tangan dengan acuh. 

Tim mendengus, "Biar kutebak, pekerjaanmu adalah membunuh orang?" cibirnya.

"Benar." dia menjentikkan jari.

"Apa yang membuatmu berpikir kalau itu bukan pekerjaan orang jahat?" tanya Tim, dia menggertakan gigi.

Seorang kriminal yang mengklaim kalau dirinya baru saja membunuh seluruh penghuni gedung dalam satu malam kini sedang berdiri tegap tidak jauh tepat beberapa meter tepat di hadapannya. Meskipun gadis itu belum melakukan sesuatu untuk melukainya, tidak ada kata lain yang bisa mendeskripsikan kehadirannya selain 'bahaya' atau 'mematikan'. Bahkan, senyum yang terlukis di bibirnya terasa menusuk bagaikan ujung belati yang dia miliki.

Tim meneguk liur, dia melihat sekeliling. Tidak ada siapapun dan apapun di sekitarnya. Hotel ini sudah pasti berada di lingkungan yang terpencil, mungkin di ujung Gotham, atau bisa juga di kota lain. Dia tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti, gedung yang berada di sekelilingnya tampak remang-remang, tidak banyak lampu yang menyala. Dia tidak yakin apakah kekosongan ini adalah hal buruk atau tidak. Yang dia pikirkan sekarang adalah apa dia harus mengalahkan gadis itu atau mengambil langkah tenang dengan negosiasi? Mana keputusan yang lebih baik?

"Tenang saja, aku tidak akan membunuhmu." ucap Vendetta, seolah dia bisa membaca pikirannya.

Tim mengambil napas. Bahkan setelah kalimat tersebut sampai di telinganya, kewaspadaannya sama sekali tidak kunjung menurun. Dia tidak terlalu peduli apakah gadis itu akan membunuhnya atau tidak, tapi fakta kalau dia telah membunuh banyak orang membuat mereka berdua secara otomatis menjadi musuh. Dia tidak bisa membiarkannya begitu saja hanya karena gadis itu telah melepaskannya dari tali dan membebaskannya dari sana.

Robin: Vendetta | Tim DrakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang