BAB 4. Macan itu Bernama Mayang

7 0 0
                                    

"Anak sialan! Beraninya lo bikin malu gue."

Mario ternganga tanpa sadar. Beneran, apa yang diliatnya itu mirip reality show, atau lebih cocok disebut ratapan anak tiri. Mario nyengir kecut, rasanya dia nggak sanggup lagi liat bocah itu mengaduh-aduh sambil mencoba menjelaskan. "Aku tadi tuh panik dikejar taksi, makanya refleks lari."

"Alesan aja lo, pokoknya nggak ada ampun lagi." Cubitan dan jeweran mendarat bertubi-tubi di tubuh Niwan yang kurus.

Beberapa orang yang melintas mulai mengelilingi Mario—atau lebih tepatnya kakak beradik itu. Tapi justru Mario yang gelisah, sebab nggak cuma satu dua orang yang mulai ngeluarin handphone mereka dan ngerekam keributan barusan. Sial, Mario berani jamin kalau wajahnya juga turut kerekam.

"Eh, jangan main rekam-rekam aja lo!" Mario nyentak orang-orang yang dengan nistanya nyodorin kamera. "Matiin hape lo semua, sialaaan!" Mario nggak bisa nahan umpatan. Beberapa orang di sekitar langsung menunduk segan, terlebih saat wajah Mario yang lagi mode angker melototin jiwa-jiwa kepo yang satu persatu mulai menurunkan acungan ponsel. Kalau nggak segera ambil tindakan, bakal ada video yang viral di sosmed. Nggak masalah kalau Mario dalam kondisi tampan dan abis sisiran, tapi kali ini? Arrgghh... nggak banget sumpah! Keteknya masih basah keringatan gara-gara main kejar-kejaran, dan rambutnya juga belum sempat disisir.

"Bubar-bubar kalian semua, hush! Hush!" Mario ngusir kerumunan orang kayak ayam. Setelah kerumunan mulai buyar, Mario balik fokus pada kakak beradik yang masih nggak ada perkembangan itu.

"Ampun, Mbak Mayang kalau mau hukum di rumah aja, jangan di sini."

Mario ngangguk-angguk, baru tahu kalau nama cewek itu Mayang bukan 'Macan'. Tapi please deh, Mbak! Nama Mayang itu terlalu anggun disandang cewek petakilan dan judes gitu.

"Nggak ada ampun buat lo! Di sini atau di rumah, lo layak dicubitin."

Mario bergidik saat lihat Mayang bener-bener mencubit adiknya beberapa kali. Sebenernya ini sama sekali nggak ada hubungannya sama Mario, dia penginnya segera ngucapin bela sungkawa sedalam-dalamnya pada Niwan kemudian pergi, sampai dia ingat sesuatu yang lebih penting yaitu: kunci motornya!

Menyadari itu, Mario langsung melerai dua kakak beradik yang bergulat di depan umum itu.

"Stop!!" teriak Mario. Tapi dua orang di depannya tak acuh, Mayang masih sibuk nyubitin lengan Niwan. Sementara si adik sibuk jerit-jerit. Jengkel, Mario langsung meraih lengan Mayang dan menariknya sampai wajah mereka berhadapan. "Gue bilang stop!"

Mayang kedip beberapa saat. "Siapa elo pegang-pegang? Naksir ya?"

"Najong banget naksir macan! Mending gue nikah ama kucing, senggaknya mereka lebih ramah dari lo."

Dan cap lima jari langsung mendarat di pipi kiri Mario. Semua terjadi terlalu cepat. Mario bahkan nggak nyadar kapan tepatnya disambar oleh jemari Mayang. Yang jelas, saat ini cewek itu sudah menyeret adiknya dengan langkah cepat. Meninggalkan Mario yang tercengang akibat panas luar biasa yang membakar hamparan pipinya. Ya Tuhaaan, bahkan Mami saja nggak pernah mukul Mario. Kenyataan itu bikin Mario gondok dan spontan berteriak. "Eh, cewek sialan! Gue gampar juga lo!"

Setelah mengatakan itu, Mario baru sadar kalau begitu banyak mata yang menyorotnya dengan sinis. Mulai dari manula, remaja, ibu-ibu, remaja alay, semua menyorot Mario dengan pandangan menyudutkan yang seolah mengatakan, 'Dasar cowok kasar, beraninya sama cewek.' Mario tersenyum kikuk saat beberapa pasang mata nggak juga mengalihkan padangan mereka. "Gu-gue mau gamparnya pake bibir—eh, salah."

Saat itu pandangan orang-orang langsung berubah menyipit dengan sinis, seolah mengatakan, 'Dasar pria mesum'. Tak tahan dengan itu, Mario lebih memilih melangkahkan kakinya dengan cepat. Dia mengedarkan pandang dan menyadari kalau Mayang dan Niwan sudah berjarak cukup jauh. Niwan dan Mayang sudah di dekat tangga untuk menuju lantai bawah.

"Tunggu!" teriak Mario.

Mayang menoleh malas. "Apa lagi?"

"Kunci motor gue mana?"

Niwan langsung buru-buru ngeluarin kunci di saku celananya, lantas ngelempar benda kecil itu ke arah Mario. "Sorry, Mas."

"Enak banget lo baru bilang sorry!" sahut Mario sewot. Setelah rententan kutukan yang menimpanya, harusnya Niwan nyembah kakinya tiap hari, tapi Mario masih takut sama Tuhan, makanya dia nggak bakal minta Niwan melakukan hal sesat itu.

"Nanti aku main ke rumah mas lagi," teriak Niwan, terdengar samar-samar karena dikatakan sambil jalan. Meski gitu sudah cukup bikin bulu kuduk Mario berdiri. Cowok itu mengurut keningnya, terlihat berpikir keras. Dalam benaknya bertekat, apa pun caranya dia mesti berhasil cegah Niwan masuk rumahnya lagi. Titik.

***

Mario tersenyum licik saat melihat benda keramat di genggamannya. Gembok dan kunci di tangannya ini memang nggak bisa nyegel cinta Prita buatnya, tapi Mario yakin kalau gembok itu bisa bikin rumahnya aman dari anak kucing tetangga sebelah. Mario bersiul riang gembira saat mengaitkan gembok tersebut pada gerbang rumahnya.

"Yes. Kalo ini dijamin aman," serunya. Mario bisa tenang saat balik ke rumah—yah awalnya dia mikirnya gitu. Sebelum dia melihat sosok yang melompati pagarnya hanya dengan dua kali pijakan dan—

Brak!

Mario melotot. Remaja cowok dengan seragam putih abu-abu yang berantakan itu sudah nyungsep dengan posisi nungging—di dalam pagar rumahnya. Mario jadi ngerasa kalau gembok rumahnya sia-sia, karena anak kucing itu bisa lompat tinggi dengan begitu mudahnya.

"BERANINYA LO NGELOMPATIN PAGAR?!" tanya Mario, pakai mode loudspeaker. Niwan yang tersentak langsung nutup kedua kupingnya.

"Ya abisnya digembok gitu," balas Niwan, santai banget.

Saat itu juga Mario langsung ngejambak rambutnya. "Ya emang gue penginnya biar lo nggak bisa masuk. Nyadar dikit, kek."

"Kenapa sih?"

Mario nggak tahan denger pertanyaan Niwan yang kelewat polos, atau lebih tepatnya nggak peka dan nggak tau diri. Terlebih tatapan remaja itu bener-bener mirip Cabelita.

"Masih tanya kenapa? Gini, lo itu ngeganggu gue banget. Gue pindah ke sini sebenernya pengin dapetin kehidupan damai, jauh dari kebisingan dan tentu saja pengin bawa paca—" Perkataan Mario terjeda saat mendapati Niwan tiba-tiba melangkahkan kakinya menuju rumah. Mario mengepalkan kedua tangannya, beraninya si anak kucing itu mengabaikan tausiahnya.

"Bocah sialaaan!! Kenapa lo nggak dengerin gue, huh?" teriak Mario. Dia baru berniat mengejar Niwan, tapi urung saat merasa ada tangan seseorang yang menarik kerah kemejanya dari belakang. Mario tercekek hingga tubuhnya menabrak gerbang.

"Uhuk, gue kecekek, nih." Mario sedikit menoleh ke belakang. Ternyata Mayang yang menarik kerah bajunya dari luar gerbang.

"Ah, elo si Macan. Lepasin gue sebelum kehabisan napas nih."

"So-sorry," Mayang melepas tangannya. "Refleks aja tadi."

"Segala tindak kriminal yang lo lakuin itu refleks?" Mario membalik posisi hingga keduanya berhadapan di antara pintu gerbang.

"Gue bukan kriminal kali." Mayang terlihat sewot. "Bukain pintu gerbangnya, cepet."

"O-gah!" sahut Mario spontan. Lagian, ekspresi Mayang yang poker face dan lagak bossy-nya itu bikin Mario pengin ngelepas sebelah sepatu dan melemparnya ke arah cewek itu. Sayang, Mario paling anti kasar sama cewek. "Balik sono."

"Gue cuma mau nangkep si Niwan." Mayang mendekatkan wajahnya ke gerbang, sampai bikin cewek itu mirip napi dalam jeruji besi.

"Bukain dong, please."

Tapi Mario sama sekali nggak tertarik bukain gerbang. Responsnya justru cuma, "Ooogah ..."

Tetangga Tapi Baperحيث تعيش القصص. اكتشف الآن