7. Mimpi Manis, Sih, Ini!

83 15 4
                                    

Kukejar Asha sebelum perempuan itu memasuki rumahnya. Dari luar pagar, aku mengucap terima kasih untuk tips yang dia beri. Dia tersenyum manis sambil mengangguk lalu melambaikan tangan. Sedikit rasa kecewa menyelusup karena dia lagi-lagi membangun dinding untuk membatasi interaksi kami. But, it’s okay. Masih ada lain waktu. Aku pun membalas lambaiannya dengan senyum tiga jari lantas bergegas kembali ke mobil. Ada beberapa panggilan dari ART—yang baru beberapa minggu ini dipekerjakan Amyra—yang kuabaikan. Semoga bukan sesuatu yang penting, apalagi berkaitan dengan Rio. Bisa-bisa Amyra kembali mencercaku dan mengulitiku, menganggap aku tidak peduli pada anak sendiri.

Hanya perlu menginjak pedal gas beberapa saat dan mobilku sudah terparkir cantik di carport. Aku mengernyit sebelum menarik hendel pintu. Sosok Amyra tertangkap indra penglihatanku sedang berdiri di teras, menatapku lekat-lekat sambil bersedekap. Sebelah kakinya mengetuk-ngetuk lantai penuh peringatan, persis ibu-ibu yang sedang mengumpulkan amunisi kemarahan pada anaknya. Ada Rio juga di sana tersenyum lebar sambil memeluk mobil-mobilan berwarna biru yang mereka beli pekan lalu. 

“Papa! Papa!” sambut Rio. Bocah lima tahun itu melompat-lompat riang. Dari teras dia berlari menghampiriku tanpa mengenakan alas kaki. 

“Rio, pakai sandalnya, dong!” Ibunya berteriak nyaring, tetapi bocah itu abaikan.

“Jagoan Papa senang banget, kayaknya, hm?” Aku menangkap Rio yang melompat minta digendong. 

“Pa, kenapa pulangnya lama betul? Tadi gigi Rio sakit.” Rio mulai mengadu seraya mengalungkan kedua tangannya di leherku. 

“Maaf, Papa tadi mesti ngantar orang yang tujuannya jauh banget dari sini.” Aku bicara jujur. Dapat kulihat Amyra mendengkus mendengar perkataanku yang menurutnya pasti hanya sekadar alasan. Sambil mengayun langkah, aku bertanya, “Giginya masih sakit? Mau periksa ke dokter? Yuk, Papa antar sekarang!”

Rio menggeleng. “Tadi ada Om Baik, temannya Mama yang obatin giginya Rio. Hebat banget, loh, Pa! Gigi Rio langsung sembuh!” terang Rio dengan wajah berseri-seri. Tanpa ragu dia memamerkan deretan gigi susu yang belum satu pun tanggal dan sudah didominasi warna kuning kecokelatan.

“Teman kamu dokter?” Aku beralih pada Amyra.

Amyra menggumam mengiakan. Pantas Amyra makin pongah. Pergaulannya semakin luas, menyentuh kalangan atas dan berbagai profesi.

“Makanya, Mas, kalau ditelepon itu diangkat! Rio kesakitan, kamu malah nggak bisa diandalkan,” omelnya seraya menyuruh Rio turun. Meskipun tampak enggan, putra semata wayang kami tetap menuruti perintah ibunya. “Ah, aku lupa, kamu memang payah! Nggak berguna!”

“Rio bukan cuma tanggung jawabku. Selain aku, kamu sebagai ibu mestinya lebih meluangkan waktu untuknya.” Perkataannya menyulut emosiku. 

“Aku capek kerja, Mas! Akhir bulan kami mesti mencapai target. Ada beberapa nasabah yang nakal dan kami harus memastikan pembayarannya nggak tertunda lama. Selain itu, ada beberapa target nasabah baru yang mesti kami kejar, dan ada juga nasabah yang lagi proses pencairan dana. Kerjaanku banyak dan nggak mudah, Mas!” Intonasinya meninggi, tidak terima dengan ucapanku.

“Jadi, kamu pikir kerjaan kamu aja yang penting? Aku di jalan, mesti fokus. Nggak bisa selalu mantengin HP,” sahutku tak kalah keras.

Amyra berdecih. “Kamu kebanyakan alasan, Mas!” 

Mulutku sudah terbuka ingin menyahut, tetapi jari-jari mungil yang menyusup di sela-sela jariku menyadarkan kalau saat ini bukan waktu yang tepat untuk bicara. “Kita bicara nanti.” 

Aku berlalu ditarik oleh Rio. Anak lelaki kami sengaja melakukan itu karena tidak ingin melihat kedua orang tuanya kembali bertengkar. Maafkan, Papa, Nak. Mama kamu sangat keterlaluan dan makin bertingkah karena Papa terus mendiamkan.

“Mas, mau ke mana kamu? Aku belum selesai ngomong!” Amyra mencegatku. 

“Apalagi, Ra?” Kutekan kuat-kuat emosi yang mendesak di dada.

“Ambil mobilku dulu.”

Ah, aku baru sadar kendaraan roda empat itu tidak terlihat di carport saat aku parkir tadi. 

“Aku tadi terpaksa ninggalin mobilku di pencucian karena Bu Susi terus mendesak supaya aku segera pulang. Katanya, Rio sudah guling-guling kesakitan, sedangkan kamu yang harusnya lebih free malah mengabaikan sewaktu dihubungi.” 

Aku menghela napas panjang. Jangan meledak, jangan meledak! Kasihan Rio. Berulang kali aku mengafirmasi diri sendiri.

“Car wash mana?”

“Jalan Pagoda.”

“Car Wash Pak Oda?”

Amyra mengangguk. “Langganan kamu, kan, Mas? Sebelahan sama kue pukis si Janda Gemoy,” ucapnya melantur. Aku tahu arah pembicaraannya. Dia pasti berpikir aku sering mencuci mobil di sana karena ada Siska, janda muda berparas ayu bertubuh semok yang suka menggoda siapa saja. Padahal karena aku suka pelayanannya yang cepat dan gesit. 

“Ayo, aku antar! Sebentar lagi mereka tutup.” Selepas magrib pencucian mobil Pak Oda tidak lagi beroperasi. 

“Kamu, lah, yang ambil sendiri!” Ucapan Amyra membuatku mengernyit. 

“Maksudnya gimana? Nggak mungkin aku pulang bawa dua mobil sekaligus,” kataku. 

“Kamu ke sana naik ojek aja, Mas. Aku capek. Mana belum siapin makan malam buat Rio.” Dia berlalu begitu saja memasuki rumah. Bisa dipastikan, solusi yang dia beri sekaligus perintah yang tidak mungkin dibantah. Sial! 

“Papa mau aku temani?” Rio menawarkan diri. Bocah itu menatapku, tampak tulus. Kusejajarkan pandangan kami dengan berjongkok di depannya. Kubelai lembut puncak kepalanya penuh cinta. 

“Rio temani Mama di rumah aja. Papa bisa sendiri. Lagian nggak jauh juga.” 

“Tapi ….”

“Rio masuk, gih! Papa mau pergi sekarang.”

Rio mengangguk patuh walaupun terlihat keberatan. “Papa hati-hati di jalan, ya,” pesannya sebelum menyusul sang ibu.

“Mas!”

Tengah mengotak-atik ponsel, tiba-tiba Asha muncul di depanku. Perempuan itu menunggang sepeda motor matic yang baru pertama kali ini kulihat. Bajunya sudah bertukar dengan setelan rumahan sederhana. Tertutup, tetapi tetap terlihat manis dan menarik di mataku.

“Hoi!” sahutku refleks. “Mau ke mana kamu?” 

“Ngelamun sambil jalan nggak baik, loh!” Dia tidak menyahut pertanyaanku.

“Aku lagi pesan ojek daring,” terangku sambil menunjukkan layar ponsel.

Matanya menyipit memerhatikan ponselku lantas bertanya, “Belum pesan, kan?”

“Belum. Baru juga mau masukin alamat tujuan.”

“Sudah, aku antar aja kalau gitu! Gantian kita.” katanya mengajukan diri. “Lumayan duitnya buat aku beli bensin.”

Aku terkekeh mendengar omongannya yang terdengar konyol. Punya kendaraan sendiri, mengapa selama ini dia memilih menggunakan transportasi daring? Agak lain memang perempuan satu ini! “Bisa begitu, ya?”

Asha cengar-cengir tidak jelas. “Ayo, naik! Nanti keburu banyak yang lihat,” bisiknya sambil menggerling penuh makna.

Mimpi apa aku semalam? Yang jelas bukan mimpi buruk. Mimpi manis, sih, ini namanya!
.
.
.
Maaf banget aku ngaret terus apdetnya.. semoga kalian masih bisa menikmati ceritanya. Jangan lupa tinggalkan jejak 💬⭐
Samarinda, 23 Maret 2024
Salam sayang,
BrinaBear88

Is There a Second Chance for Us?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang